Share

Merasa Diperhatikan

"Kamu rilex saja, saya 'kan tidak menyakiti kamu," ucapnya dengan lembut sambil membelai hijabku.

Sedari tadi aku masih memakai hijab, memang aku masih enggan untuk melepasnya karena malu.

"Iya, Mas, apa boleh kita seperti ini?" Spontan Aku mengatakan hal itu, seakan diriku ini menolak permintaannya.

"Duh apa-apaan sih kamu ini, Nandini, sudah seharusnya kamu bisa melayani suami kamu dengan baik, kok bisanya masih berpikir macam-macam," gumamku dalam hati.

"Loh, 'kan kamu sendiri tadi yang bilang itu hukumnya wajib dan agama pun tidak melarangnya," ucapnya dengan nada agak kesal.

"Maaf Mas bukannya gitu, tapi--" ucapku dengan lembut tapi khawatir Mas Nando akan kembali marah.

"Tapi, kamu malu untuk mengakuinya? Kamu ini sangat polos sekali, saya suka kepolosan kamu," ucapnya dengan lembut dan semakin mendekatkan dirinya hingga tiada jarak lagi di antara kita.

Aku terdiam, Mas Aldo langsung saja mencium bibirku dan kali ini lebih lama. Ciuman itu begitu lembut, aku terbuai olehnya. Aku memejamkan mata menikmati setiap sentuhan bibir tebalnya di bibirku, rasanya seperti diriku dibuatnya melayang dalam kedamaian dan diturunkan kembali dengan kebahagiaan. Apa aku jatuh cinta?

"Nandini," ucapnya dengan napas yang mulai tidak beraturan.

"Iya Mas, kenapa?" ucapku dengan lembut.

Tatapan mata kami berdua pun menyatu, seakan saling menginginkannya lebih dari sekadar bercumbu.

"Tidak kok, kamu cantik, Nandini aku menginginkannya lagi," bisiknya di telingaku yang membuat tubuhku bergetar, napasku pun mulai tak beraturan, dadaku bergetar dengan kencang. Aku merasa dicintai. Namun, apa benar ini cinta, bukankah yang dia cintai adalah pacarnya.

"Nandini kenapa di dalam rumah kamu masih  memakai hijab? tanya Mas Nando sembari memperbaiki posisi duduknya.

"Nandini terbiasa selalu memakai hijab saat di rumah mau pun di luar rumah Mas. Kenapa, apa Mas Nando merasa keberatan? Kalau Mas Nando merasa keberatan Nandini akan melepasnya," jawabku dengan lembut sambil mengatur napas yang tadi sempat tidak beraturan.

"Tidak keberatan kok, cuma masa di dalam kamar kamu masih saja memakainya?" tanya Mas Nando sambil menyentuh hijab yang sedang aku kenakan, aku mengenakan hijab instan sederhana. Namun, cukup panjang dan lebar.

"Kalau di kamar, Nandini kadang melepasnya kadang juga tidak, Mas."

"Kamu tidur dengan memakai hijab?"

"Iya, Mas, tapi terkadang juga melepasnya," jawabku dengan santai.

"Apa malam ini kamu juga akan tidur dengan memakai hijab?" tanya Mas Nando sembari menatapku.

"Emmm, ya kalau Mas Nando menyuruh Nandini melepasnya, ya, Nandini akan melepasnya, Mas," ucapku.

"Jadi kalau aku suruh lepas, baru kamu akan melepasnya?"

"Iya, Mas, 'kan istri tidak boleh membantah perintah suaminya," ucapku sembari tersenyum tipis.

"Kalau gitu, dilepas saja hijabnya!" ujarnya dengan nada perintah.

"Iya, Mas," ucapku sambil mencoba membuka hijab yang aku kenakan.

"Subhanallah cantiknya," ujar Mas Nando dengan tersenyum dan menatapku tanpa berkedip.

Hal itu membuatku tertunduk malu.

Mas Nando membuka ikatan rambutku dan membiarkan rambutku tergerai dengan indahnya. Mas Nando membelai rambutku dari atas ke bawah. Sentuhannya membuat jantungku berdegup kencang lagi.

"Rambut kamu bagus, apalagi kalau tergerai begini, kamu terlihat semakin cantik," ucapnya dengan lembut sembari mengecup keningku. Duh bikin dag dig dug aja sih.

"Makasih, Mas, atas pujiannya," ucapku dengan tertunduk malu.

"Saya akui kamu pandai merawat diri, meski tanpa memolesnya dengan make up, tapi kecantikan kamu ini benar-benar alami, kamu pasti sering minum jamu ya?" ujarnya sambil terus menatapku dengan tatapan yang penuh arti.

