"Aku harus segera membawa pergi ketiga anakku dari tangan Caesar Leopold, Kak Amelia." Amelia menatap lekat wajah sedih Chloe. Wanita itu mengangguk setuju, ia juga merasakan kesedihan yang kini Chloe rasakan. Apalagi Amelia tadi juga mendengar bagaimana kejamnya kata-kata Vidia yang dilontarkan pada Alvino. Kata-kata yang sangat tidak layak diucapkan seorang ibu pada anaknya. "Iya, Chloe. Sebelum terjadi sesuatu yang buruk pada ketiga anakmu, ada baiknya kau bergerak cepat untuk mengambil mereka," ujar Amelia. "Aku tahu, Kak..." "Tapi, usahakan kalau kau memang ingin membawa triplets pergi bersamamu, kau jangan kembali ke Nantes," pesan Amelia, wanita itu menatapnya serius. "Kau harus pergi sejauh mungkin, di mana Vidia juga tidak bisa mencarimu." "Heem. Itu urusan mudah, Kak. Aku sudah tahu ke mana aku akan membawa kelima anakku nanti," jawab Chloe tersenyum tipis. Chloe menatap ke arah buku pasien bersama Alvino di depannya saat ini. "Sekarang, yang harus aku pikirka
Suara bariton tegas itu membuat Chloe dan Vidia bersama menoleh ke arah ambang pintu kaca di depan. Di sana, berdiri Caesar bersama Diego dan Adele yang menatap mereka berdua dengan tatapan terkejut, karena Caesar mendengar Chloe dan Vidia ribut. "Kenapa kalian ribut?" tanya Caesar menatap Vidia, lalu beralih menatap Chloe. Kedua wanita itu sama diamnya. Vidia tampak kalut dan panik, sedangkan Chloe menatapnya dengan penuh kemarahan. Vidia takut kalau Chloe akan mengatakan hal yang tidak-tidak, wanita itu segera mendekati Caesar dan mencekal tangannya. "Sa-sayang, sebenarnya kami barusan tidak ribut. Kami hanya—" Penjelasan Vidia terhenti saat pintu kaca buram di belakangnya terbuka. Di sana, Alvino muncul dan langsung berlari ke arah Caesar. "Alvino..." Chloe terkejut melihatnya. Anak itu berhambur dalam pelukan sang Papa dan menangis meremas punggung Caesar dalam gendongannya. "Daddy..." Alvino menangis dengan wajah yang semakin memucat. "Mami marah-marah sama Alvino
"Daddy kenapa mengikuti kami! Sana ... sana, Dad! Urus saja pekerjaan Daddy! Kami 'kan tidak penting untuk Daddy!" Diego bersedekap angkuh menatap sang Papa yang kini menghentikan langkah mereka berdua. Caesar mengembuskan napasnya pelan menatap mereka dengan penuh kesabaran. "Kita ke rumah sakit bersama. Kembar tidak boleh pergi ke rumah sakit berdua, oke?" Caesar mengusap pipi mereka berdua. "Tadi katanya sibuk," cibir Adele pada Caesar yang berdiri di hadapannya. "Sekarang tiba-tiba mengejar kita. Sayang anak atau sayang uang?" "Tentu saja Daddy sayang kalian. Daddy sudah tidak sibuk lagi, Sayang. Ayo, kita berangkat ke rumah sakit." Caesar mengulurkan tangannya pada kedua anaknya itu. Meskipun memasang wajah bersungut-sungut penuh permusuhan, dua bocah menggemaskan itu menerima uluran tangan Caesar dan mereka pergi bersama. Diego dan Adele masuk ke dalam mobil milik Caesar. Kedua anak itu duduk di belakang, di samping sang Papa. "Kurcaci ... pasti Alvino menangis s
"Apa yang Dylan katakan, Sayang? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" Wajah Chloe kembali panik, wanita itu mencekal kedua pundak kecil Dylan dan menatap lekat kedua matanya. Tentu saja, Chloe merasa panik dengan pertanyaan Dylan barusan. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Daddy pergi bukan karena itu, tidak ada kaitannya dengan itu, Nak. Memangnya siapa yang memberitahu Dylan tentang hal-hal seperti itu?" tanya Chloe, sorot matanya benar-benar cemas. Dylan menunduk kepalanya, ia merasa bersalah atas pertanyaannya. Tapi Dylan memang benar-benar penasaran dan ingin tahu. "Dylan takut nasib kita sama seperti yang tadi Dylan lihat di acara TV, Mom. Dylan takut kisahnya sama seperti Dylan dan Diego, juga Mommy. Daddy-nya pergi diambil oleh seorang perempuan yang jahat, lalu istri dan anaknya ditinggal. Jahat sekali, kalau Daddy seperti itu tidak akan Dylan maafkan!" seru bocah itu menghentakkan kakinya di atas lantai. Chloe menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Sayang.
"Heumm ... wanginya aroma uang! Banyak sekali, pasti celengan ayamku di rumah nanti akan gendut!" Dylan menghitung lembaran uang itu sambil duduk di samping Alvano yang kini menjilati es krimnya. Ekor mata Alvano melirik kembarannya yang sedang asik dengan uangnya yang dia dapatkan. "Segitu bukan apa-apa untuk Daddy kita, Dylan," sahut Alvano menatapnya. "Yang benar?!" pekik Dylan dengan mata melotot. "Berarti kita perlu bertemu Daddy lagi dan aku akan meminta uang yang lebih banyak!" "Ck! Tidak mau!" balas Alvano cepat. Dylan sontak langsung menoleh dan memasukkan semua uangnya ke dalam tas."Kenapa tidak mau? Kau tidak suka uang, ya?" cicit Dylan menatap sebal kembarannya. "Ayolah, Dylan ... tujuan kita itu bukan uang!" pekik Alvano cemberut padanya. "Apa kau tidak kesal melihat Daddy kita sendiri tidak bisa membedakan anak-anaknya. Kita berdua padahal dari sikap sudah berbeda dengan Alvino dan Diego, tapi Daddy tidak bisa membedakannya, kan?! Makanya itu aku kesal!" Wajah A
"Daddy ke sini mau bertemu siapa? Mau bertemu Mommy Chloe, ya? Mommy baru kita." Dylan tersenyum dengan wajah antusiasnya. Hal itu membuat Caesar terkekeh, laki-laki itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sayang. Daddy akan bertemu dengan kolega Daddy di sini," jawab Caesar mengecup pipi mereka berdua. "Oh ... kami pikir mau ketemuan sama Bu Dokter Cantik!" sahut Alvano. Dylan yang kini turun dari pangkuan Caesar dan duduk di samping kembarannya menikmati semangkuk kecil es krim cokelat. Diam-diam, Dylan masih memandangi wajah Caesar. Dari penampilannya yang sangat rapi, paras wajah Caesar yang sangat tampan seperti wajahnya, dan Dylan hampir lupa satu hal! Papanya ini sangat kaya raya, seorang konglomerat di kota ini! Seorang bos besar! Seorang bankir yang pasti uangnya tidak terhitung jumlahnya. Dylan berangan-angan pasti celengan ayamnya akan gemuk kalau Caesar memberikan banyak uang padanya. Dylan sangat tidak sabar! "Ekhem...!" Dylan berdehem pelan tiba-tiba. Ha