Share

4. MANUSIA YANG BERMANFAAT

"Hana, kamu serius mau cari jodoh online?" Salsa terkejut bukan main mendengar penuturan Hana yang membuatnya tak habis pikir.

Hana manggut-manggut. Ekspresinya serius, menandakan bahwa gadis itu tidak sedang main-main.

"Aku serius. Daripada aku harus ketemu sama anaknya temen Mama yang aku sendiri nggak tau rupanya, lebih baik aku cari teman kencan sendiri aja. Setidaknya kalau cari teman kencan online aku bisa ninggalin dia kapan aja kalau ternyata dia jelek. Yang terpenting aku bisa menghindari perjodohan yang diatur Mama kalau aku punya teman kencan." Hana menjelaskan alasannya kenapa ia berpikir untuk mencari teman kencan online.

"Sadis! Itu sama aja kamu cuma memanfaatkan orang lain demi kepentingan kamu sendiri, Hana!"

"Bukannya seharusnya orang itu senang kalau hidupnya bermanfaat untuk orang lain? Bukankah hidup kita akan lebih berharga kalau kita bermanfaat untuk orang lain?" Hana mendebat dengan santainya.

"Dasar gila! Bukan gitu juga kali!" Salsa semakin dibuat tak habis pikir dengan jalan pikiran Hana.

"Lagipula, Han, kamu ini cantik, kaya, seksi gini, siapa sih yang nggak mau sama kamu yang hampir nggak punya kekurangan? Sekali aja kamu berkedip, cowok-cowok pasti bakalan nyamperin kamu, jadi untuk apa kamu cari jodoh online segala?"

"Justru karena aku cantik, cerdas, kaya, manis, baik hati dan hampir nggak ada kekurangan, makanya aku mau cari jodoh online aja, Salsa." Hana mulai membanggakan diri.

Salsa mencibir kesal melihat sikap sombong sahabatnya itu, sebelum akhirnya meminta penjelasan lebih lanjut pada Hana.

"Maksudnya? Kenapa setelah menyadari semua kelebihan kamu, kamu tetap mau cari jodoh online?"

Hana membuang napas lelah sambil memutar bola matanya malas. "Sa, waktu pembagian otak, kamu telat datang ya? Makanya kamu jadi lemot gini kalau diajak ngomong!"

Salsa melempar bantal dengan kekesalan penuh. "Ya ya ya, aku emang lemot, kalau kamu nggak mau jelasin ya udah, bye!"

"Dasar tukang ngambek!" cibir Hana cuek.

Salsa memutar bola matanya kesal lalu memilih untuk tidak bertanya lagi daripada dirinya semakin sakit hati.

"Aku udah bosan sama cowok-cowok di sekitarku, Sa, mereka rata-rata cuma liat fisik doang, nggak ada yang tulus. Lebih baik aku jomblo aja daripada pacaran sama mereka yang nggak tulus." Hana melanjutkan bicaranya, menjelaskan alasannya yang sebenarnya agar Salsa merasa puas dan tidak kesal lagi.

"Jadi orang cantik susah, ya," celetuk Salsa.

"Jadi orang cantik emang capek, tapi jadi orang jelek lebih capek lagi. Capek ngejar tapi nggak ada yang di dapat," seloroh Hana sambil pura-pura melempar pandangan ke arah lain, padahal sebenarnya Hana melirik ke arah Salsa dan mendapati wajah kesal sahabatnya itu.

"Kenapa Anda jadi nyindir Saya?" Salsa merubah logat bicaranya karena sedang kesal dan Hana malah tertawa.

"Aku nggak nyindir siapapun, tapi kalau kamu merasa ya itu masalahmu, bukan salahku." Hana membalas dengan nada cuek.

Salsa terpaksa tidak menimpali ucapan Hana lagi. Gadis itu mengomel sendiri dengan nada pelan.

Hana dapat mendengar Salsa yang terus mencibir dan memaki sikapnya, namun Hana tak menghiraukannya, pura-pura tuli saja.

Hana mengotak-atik ponselnya dan mulai mencari-cari rekomendasi aplikasi perjodohan dengan rating yang bagus. Setelah berselancar pada layar datar itu, Hana tertarik pada sebuah aplikasi yang sepertinya cukup menyenangkan. Selain aplikasi perjodohan, ternyata aplikasi tersebut menyediakan game juga untuk memperdalam kecocokan antar pencari jodoh.

Hana segera mendownload aplikasi PLAY DATES dan segera mengisi data diri untuk segera memainkan permainan yang akan menuntunnya menemukan pasangan kencan yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi dengan dirinya.

