"Hana, kamu serius mau cari jodoh online?" Salsa terkejut bukan main mendengar penuturan Hana yang membuatnya tak habis pikir.
Hana manggut-manggut. Ekspresinya serius, menandakan bahwa gadis itu tidak sedang main-main."Aku serius. Daripada aku harus ketemu sama anaknya temen Mama yang aku sendiri nggak tau rupanya, lebih baik aku cari teman kencan sendiri aja. Setidaknya kalau cari teman kencan online aku bisa ninggalin dia kapan aja kalau ternyata dia jelek. Yang terpenting aku bisa menghindari perjodohan yang diatur Mama kalau aku punya teman kencan." Hana menjelaskan alasannya kenapa ia berpikir untuk mencari teman kencan online."Sadis! Itu sama aja kamu cuma memanfaatkan orang lain demi kepentingan kamu sendiri, Hana!""Bukannya seharusnya orang itu senang kalau hidupnya bermanfaat untuk orang lain? Bukankah hidup kita akan lebih berharga kalau kita bermanfaat untuk orang lain?" Hana mendebat dengan santainya."Dasar gila! Bukan gitu juga kali!" Salsa semakin dibuat tak habis pikir dengan jalan pikiran Hana."Lagipula, Han, kamu ini cantik, kaya, seksi gini, siapa sih yang nggak mau sama kamu yang hampir nggak punya kekurangan? Sekali aja kamu berkedip, cowok-cowok pasti bakalan nyamperin kamu, jadi untuk apa kamu cari jodoh online segala?""Justru karena aku cantik, cerdas, kaya, manis, baik hati dan hampir nggak ada kekurangan, makanya aku mau cari jodoh online aja, Salsa." Hana mulai membanggakan diri.Salsa mencibir kesal melihat sikap sombong sahabatnya itu, sebelum akhirnya meminta penjelasan lebih lanjut pada Hana."Maksudnya? Kenapa setelah menyadari semua kelebihan kamu, kamu tetap mau cari jodoh online?"Hana membuang napas lelah sambil memutar bola matanya malas. "Sa, waktu pembagian otak, kamu telat datang ya? Makanya kamu jadi lemot gini kalau diajak ngomong!"Salsa melempar bantal dengan kekesalan penuh. "Ya ya ya, aku emang lemot, kalau kamu nggak mau jelasin ya udah, bye!""Dasar tukang ngambek!" cibir Hana cuek.Salsa memutar bola matanya kesal lalu memilih untuk tidak bertanya lagi daripada dirinya semakin sakit hati."Aku udah bosan sama cowok-cowok di sekitarku, Sa, mereka rata-rata cuma liat fisik doang, nggak ada yang tulus. Lebih baik aku jomblo aja daripada pacaran sama mereka yang nggak tulus." Hana melanjutkan bicaranya, menjelaskan alasannya yang sebenarnya agar Salsa merasa puas dan tidak kesal lagi."Jadi orang cantik susah, ya," celetuk Salsa."Jadi orang cantik emang capek, tapi jadi orang jelek lebih capek lagi. Capek ngejar tapi nggak ada yang di dapat," seloroh Hana sambil pura-pura melempar pandangan ke arah lain, padahal sebenarnya Hana melirik ke arah Salsa dan mendapati wajah kesal sahabatnya itu."Kenapa Anda jadi nyindir Saya?" Salsa merubah logat bicaranya karena sedang kesal dan Hana malah tertawa."Aku nggak nyindir siapapun, tapi kalau kamu merasa ya itu masalahmu, bukan salahku." Hana membalas dengan nada cuek.Salsa terpaksa tidak menimpali ucapan Hana lagi. Gadis itu mengomel sendiri dengan nada pelan.Hana dapat mendengar Salsa yang terus mencibir dan memaki sikapnya, namun Hana tak menghiraukannya, pura-pura tuli saja.Hana mengotak-atik ponselnya dan mulai mencari-cari rekomendasi aplikasi perjodohan dengan rating yang bagus. Setelah berselancar pada layar datar itu, Hana tertarik pada sebuah aplikasi yang sepertinya cukup menyenangkan. Selain aplikasi perjodohan, ternyata aplikasi tersebut menyediakan game juga untuk memperdalam kecocokan antar pencari jodoh.Hana segera mendownload aplikasi PLAY DATES dan segera mengisi data diri untuk segera memainkan permainan yang akan menuntunnya menemukan pasangan kencan yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi dengan dirinya.Salsa tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh sahabatnya, gadis itu merasa ngantuk setelah makan banyak dan akhirnya ia memilih untuk tidur saja.Merasa game itu menyenangkan, Hana