LOGINSejak Kate memutuskan untuk menghasilkan uang dengan manjadi simpanan seorang lelaki, dan saat itu kebutulan adalah Matt. Seorang lelaki yang sering datang ke klub tempatnya bekerja part time. Kate menawarkan diri, dan Matt menyambutnya. Hubungan yang Kate kira akan selesai dalam satu malam, namun ternyata berlangsung cukup lama.
Kenyaman yang diberikan oleh Matt, membuai Kate. Terlebih perlakukan Matt dulu padanya, meski dirinya hanya sebagai penghangat ranjang Kate, dia diperlakukan cukup baik. Walaupun Kate sadar, sebaik apapun Matt, orang itu tetaplah pria yang hanya menginginkan tubuhnya. Dan tak lebih dari itu.
Akan tetapi, jika dibandingkan sikap Matt dulu, jauh lebih baik daripada sikapnya beberapa waktu lalu, yang hampir melecehkannya di kamar mandi. Dan apakah bisa disebut melecehkan jika nyatanya Kate malah terbuai?
Kate sudah melupakan kejadian di toilet tempo hari. Namun lagi-lagi pria itu bersikap kurang ajar padanya. Di tempat umum pula.
Kate memejam erat. "Oke". bisiknya. “Aku akan masuk". Ia mengalah. Tepat saat hidung mereka bersentuhan, Matthew menghentikan aksinya. "Lepaskan kakimu”. Mereka menjadi tontonan publik saat ini, dengan posisi Matthew menghimpit tubuhnya di sisi badan mobil.
Apakah pria ini sengaja mempermalukannya?
Syukulah Matthew segera melepasnya. Dan Kate menepati ucapannya dengan masuk ke kursi penumpang. Matt menyusul dan duduk di depan stir. Mengunci pintu mobilnya segera setelah keduanya duduk bersebelahan.
“Katakan segera apa yang kau inginkan?” Sejak bertemu kembali dengan Matt beberapa waktu lalu, ketenangan Kate terusik.
"Katakan padaku di mana selama ini kau, Katya?"
Kate menghela panjang. “Aku tidak ke mana-mana”.
"Tidak ke mana-mana katamu? Jelas kau menghilang selama empat tahun".
“Sudah kubilang aku tak kemana-mana. Aku bernapas dan hidup di kota ini”.
“Berhenti berdusta. Aku tidak pernah melihat batang hidungmu sekalipun di sini".
"Rupanya kau lupa Mr. Campbell. Lingkungan kita jelas berbeda. Kau tidak akan pernah melihatku diantara hingar-bingar yang melingkupimu".
"Jadi itu alasanmu pergi? Takut dengan kemewahanku? Bukannya kau menikmatinya?"
Kate tersenyum miris, seolah menertawakan dirinya sendiri. Ia tak bisa menyangkal kenyataan itu, ia memang rela menjadi simpanan lelaki ini. Semua demi uang, demi kemewahan yang bisa membuatnya lupa sejenak pada pahitnya hidup miskin yang ia jalani.
“Yah, tentu saja,” ucap Kate dengan nada sarkastis, matanya menatap tajam ke arah Matt. “Aku sangat menikmati uang dan segala kemewahan yang kau taburkan, Mr. Campbell. Oh, sungguh, betapa aku sangat menyukai uangmu yang banyak itu.”
Ucapan itu bagai pisau yang menggores egonya, membuat emosi Matt meledak seketika. Rahangnya mengeras, tatapannya berubah gelap. “Kalau begitu…” suaranya meninggi, tercekik amarah. “Kenapa kau pergi? Jika benar kau begitu menyukai uangku, kenapa meninggalkanku?”
Kate menegakkan tubuhnya, senyum sinis masih melekat di bibirnya. “Karena uangmu, tidak lagi cukup untuk membeliku," bisiknya tajam. "Dan bahkan jika kau punya seluruh uang di dunia ini, aku tetap tidak akan kembali padamu," imbuhnya.
Kepalang tanggung, Kate memilih memainkan drama ini sampai akhir. Senyum mirisnya berganti menjadi tatapan penuh tantangan, seolah ia sengaja menyulut bara di dada Matt.
“Lihat dirimu, Matt,” katanya dingin, bibirnya melengkung sinis. “Begitu marah hanya karena aku sudah tak peduli pada uangmu. Bukankah itu yang paling kau banggakan selama ini? Uang. Kekuasaan. Semua yang membuatmu merasa lebih tinggi dari orang lain.”
Sebelah alis Matt naik. “Sadar juga bahwa kau bukan siapa-siapa tanpaku," katanya mengejek.
Kate tertawa pelan, tawanya pahit tapi menusuk. “Memang benar. Tanpamu, aku tidak punya apa-apa… dulu.” Ia menekankan kata terakhir itu, lalu menatapnya dengan mata yang tajam dan penuh kepastian. “Tapi kini, aku lebih memilih tidak punya apa-apa, daripada menjadi budakmu.”
Rahang Matt mengetat, wajahnya mengeras, matanya gelap seperti jurang. Ia tidak terbiasa ditolak, apalagi dengan cara sekejam ini.
