LOGINSementara Matt, yang ditinggalkan Kate di balik bilik kamar mandi, memejamkan mata erat. Sungguh dia tersiksa. Oh, betapa sakit bagian tertentunya, sampai untuk tetap berdiri saja Matt harus mengepalkan sepuluh jarinya.
Make out
kilat tadi memberikan efek yang sangat luar biasa untuk Matt. Terutama bagi teman seumur hidupnya di bawah sana.Sialan! Matthew mengumpat dalam hati. Seharusnya dia menghukum wanita itu, bukan malah tergoda dan ingin memasukinya, jika saja...
Sialan! lagi Matt mengumpat, menyugar rambutnya frustasi karena menahan gejolak gairah yang tidak bisa ia tuntaskan.
Gairah dan amarah menyatu yang ditujukan untuk wanita itu.
Siapa tadi namanya, Katherine? Matt terkekeh sinis.
Wanita itu Katya, wanita yang pernah menghangatkan ranjangnya selama dua tahun.
Wanita yang secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Wanita yang muncul kembali setelah empat tahun lalu membuat Matt menggila karena kehilangan pelampiasan nafsunya.
Wanita yang selalu ia sebut diakhir kelimasknya dengan panggilan, Katya.
"Katherine”. Mengulang nama itu. Tawa mengejek keluar kala ia mengulang lagi, sekretaris?
Tawa mengejek keluar kala ia mengulang lagi, sekretaris?
Percayakah dia jika Kate hanyalah sekretaris, Nick?
Mungkin Nick bisa dipercaya jika mengagnggap Kate sebagai sekretarisnya. Sebab pria itu tidak sepertinya. Nicholas pria lempeng yang sepertinya tidak pernah tertarik dengan kegiatan menghangatkan ranjang. Pelarian stres pria itu bukan tubuh seksi seorang wanita, melainkan berkas dan pekerjaan yang secepatnya harus diselesaikan.
Tetapi, Kate?
Wanita itu jelas bukan wanita baik-baik. Setidaknya Matt beranggapan begitu, karena Kate merupakan salah satu wanita yang pernah menjadi simpanannya.
Simpanan terlama yang Matt miliki, yang mungkin akan berlanjut lebih lama jika wanita itu tidak kabur.
Kabur? Seolah dirinya monster yang ditakuti.
Matt berdecih sinis.
Kemarahan yang kembali muncul mengingat atas tindakan Kate yang pergi meninggalkannya tanpa kata. Mengingat itu, hasrat yang menyiksanya perlahan terendam.
Namun Matt tetap memaki. "Sialan! Kau tidak akan pernah kulepas lagi, kucing manis.” Demikian ikrarnya seraya menatap dirinya sendiri di depan kaca.
Seringainya muncul bersamaan dengan ide yang tumbuh di kepalanya. Kiranya, hukuman apa yang akan dia berikan pada kucing manis, peliharaan yang kabur itu?
Tentu saja bukan hanya sekedar menghimpitnya di balik toilet.
Dan... sialan! Gairahnya kembali muncul.
***
"Kau baik-baik saja, Kate?" Kate menatap Nicholas yang memandanganya dengan tatapan menelisik.
Mereka sudah kembali ke kantor beberapa waktu lalu. Sepanjang perjalanan Kate hanya diam, tatapannya lurus nyalang ke depan. Hal itu sedikit menarik perhatian Nicholas. Pria itu tidak suka pada karyawan yang tidak fokus pada pekerjaannya. Dan sejak tadi, di dalam mobil Kate melamun.
Tentu saja bukan tanpa sebab. Karena sebelum mereka pergi untuk meeting di hotel milik kliennya, Kate terlihat baik-baik saja. Nicholas jelas bukan orang bodoh yang tidak dapat mendeteksi sikap antara Matthew serta sekretarisnya. Dan dia tidak menyukai itu.
Nicholas tidak suka jika fokus karyawannya yang sedang bekerja, terganggu karena urusan pribadi.
Kate tampak terkejut. Dengan anggukan dia menjawab, "Saya tidak apa-apa, Pak".
"Apa kau mengenal, Mr. Campbell?"
Dan Kate terlalu berlebihan saat menggeleng, lalu menjawab gagap, "Ti-tidak, pak. Sa-saya tidak kenal". Siapa yang akan percaya dengan jawaban yang berbeda ditunjukan oleh sikap paniknya?
"Kate, aku tidak peduli jika kau memiliki hubungan dengan siapapun termasuk pria tadi". Yang di maksud adalah Matt. Nick yang mengenal sepak terjang Matt dalam hal wanita, tak heran jika mungkin sekretarisnya pernah memiliki hubungan dengan pria itu. "Namun, jangan sampai urusan pribadimu menganggu pekerjaanmu".
Kate mendesah merana. Ia menunduk. "Maaf, pak. Ini tidak akan terulang lagi".
"Baik. Kembali bekerja," katanya datar sebelum berlalu menuju ruangannya. Meninggalkan Kate yang duduk lemas di kursinya.
Sudah syukur Nicholas hanya menegurnya alih-alih langsung memecatnya.
Rasa takut Kate setelah kejadian di kamar mandi belum reda, kini tumbuh rasa khawatir jika dirinya akan terpengaruh oleh kehadiran Matt, yang tidak hanya mengobrak-abrik hatinya, namun juga kehidupan yang sudah ia tata setenang mungkin.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro




![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


