Jam menunjukkan pukul enam petang. Chloe telah tiba di kediaman Caesar. Di sana, ia disambut dengan penuh hormat selayaknya Nyonya di rumah itu. Hesty—kepala pelayan di rumah itu juga menyiapkan baju ganti untuk Chloe. Hingga kini, Chloe memakai baju baru yang memang dibelikan khusus untuknya. Dengan balutan dress panjang dan hangat berwarna biru muda, Chloe berdiri melamun memandangi hujan deras dari balkon lantai dua rumah megah milik Caesar. Saat ia tiba di rumah ini satu jam yang lalu, Caesar berkata padanya kalau Chloe harus menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri. Dan Chloe tentu saja tidak nyaman dengan hal itu.'Rasanya, semua ini seperti mimpi,' batin Chloe, ia memegangi dadanya yang terasa nyeri karena detak jantung yang kuat. 'Aku berdiri di balkon tinggi lantai dua di rumah megah ini. Menatap pemandangan kota yang tengah diguyur hujan ... ini benar-benar seperti mimpi.' Chloe memejamkan kedua matanya merasakan sensasi dingin udara yang menusuk kulitnya, sebelum i
Sore ini, Dylan dan Alvano sudah diizinkan pulang. Anak-anak itu tampak antusias saat mereka diberitahu akan pulang ke rumah Caesar, karena ada banyak permintaan yang mereka inginkan. Di dalam kamar inap Dylan, Chloe masih merapikan barang-barang milik putra sulungnya itu sebelum ia pulang. Namun, saat Chloe sibuk merapikan pakaian Dylan, tiba-tiba ia mendengar pintu kamar itu terketuk. Chloe pun menoleh ke belakang. "Adrien..." Laki-laki dengan balutan jas putih itu berjalan mendekatinya sambil tersenyum manis seperti biasa. "Aku dengar-dengar, anak-anak akan pulang ke rumah Caesar, hm?" tanya Adrien menatapnya. Chloe mengangguk. "Iya." "Dan kau? Apa akan menginap di sana juga?" Nada bicara laki-laki ini terdengar sedikit khawatir padanya. Gelengan kepala diberikan oleh Chloe. Wanita itu mengangkat tas berwarna biru berisi penuh pakaian milik Dylan."Tidak, nanti malam aku akan pulang," jawab Chloe. "Bisakah aku menjemputmu nanti?" tawar Adrien, entah mengapa tatapan matanya
"Dylan ... kau mau 'kan memaafkan aku? Aku janji, tidak akan melawanmu lagi, tapi kau harus memaafkanku dulu." Alvano berdiri di samping ranjang kamar inap Dylan. Anak itu mendongak menatap kembarannya dengan wajah cemberut dan sedih. "Mau, ya? Aku punya info penting, nih..." Dylan meliriknya sekilas dan mendengus. "Info apa?" "Maafkan aku dulu, baru aku beri tahu informasinya!" seru Alvano. Decakan lidah sebal terdengar dari Dylan. Anak itu mengangguk kecil. "Iya aku maafkan, tapi cepat beritahu aku infonya! Jangan buat aku menunggu!" Alvano tersenyum mendengarnya, anak itu langsung naik ke atas ranjang tempat Dylan duduk dan ia mencekal lengan Dylan. "Mommy bilang, Mommy sudah memaafkan Daddy," ucap Alvano. "Hah? Kau berbohong, ya?" Dylan menatap kembarannya itu dengan lekat. "Kenapa aku berbohong. Mommy sendiri yang bilang padaku tadi." Dylan menepuk keningnya dan ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. "Ya Tuhan ... aku sampai dirawat di rumah sakit seperti ini te
"Sekarang kau sudah sembuh, Alvano? Aku khawatir kau akan mati!" Diego menatap Alvano yang duduk di atas ranjang memangku semangkuk buah stroberi. Alvano mendengus menatap Diego yang kini duduk di sampingnya. Di dalam ruangan kamar inap ini, Alvano ditemani oleh Diego dan Eric saja. "Mana mungkin aku mati semudah itu! Iya kalau Dylan, dia langsung pingsan!" seru Alvano. "Bagaimana tidak pingsan, kau memukul wajah Dylan dengan mobil-mobilan milikku. Kalau kau yang dipukul oleh Dylan, saat ini kau pasti sudah bobo manis di dalam peti mati!" balas Diego dengan tawa kecilnya yang gemas. Kedua pipi Alvano yang gembil langsung memerah. "Kalau aku mati, orang pertama yang akan aku hantui adalah dirimu, Diego!" Eric mendengus pelan mendengar obrolan dua anak itu. "Bercandaan kalian ini, menyeramkan sekali." Diego dan Alvano lantas menoleh ke arah Eric. Mereka saling tatap sebelum Diego menaik turunkan kedua alisnya. "Emm ... seram di bagian mananya, Paman? Bukannya semua orang itu aka
Jam menunjukkan pukul dua dini hari, seorang laki-laki dengan balutan jas putih berjalan dengan cepat menuju ke lorong kamar perawatan anak-anak. Adrien berjalan cepat dan membuka pintu kaca di depannya. Laki-laki itu awalnya sangat mencemaskan Chloe yang ia pikir menjaga anaknya sendirian. Tetapi, begitu Adrien membuka pintu kaca di depannya itu, ia salah menduga. Sepasang manik mata hitam tajam milik Caesar kini menatapnya dengan lekat. Tetapi, bukan itu yang Adrien lihat, memainkan Chloe yang tertidur dan menjadikan pangkuan Caesar sebagai bantalnya. "Kembalilah, kau tidak perlu menemani Chloe," ujar Caesar dengan suara tenang. Adrien mengangguk kecil. "Jaga Chloe baik-baik," ucap Adrien. Caesar tidak menjawabnya sedikitpun. Hingga pintu kaca itu langsung tertutup seketika dan Adrien bergegas pergi kembali ke ruangannya. Di sana, Caesar terdiam menatap wajah tenang Chloe yang kini terlelap. Alis Caesar mengerut tajam dan tangannya menyentuh pucuk kepala Chloe. "Pantas kau sa
Hari sudah larut malam. Beberapa menit yang lalu, Chloe keluar dari dalam kamar rawat inap Alvano dan kini ia duduk di bangku tunggu sendirian. Diam termenung di sana sembari memejamkan kedua matanya karena rasa lelah dan mengantuk berat. Chloe memegangi perutnya yang terasa perih karena lapar. Namun mana mungkin ia meninggalkan Dylan yang masih sangat-sangat rewel. "Tumben sekali Suster Anna tidak menampakkan diri," gumam Chloe pelan. "Biasanya dia selalu ambil shift malam." Chloe mengusap puncak lengannya karena merasakan dinginnya angin malam yang menusuk kulitnya. Wanita muda itu menyandarkan kepalanya pada dinding dan kembali memejamkan kedua matanya pelan. Tidak berbohong kalau Chloe sangat mengantuk saat ini. Sedihnya lagi, ia sendirian di sana. Hingga dari arah depan, terdengar suara pintu kaca lorong itu terbuka. Chloe langsung membuka kedua matanya dan menoleh ke depan sana, tampak Caesar berjalan ke arahnya membawa sebuah paper bag besar di tangannya. Chloe mendongak