Kate menarik napas panjang, ingatan itu menyeruak begitu saja, betapa rendah dirinya dibuat lelaki ini. Matt tidak pernah punya keberanian menatap matanya saat mengusirnya. Ia malah menyuruh orang lain menyampaikan pesan, seakan Kate hanya barang titipan yang bisa dipindahkan sesuka hati. Sungguh, pengecut.
Matt menyinggungkan sebelah bibirnya, senyum dingin yang membuat bulu kuduk Kate meremang. "Dan kini kau akan bilang bahwa kau sudah hebat tanpaku?" Matt tersenyum mengejek. "Kau masih bukan apa-apa Katya".
Kate membalas senyum itu, dengan sangat manis yang dibuat-buat. “Memang aku tidak memiliki apa-apa, Matt. Tapi setidaknya, aku memiliki kebebasan. Sesuatu yang bahkan uangmu tidak bisa beli.”
Rahang Matt semakin mengetat. Lelaki itu siap membalas ucapan Kate, namun dering pomsel menginterupsi.
"Halo?" Kate mengangkat panggilan. Mendengarkan dengan takjim, air mukanya yang dingin berubah khawatir. "Saya benar-benar minta maaf, tolong tunggu sebentar, saya akan segera sampai". Mematikan panggilan, Kate hendak membuka mobil namun Matt mencegahnya.
"Jangan kabur sialan! Kita belum selesai bicara".
Kate tidak memiliki banyak waktu untuk meladani Matt saat ini. Dia tak peduli apakah lelaki itu akan murka, dia harus segera pergi menjemput anaknya.
Matthew memukul stir mobilnya saat Kate berhasil kabur dan menghentikan taxi di depannya. Tak ingin melapaskan wanita itu begitu saja, Matt membuntuti taxi yang ditumpangi Kate.
Sepuluh menit kemudian, taxi di depannya berhenti di depan sebuah gedung berlantai satu, dengan halaman luas yang memiliki berbagai macam permainan anak. Matt melihat Kate keluar dan berjalan terpogoh-pogoh melintasi halaman lalu berhenti tepat di depan seorang wanita yang menunggunya, juga, dua anak kecil yang memeluknya.
Anak kecil? Matt membelalakkan matanya.
Dan apa panggilan mereka tadi? Mommy?
Dari sekian banyak kejutan yang pernah diberikan Kate, kemarahannya, kepergiannya, tatapan dinginnya, yang satu ini adalah yang paling mengguncang.
Dan tak lama setelahnya, seorang pria muncul dengan terpogoh mendekati Kate.
Rahang Matt mengeras saat melihat lelaki yang memakai kemeja kotak abu-abu mencium kedua anak Kate, dan tersenyum pada Kate.
"Damn it! Katya, you're mine." Matt tanpa sadar sembari memukul stir mobil. Dan dengan kasar menjalani mobilnya pergi dari tempat itu. hatinya panas membayangkan wanita itu di sentuh oleh lelaki lain.
Terlebih lagi, dia tidak suka dengan pemandangan yang dilihatnya, seoleh mereka merupakan keluarga cemara.
***
Kedua mata Kate terpejam perlahan ketika bibir Matt memangut pelan bibirnya. Setiap sentuhan pria itu merayap di kulitnya, pelan, mantap, namun cukup kuat untuk menggoyahkan pertahanannya. Ciuman itu bukan sekadar pagutan, itu adalah godaan, sebuah tarikan halus yang menenggelamkan kesadarannya sedikit demi sedikit.Jari-jari Matt naik dari pinggangnya, menelusuri tubuh Kate seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang pernah ia sentuh dan ia rindukan selama ini. Sentuhan itu membuat napas Kate terhenti sejenak, dengan tubuh yang perlahan terasa ringan, nyaris melayang.sentuhan yang selalu berhasil membuatnya goyah. Ada sesuatu yang begitu familiar dalam cara Matt memperlakukannya, dan ia benci mengakui bahwa ia menyukainya. Terlalu menyukainya.“Matt…” bisiknya, bukan teguran, lebih seperti keluhan yang terjatuh tanpa ia sengaja.Matt menautkan wajahnya lebih dekat, bibirnya kembali menyentuh sudut bibir Kate, pelan ia memperingati. “Don’t stop me,” katanya berat, napasnya hanga
Hari ini merupakan kepindahan Kate dan anak-anak ke rumah besar yang dibelikan Matt untuk mereka.Rumah itu seperti yang diingatnya beberapa waktu lalu, sangat besar dengan halaman yang luas dan interior yang membuat Kate sekali lagi tersenyum karena terpesona.Dulu rumahnya juga besar, halamannya pun luas dengan perabotan modern yang menambah keindahan di rumahnya. Tetapi Kate jelas ingat rumah orangtuanya dulu tidak semewah rumah yang dibeli Matt ini.Jello menggoyangkan tangannya membuat Kate menunduk untuk menatap sang anak. Senyum Jello menandakan jika anak itu suka dengan rumah ini, Kate ikut menyunggingkan senyumnya. "Jello suka?" tanya Kate memastikan.Jello mengangguk-angguk, gigi depan yang tunggal sampai terlihat kala bibirnya melebar senyum. Kate menaikan lagi pandangan untuk mencari Angel yang tadi digendong Matt. Kate dan Jello rupanya tertinggal dibelakang, mereka masih berdiri di ruang tamu. Kate menuntun Jello menjelajahi ruang lainnya tetapi Kate tidak melihat Angel