Salsa tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh sahabatnya, gadis itu merasa ngantuk setelah makan banyak dan akhirnya ia memilih untuk tidur saja.

Merasa game itu menyenangkan, Hana terlalu asik memainkan game tersebut sampai lupa waktu. Ia pun tak sadar Salsa sudah mendekur halus di sebelahnya. Gadis itu mungkin sudah berada di alam mimpi sekarang.

Di waktu yang sama, di rumah keluarga Hana, Sonya terlihat merengek pada sang suami ketika suaminya baru saja pulang dari kantor yang pulang terlambat seperti biasanya, lantaran sang suami tidak ada respon apa-apa ketika dirinya mengadu bahwa putri semata wayang mereka kabur dari rumah.

"Pa, apa Papa nggak dengar tadi Mama bilang apa?"

"Dengar, Ma, Papa dengar. Mama bilang Hana kabur, kan? Terus kalau udah gini mau bagaimana lagi? Hana pergi dari rumah juga karena Mama terus mendesak dia untuk menuruti keinginan Mama, kan?" Surya membalas rengekan istrinya dengan begitu santai, sambil melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.

"Jadi Papa menyalahkan Mama? Maksud Papa, Hana pergi gara-gara Mama, begitu?" Sonya yang sejak tadi kalang kabut mencari Hana dan tidak dapat menemukannya, sekarang tambah bersungut kesal karena suaminya ternyata menyalahkan dirinya.

"Papa nggak nyalahin Mama, apapun yang Mama lakukan juga pasti punya alasan. Tapi, Ma, untuk masalah menikah itu nggak bisa dipaksakan. Usia Hana masih cukup muda untuk menikah, wajar kalau dia belum berpikir kesana. Nanti kalau sudah saatnya, Hana pasti akan memikirkan hal ini dengan sendirinya, Ma, nggak perlu didesak terus menerus." Surya memberikan ultimatum pada sang istri.

"Pa, Mama selalu di sindir sama temen-temen arisan Mama, lho. Ada yang bilang Hana sangat pemilih, ada juga yang bilang kalau Hana itu gadis arogan, jadi nggak ada yang mau mendekati anak kita. Mama malu, Pa!"

"Ya udah lah, Ma, cuma disindir doang nggak bikin Mama lecet-lecet atau bolong kayak sundel bolong, kan? Abaikan saja. Salah satu fungsi mulut kan emang untuk ngomong, ya biarin aja mereka mau bilang apa." Surya masih menasehati istrinya dengan nada yang begitu enak di dengar.

"Memang Mama nggak lecet, tapi hati Mama terluka, Pa. Mama nggak suka putri Mama digosipin gitu." Sonya masih merajuk. Kemudian sang suami meraih tangannya dan mengusapnya pelan.

"Iya, Papa tau Mama melakukan itu untuk kebaikan putri kita. Tapi kalau Papa boleh kasih saran, lebih baik Mama nggak usah terlalu menanggapi komentar-komentar teman Mama itu. Mereka bicara dengan mulut tapi Mama menangkapnya dengan hati, Mama yang akan repot sendiri, kan?"

Perlahan emosi Sonya yang tadi meluap-luap kini mulai reda mendengar perkataan demi perkataan sang suami yang lembut terdengar di telinganya.

"Tapi, Pa, Mama khawatir sama Hana. Dia pergi nggak tau kemana. Mama tanya dia ada di mana tapi dia nggak bilang dia ada di mana, Pa. Hana cuma bilang bisa jaga diri dan minta Mama nggak usah khawatir. Gimana Mama bisa nggak khawatir? Hana anak gadis, Pa, dia—"

"Hana akan bisa memilih tempat yang bagus untuk tempat tinggalnya, Ma, jadi Mama tenang aja. Hana itu kan mirip kamu, maunya tinggal di tempat yang bagus," ujar Surya menyela kalimat Sonya, kemudian terkekeh setelah selesai berbicara.

Sonya melengos ketika mendengar suaminya menyamakan Hana dengan dirinya perihal itu. Namun sejujurnya Sonya merasa lega karena yang dikatakan suaminya memang benar, Hana tidak mungkin tinggal di sembarang tempat.

"Kenapa Papa nggak coba hubungi Hana aja? Hana selalu mau terbuka sama kamu, kan?" ujar Sonya.

Surya mengangguk. "Ya udah, sekarang aku mandi dulu lalu kita makan. Nanti abis makan Papa coba hubungi Hana."

"Ya. Semoga aja Hana mau kasih tau Papa, di mana dia tinggal."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status