Memikirkan itu, Ralph tak tahan lagi. Mulutnya pun mulai mengomel, "Ngapain sembunyi begitu? Siapa yang mau lihat?"Mendengar itu, Nikki tidak berbicara, tetapi telinganya langsung memerah. Bukan karena dia manja, tetapi karena sweter rajut yang dipakai hari ini tidak praktis. Saat menyusui, harus diangkat semua sehingga terlalu banyak yang terlihat.Siang bolong begini, apalagi di mobil. Meskipun kabin belakang tertutup, tetap saja mereka sedang berada di tempat terbuka.Setelah Shani mulai makan, tangisannya berangsur mereda. Hanya terdengar suara menelan dan napas. Jelas sekali dia kelaparan sehingga makannya terburu-buru.Nikki khawatir Shani tersedak, jadi menekannya sedikit. Bahan sweter rajut licin, sulit untuk tetap di tempat. Meskipun digulung, kain tetap akan jatuh menutupi wajah Shani, membuatnya merasa tak nyaman.Shani mengangkat tangan kecilnya dan meraba-raba. Nikki pun harus menarik sweter ke atas lagi, mencoba menekannya dengan dagu agar tetap di tempat.Ralph duduk di
Kenapa tidak bisa tetap di rumah saja merawat anak? Harus keluar bekerja dengan susah payah, membawa ASI perah, lalu menyebabkan ASI terkontaminasi karena kesalahan yang tidak diketahui.Nikki jelas kaget mendengar kata "keracunan makanan". Ekspresinya langsung berubah. Dia semakin kasihan melihat putrinya."Dokter benar-benar bilang begitu? Yakin ini masalah ASI?" Nikki bukan ingin menolak tanggung jawab, tetapi ingin tahu sumber masalahnya agar bisa diantisipasi di kemudian hari. Kalau tidak, insiden ini bisa terulang lagi.Ralph menggendong putra mereka berjalan di depan. Setelah masuk lift, dia baru berkata, "Imran sudah pulang mengambil sisa ASI, nanti dibawa ke rumah sakit untuk diuji. Setelah itu, kita baru bisa tahu penyebab pastinya."Ucapan itu belum selesai, dia menoleh sebentar ke Nikki dan menambahkan, "Aku tetap berharap kamu bisa segera pulang, fokus merawat anak. Aku akan mentransfer uang ke kartumu setiap bulan, anggap saja gaji."Dia berpikir, kalau memberi kartu send
Sampai di rumah sakit, Nikki kembali menelepon Ralph, ingin menanyakan posisi mereka yang tepat. Siapa sangka, begitu telepon tersambung, sebelum Ralph sempat bersuara, sudah terdengar tangisan anak yang menyayat hati.Hati Nikki langsung menegang, seperti dicambuk keras. "Anak-anak kenapa? Kenapa nangis sampai segitunya? Disuntik ya?"Hati Ralph juga sakit melihat anak menderita. Dia berujar dengan nada kesal, "Lantai empat, ruang pijat anak-anak. Jangan bertele-tele, cepat ke sini!"Nikki mendengarnya. Tanpa menutup telepon, dia langsung berlari kecil naik tangga.Dengan napas terengah-engah, dia menemukan ruang pijat anak. Melihat putrinya sedang dipijat dokter sambil menangis meraung, hatinya langsung bergetar penuh rasa sakit. "Kenapa sampai nangis begini ...."Melihatnya datang, Bulan segera menyingkir sedikit agar Nikki bisa mendekat. Dia pun menenangkan, "Nyonya, jangan khawatir, dokter sedang melakukan pijat anak pada Nona. Nggak sakit kok, hanya saja dia agak menolak, jadi te
"Ada kemungkinan seperti itu. Kalau masih ada ASI yang disimpan sejak kemarin, sebaiknya dibawa untuk diperiksa. Dengan begitu, baru bisa tahu letak masalahnya di mana," saran dokter.Ralph menoleh ke Bulan. Belum sempat dia bertanya, Bulan sudah berkata, "Sepertinya masih ada satu kantong. Tadinya mau dipanaskan pagi ini untuk disuapi, tapi karena anak-anak muntah terus, aku sibuk beres-beres sampai kelupaan.""Kalau begitu, bawa kemari untuk diuji. Bisa saja ASI-nya yang rusak, atau kantong penyimpanan yang terkontaminasi," kata dokter.Ralph mengangguk, lalu menyuruh Imran pulang mengambilnya. Belum selesai berbicara, ponsel di sakunya berdering.Mengingat panggilan tak terjawab di ponsel Bulan barusan, Ralph bahkan tak perlu melihat layar untuk menebak siapa yang menelepon.Dia sengaja menunda beberapa saat, menunggu sampai selesai berpamitan dengan dokter, baru berjalan beberapa langkah dan mengangkat telepon.Nikki saat ini berdiri di depan pintu kantor. Karena tidak tahu mereka
Hatinya semakin tidak tenang. Nikki khawatir ada sesuatu yang terjadi pada anak-anaknya, jadi dia lagi-lagi terpaksa mencari Tommy untuk meminta izin.Begitu melihat Nikki, Tommy langsung terlihat tak berdaya. Sebelum sempat Nikki membuka mulut, dia sudah lebih dulu menegur, "Nikki, kamu cantik-cantik begini, kok otaknya nggak dipakai? Pak Karim memujimu, kamu terima saja dengan lapang dada. Kenapa malah bikin dia malu?"Nikki tidak tahu harus menjawab apa. Dia bahkan berani bersikap keras kepala di depan Ralph, apalagi dengan orang lain. Lagi pula, tatapan Karim terhadapnya membuatnya tidak nyaman. Jika memang tidak suka, untuk apa harus berpura-pura ramah?"Pak Tommy, aku mau izin satu jam. Nanti siang aku kembali bekerja seperti biasa."Tommy tertegun. "Kenapa lagi-lagi izin?""Anakku sakit ...."Tommy menatapnya tanpa daya, ekspresinya menjadi agak jengkel.Keduanya sempat terdiam beberapa detik. Akhirnya, Tommy tak sabar lagi dan melambaikan tangannya. "Sana, pergi. Nggak usah bil
Kesulitan hidup benar-benar terasa jelas pada saat-saat seperti ini. Dari bangku kuliah langsung masuk ke pernikahan, Nikki memang belum pernah merasakan "hantaman" keras dari dunia nyata. Baru ketika harus mengandalkan diri sendiri, dia sadar kenyataannya jauh berbeda dari bayangannya.Sampai di kantor, Lena sudah menunggunya. Tak lama kemudian, Tommy menghampiri mereka berdua, lalu mengajak untuk bersama-sama melapor ke pimpinan.Melihat Nikki, Tommy tersenyum lebar, lalu bertanya dengan perhatian, "Nikki, kelihatannya kamu kurang semangat. Semalam nggak tidur nyenyak ya?"Nikki membalas dengan senyuman sopan, langsung menegakkan badan. "Nggak, aku baik-baik saja."Lena yang tahu maksud tersembunyi Tommy hanya tersenyum sinis. "Pak Tommy, kok nggak pernah perhatian sama aku?"Pria genit itu tertawa, lalu menyahut dengan santai, "Kamu kan tomboi, mana perlu diperhatikan?""Cih!" Lena membalas dengan ketus, sama sekali tak peduli kalau lawan bicaranya adalah atasannya.Di sisi lain, Ni