terlalu asik memainkan game tersebut sampai lupa waktu. Ia pun tak sadar Salsa sudah mendekur halus di sebelahnya. Gadis itu mungkin sudah berada di alam mimpi sekarang.Di waktu yang sama, di rumah keluarga Hana, Sonya terlihat merengek pada sang suami ketika suaminya baru saja pulang dari kantor yang pulang terlambat seperti biasanya, lantaran sang suami tidak ada respon apa-apa ketika dirinya mengadu bahwa putri semata wayang mereka kabur dari rumah."Pa, apa Papa nggak dengar tadi Mama bilang apa?""Dengar, Ma, Papa dengar. Mama bilang Hana kabur, kan? Terus kalau udah gini mau bagaimana lagi? Hana pergi dari rumah juga karena Mama terus mendesak dia untuk menuruti keinginan Mama, kan?" Surya membalas rengekan istrinya dengan begitu santai, sambil melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya."Jadi Papa menyalahkan Mama? Maksud Papa, Hana pergi gara-gara Mama, begitu?" Sonya yang sejak tadi kalang kabut mencari Hana dan tidak dapat menemukannya, sekarang tambah bersungut kesal karena suaminya ternyata menyalahkan dirinya."Papa nggak nyalahin Mama, apapun yang Mama lakukan juga pasti punya alasan. Tapi, Ma, untuk masalah menikah itu nggak bisa dipaksakan. Usia Hana masih cukup muda untuk menikah, wajar kalau dia belum berpikir kesana. Nanti kalau sudah saatnya, Hana pasti akan memikirkan hal ini dengan sendirinya, Ma, nggak perlu didesak terus menerus." Surya memberikan ultimatum pada sang istri."Pa, Mama selalu di sindir sama temen-temen arisan Mama, lho. Ada yang bilang Hana sangat pemilih, ada juga yang bilang kalau Hana itu gadis arogan, jadi nggak ada yang mau mendekati anak kita. Mama malu, Pa!""Ya udah lah, Ma, cuma disindir doang nggak bikin Mama lecet-lecet atau bolong kayak sundel bolong, kan? Abaikan saja. Salah satu fungsi mulut kan emang untuk ngomong, ya biarin aja mereka mau bilang apa." Surya masih menasehati istrinya dengan nada yang begitu enak di dengar."Memang Mama nggak lecet, tapi hati Mama terluka, Pa. Mama nggak suka putri Mama digosipin gitu." Sonya masih merajuk. Kemudian sang suami meraih tangannya dan mengusapnya pelan."Iya, Papa tau Mama melakukan itu untuk kebaikan putri kita. Tapi kalau Papa boleh kasih saran, lebih baik Mama nggak usah terlalu menanggapi komentar-komentar teman Mama itu. Mereka bicara dengan mulut tapi Mama menangkapnya dengan hati, Mama yang akan repot sendiri, kan?"Perlahan emosi Sonya yang tadi meluap-luap kini mulai reda mendengar perkataan demi perkataan sang suami yang lembut terdengar di telinganya."Tapi, Pa, Mama khawatir sama Hana. Dia pergi nggak tau kemana. Mama tanya dia ada di mana tapi dia nggak bilang dia ada di mana, Pa. Hana cuma bilang bisa jaga diri dan minta Mama nggak usah khawatir. Gimana Mama bisa nggak khawatir? Hana anak gadis, Pa, dia—""Hana akan bisa memilih tempat yang bagus untuk tempat tinggalnya, Ma, jadi Mama tenang aja. Hana itu kan mirip kamu, maunya tinggal di tempat yang bagus," ujar Surya menyela kalimat Sonya, kemudian terkekeh setelah selesai berbicara.Sonya melengos ketika mendengar suaminya menyamakan Hana dengan dirinya perihal itu. Namun sejujurnya Sonya merasa lega karena yang dikatakan suaminya memang benar, Hana tidak mungkin tinggal di sembarang tempat."Kenapa Papa nggak coba hubungi Hana aja? Hana selalu mau terbuka sama kamu, kan?" ujar Sonya.Surya mengangguk. "Ya udah, sekarang aku mandi dulu lalu kita makan. Nanti abis makan Papa coba hubungi Hana.""Ya. Semoga aja Hana mau kasih tau Papa, di mana dia tinggal."