"Iya, Mas. Ibu yang sering membuatkannya, Nandini memang tidak suka dandan kok Mas, lebih suka yang alami saja," ucapku dengan masih tertunduk malu dengan pujian yang diberikan Mas Nando padaku.

"Oh pantesan, ya, saya juga suka sama kecantikan yang alami kok, saya juga tidak terlalu suka sama wanita yang dandanan menor, sederhana saja lebih membuat hati adem, kayak kamu gini," ujarnya sembari mengangkat daguku, aku pun menatapnya.

"Iya, Mas," ucapku singkat, karena bingung mau ngomong kayak gimana lagi, hatiku saja terasa enggak karuan kayak gini.

"Kamu kenapa selalu menunduk sih, udah biasa aja sama aku, santai aja, saya 'kan bersikap lembut sama kamu."

"Jujur, saya itu sebenarnya susah sih buat marah, apalagi sama perempuan, tapi entah kenapa tadi saya sulit menenangkan diri saya dan langsung berkata kasar sama kamu, baru bisa luluh dengan tanggapan kamu yang bisa menahan emosi dan tetap bertutur kata sopan dan lembut," ucapnya dengan lembut

"Iya, Mas. Nandini ngerti kok, gak usah dibahas lagi mengenai emosi tadi Mas, lebih baik sekarang kita istirahat, pasti Mas Nando juga sudah lelah 'kan dengan aktivitas yang menguras tenaga dan emosi tadi," ucapku dengan senyuman tipis.

"Kok buru-buru banget sih, padahal saya masih ingin ngobrol sama kamu," ucapnya dengan lembut, tapi seakan tidak ingin mengakhiri obrolan malam ini.

"Iya, maaf Mas, Mas Nando mau bicara apa lagi? Apa mau sambil aku buatin kopi atau teh hangat?"

"Enggak usah repot - repot, lagian sudah malam, nanti malah saya nggak bisa tidur kalau kamu bikinin kopi, apa kamu mau temenin saya begadang?" ucapnya dengan senyum manis sembari menatapku lekat.

"Enggak ah, Mas, ini aja Nandini udah ngantuk," ucapku lembut yang terkesan agak manja.

"Nandini, kok nada suara kamu jadi lembut manja gitu sih,” ucapnya dengan tersenyum nakal.

"Apa sih Mas, udah ah, jangan modus," ucapku dengan ekspresi malu, pasti sekarang ini pipiku mulai merah merona.

"Iya loh, kamu itu sebenarnya manja, ya, 'kan," ucapnya mulai menggodaku.

"Enggak kok," jawabku singkat juga tertunduk malu.

"Kamu boleh kok manja sama aku, 'kan tidak ada prosedur larangannya di kesepakatan kita tadi," ucap Mas Nando dengan nada menggodaku.

Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bingung, merasa heran, merasa disayangi berbaur menjadi satu. Membuat hatiku bergejolak dan tidak karuan rasanya.

"Nandini, kok malah diam sih, jawab dong, apa kamu lagi pengen dimanja?" ucap Mas Nando dengan lebih mendekatkan tubuh kekarnya.

Tubuh Mas Nando memang seperti Atletis, tubuhnya sixpack, mungkin dia sering olahraga, hasilnya pun tubuhnya menjadi bagus. Aku memang menyukainya.

"Terus Nandini harus ngomong apa Mas?" ucapku dengan masih menahan malu.

"Ya, sudah kamu tidak perlu bicara, biar saya yang manjain kamu ya," ujarnya

"Maksudnya Mas?" ucapku bingung, apa yang akan Mas Nando lakukan, mengingat dia tadi bilang kalau dia tidak akan berbuat apa pun terhadapku, tapi kok jadi begini ya.

"Sudah, tidak perlu ingin tahu maksudnya, nanti kamu juga akan tahu sendiri," ucapnya lembut sembari mencium pipiku dengan lembut.

"Iya Mas," jawabku singkat.

"Nandini."

"Iya, Mas."

"Mas Nando ingin mengobati luka hati kamu karena ucapan kasar Mas tadi," ucapnya dengan lembut sembari memelukku. Aku pun menyandarkan kepalaku di pundaknya, rasanya sangat nyaman.

"Iya, Mas. Makasih ya," ucapku sembari menatap wajahnya, Mas Nando memang sangat tampan, kulitnya putih, hidungnya juga mancung, malah lebih mancung dari hidungku, sungguh sempurna.

"Iya, sama - sama sayang," ucapnya lembut sambil mengecup keningku.