Kate menelan ludah kasar. Gugup merajai dirinya. Ia menarik napas, berusaha menstabilkan suaranya. Tetapi tidak ada kalimat yang bisa dia katakan pada adiknya.Kate menunduk, merasakan dadanya menghangat sekaligus berat—seolah ada sesuatu yang mulai retak dari dalam dirinya. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, “Kalau… kalau hubungan itu tidak menyakitiku?”Keheningan menyusup di antara mereka. Jeda panjang. Sangat panjang.Sampai-sampai Kate bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum di telinganya, seperti menuntut jawaban yang bahkan ia sendiri takutkan.Akhirnya, Alan menghela napas pelan. Ada rasa pasrah, tapi juga kejujuran yang tidak pernah ia tutupi dari Kate. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku tidak berhak melarang.”Kate memejamkan mata kuat-kuat. Sulit baginya mempercayai kata-kata itu keluar dari Alan, pria yang selama ini paling protektif, paling sering berdiri sebagai tembok antara dirinya dan rasa sakit dunia“Kitty…” suara Alan kembali muncul, le
"Hai, Ava. Mana si kembar?”“Uncle!” Jello langsung mendekat ketika wajah Alan muncul di layar ponsel Ava. Tangan mungilnya yang bebas dari cangkir susu melambai semangat.“Kau ditanya sedang apa,” ujar Ava sambil menahan tawa.“Jello minum susu,” jawab bocah itu polos.“Oh ya? Susu apa itu?” tanya Alan.“Susu manis,” balas Jello mantap.Alan mengangguk seolah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Lalu matanya bergerak mencari seseorang. “Mana kembaranmu?” Biasanya, jika Alan menelpon, selalu ada Angela dan Angelo berdampingan.“Angel sedang di toilet sama Kak Kate,” jawab Ava, masih memegang ponsel tanpa menampakkan wajahnya.Tak lama kemudian, terdengar suara cempreng Angel dari kejauhan. Angelo menoleh cepat dan mengatakan pada kembarannya bahwa sang paman sedang menelepon.“Uncleeeee!” teriak Angel begitu ia muncul, lalu langsung berlari dan memanjat kursi di samping Jello.“Woosh, slow down, sweety,” ujar Alan sambil tertawa kecil, menggeleng melihat tingkahnya.Tanpa aba-
"Kau sudah bicara dengan Alan?" tanya Matt tanpa basa-basi, keluar dari kamar si kembar yang sudah terlelap di dalam. Ia mendekati Kate yang duduk di karpet ruang tengah, sedang menulis pengeluaran bulan ini.Tanpa melepas tatapan dari buku, Kate menggeleng pelan. "Belum sempat. Alan sangat sibuk beberapa hari ini.""Kalau begitu, biar aku yang bicara dengannya," ujar Matt cepat, suaranya datar tapi tegas. "Aku ingin kalian segera pindah."Kate mendongak. Ia menatap Matt dengan tatapan yang sulit diartikan. "Matt," panggilnya ragu. "Aku tak tahu apakah keputusan pindah itu tepat untukku dan anak-anak."Alis Matt terangkat. "Dan kenapa harus tidak tepat?""Karena ini terlalu mendadak," jawab Kate jujur, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku perlu memikirkan semuanya dengan matang."Matt memiringkan kepalanya sedikit. "Apa yang membuatmu ragu?"Kate terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tak ada satu pun kata keluar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu menekan. Tangannya saling menggenggam e
"Oke sekarang aku mengerti." Di belakang Kate pria itu berseru. Dan Kate hanya mendengkus tanpa menghentikan langkagnya."Rona membantuku mencari rumah untukmu dan anak-anak kita, Katya." Langkah Kate memelan saat informasi itu menelusup ke indera telinganya. Perlahan, tubuhnya berbalik. Menatap Matt yang tersenyum konyol ke arahnya. "Sudah cukup sekali saja aku menjadi seorang ayah dadakan." Matt membuat mimik wajah serius. "Karena bermain aman pun bisa kebobolan," lanjutnya yang sukses membuat pipi Kate entah mengapa memerah."Apa maksudmu?""Yah, kau tahu kita sering-""Bukan." Kate memotong, tak ingin semakin malu karena ucapan Matt. "Apa maksudmu membelikanku rumah? Dan dia bukan simpananmu?"Matt mendelik kesal. "Tuduhanmu itu." Jelas tak terima dituduh seperti itu oleh Kate. "Lagipula, kenapa aku harus mencari wanita lain jika sudah ada kau?""Jangan membuang waktuku Matthew." Di belakang mereka, Rona menginterupsi, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya."Tunggulah Ro