Deg hatiku tersentak mendengar panggilan sayang itu terlontarkan. Rasanya aku tidak percaya ini bisa terjadi, kupikir malam ini aku akan hanyut dalam kesedihan, tapi malah sebaliknya, aku merasa bahagia karena ternyata diriku masih ada kesempatan untuk memiliki hati suamiku.

Mas Nando pun kembali mencium bibirku, kali ini lebih mesra, aku hanyut dalam kemesraan ini, meski hanya ciuman dan pelukan. Namun, hatiku merasa sangat lega, ternyata suamiku bisa bersikap manis juga. Kami langsung terlelap tidur, Mas Nando selalu memelukku bahkan sampai pagi.

 

***

Pagi yang cerah menampakkan keceriaan. Sungguh pagi yang indah untuk pengantin baru. Namun, tidak menurutku, pagi ini terasa biasa, semua dalam titik jenuh, dalam kebingungan akankah akan baik-baik saja.

Bagaimana mungkin, sedangkan hari ini aku akan pindah ke rumah Mas Nando, rumah yang pasti terasa asing bagiku, aku pasti sangat merindukan kamar ini, tempat di mana aku biasa meluapkan kesedihan, di rumah Mas Nando akankah aku di sana merasa nyaman, seperti halnya di tempat ini, aku juga pasti akan merindukan ayah dan ibu yang telah membesarkanku, walaupun aku ini hanyalah anak angkat, tapi mereka tak pernah sedikit pun membedakan kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya.

 

Aku mempunyai 3 saudara, aku anak sulung bagi mereka, mereka mengambilku di sebuah Panti Asuhan Bina Pertiwi, tempat di mana aku merasa beda tidak seperti yang lain, yang bisa punya ayah dan ibu yang menyayangi mereka. hingga akhirnya Pak Rahardi dan Ibu Kurnia yang memberikanku kasih sayang utuh sebagai orang tua angkatku. Dari situlah aku merasakan keutuhan dalam keluarga, aku punya ayah dan ibu dan juga kini aku memiliki 3 adik yang sangat menyayangiku dan menghormatiku sebagai Kakaknya.

 

Pak Rahardi dan Ibu Kurnia menjadikan aku anak angkat mereka sejak usiaku masih menginjak umur 7 tahun. Pada saat itu aku sangat bahagia, karena aku bisa memiliki keluarga yang sejak lama aku impikan. Aku memiliki ayah kandung, ya aku ketahui, ayah kandungku adalah seorang dosen disalah satu perguruan negeri yang cukup ternama di Jakarta. di Universitas Negeri Jakarta tempat beliau mengajar.

 

Ayahku adalah ayah yang baik, beliau selalu mengunjungiku di Panti asuhan, pasti kalian bertanya, kenapa Ayahku tidak mengajakku pulang ke rumah? Pasti hal itu terlintas dipikiran kalian.

 

Ayahku punya alasan tersendiri kenapa dirinya membiarkan putrinya tinggal di Panti asuhan, aku hanyalah anak yang tidak diinginkan, aku harus kehilangan ibuku di saat ibu melahirkanku. Sejak saat itulah ayah menitipkanku di Panti Asuhan Bina Pertiwi, karena ayah tidak bisa membawaku ke keluarganya.

 

Keluarga ayah adalah keluarga pejabat yang selalu menjaga nama baiknya, memang ayah dan ibuku sudah menikah. Namun, istri pertama ayah tidak suka hal itu, meski awalnya sempat menyetujui rencana ayah yang ingin menikahi ibuku, dan keluarga ayahku yang seorang pejabat tidak mengetahui bahwa ayahku telah menikah lagi, bagi ayah ini adalah aib yang harus ditutupi. Maka dari itu ayah sengaja menitipkanku di panti asuhan.

 

Tapi hal itu sama sekali tak membuatku membenci ayah, aku bisa mengerti perasaan ayah saat itu, yang belum siap dengan kehadiranku yang akan membuat keluarganya malu, karena perilaku ayah yang sama sekali tidak mencerminkan seorang anak pejabat pemerintahan yang selalu disegani oleh masyarakat.

Ayah sengaja menutupi hal itu. Akan tetapi, ayah sering sekali datang ke panti asuhan untuk mengunjungiku, ingin mengetahui perkembanganku, ayah juga selalu menuruti apa pun permintaanku, kecuali satu, yaitu berkumpul dengan keluarga ayah. Hal itu yang membuatku sedih, tidak bisa mempunyai keluarga yang utuh, tidak seperti yang lain, bisa disayangi oleh ayah dan ibunya dan bisa bertemu mereka setiap saat.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status