***Pagi hari, Hana menyeret Salsa untuk pergi ke pantai. Salsa yang sangat jarang bangun pagi buta seperti itu pun mengomel tiada henti dan terus memaki Hana karena telah menyita waktu tidurnya. Namun Hana tidak peduli, gadis itu memasang sikap acuh.Ya, Salsa memang tinggal di sebuah resort di pinggir pantai, hingga mereka bisa pergi ke pantai hanya dengan berjalan kaki saja."Hanaaa... Aku tuh masih ngantuk, tau!" Salsa melancarkan aksi protesnya, dengan menyentakkan tangan Hana yang sejak tadi setia melingkari pergelangan tangannya, kemudian Salsa melempar tatapan tak suka pada Hana sambil mengerucutkan bibir."Sa, kamu nggak liat badan kamu itu punya banyak lipatan? Masih aja kerjaannya cuma makan sama tidur? Cepat lari! Kita olahraga," ujar Hana sedikit panjang.Meskipun apa yang diucapkan Hana memang benar, tapi tetap saja Salsa merasa kesal jika diingatkan bahwa dirinya memiliki lipatan di perutnya. Dan sepertinya memang karena ia kurang berolahraga.Salsa mencibir. "Nggak puas, y
Setelah mendapat notifikasi dari aplikasi PLAY DATES dimana mengharuskan Hana melakukan pertemuan dengan seseorang yang memiliki kecocokan dengan tingkat tinggi dengan dirinya, Hana melesat kembali ke tempat tinggal Salsa dan segera bersiap melakukan kencan pertamanya.Melihat Hana yang begitu semangat untuk bertemu teman kencan butanya, Salsa geleng-geleng kepala."Kamu serius mau ketemu sama teman kencan buta kamu itu? Gimana kalau ternyata dia jelek, buluk, berkumis, berjenggot, dan—""Nggak mungkin! Aku yakin dia nggak seperti yang kamu katakan barusan," sela Hana."Kenapa nggak mungkin? Kalau dia ganteng, kaya, good looking, mana mungkin dia cari jodoh online? Kecuali kalau dia punya kelainan!" Salsa menghardik."Apa menurutmu aku ini punya kelainan juga?" Hana mengembalikan pertanyaan itu dan Salsa tak bisa menjawabnya.Melihat salsa terdiam seperti itu, Hana tergerak untuk menjelaskan niatnya tanpa diminta. Karena biar bagaimanapun Hana tahu Salsa sedang mengkhawatirkan dirinya.
Hana melempar tatapan sedikit tajam ke arah Oliver yang menunggu jawaban atas pertanyaan. "Kamu serius mau tahu apa alasanku?"Oliver tersenyum miring, kemudian menarik diri dan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau aku nggak serius ngapain atau tanya segala."Kini giliran Hana yang menarik diri ke belakang dan melakukan hal yang sama seperti yang yang dilakukan Oliver, melipat kedua tangannya di depan dada sambil bersandar dan memasang wajah senyum miring pula."Gimana kalau aku bilang, aku mau manfaatin kamu?" Hana berkata dengan sangat cuek, tanpa beban, dan seolah tidak takut jika akhirnya pemuda itu tidak jadi menyambung hubungan mereka setelah ini. Toh perjodohan yang diatur ibunya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kalaupun Oliver memutus hubungan, Hana masih akan memiliki waktu untuk mencari teman kencan yang lain.Oliver terkekeh singkat. "Kamu mau manfaatin aku? Nggak akan semudah itu.""Oke, aku akan mengatakan
Hana kembali ke resort Salsa dengan senyum merekah begitu lebar. Kedua tangannya menenteng kresek besar berisi berbagai macam makanan. Menghempaskan bokongnya di atas sofa, Hana mulai membongkar belanjanya yang berisikan mulai dari makanan ringan beberapa minuman kaleng serta biskuit dan kue.Salsa yang mendapati itu, terperangah dan tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Gadis itu hanya geleng-geleng dengan mulut yang terus terbuka."Tutup mulut! Nanti ada lalat masuk, lho!" celetuk Hana acuh, kemudian melanjutkan menyantap snack di tangannya.Salsa berdecak kesal dengan sikap Hana. Jika dilihat-lihat sepertinya sahabatnya itu tengah bersuka hati, sehingga membeli begitu banyak makanan untuk merayakan kebahagiaan yang didapatnya.'Apa kencan butanya sama cowok aplikasi itu berjalan dengan baik?' Salsa membatin.Masih dengan sedikit kesal, Salsa bergerak memeriksa kantong kresek yang tadi dibawa oleh Hana, mencari sesuatu yang kira-kira bisa dimakan tanpa membuat berat badannya me
Hana tertegun cukup lama. Apa yang dikatakan Salsa memang benar, biasanya dia selalu diperjuangkan, kenapa pula sekarang Nia merasa harus memperjuangkan Oliver, pemuda yang dikenalnya melalui aplikasi dan baru bertemu di dunia nyata sekali saja.Hana menggelengkan kepalanya kuat, seolah berusaha menyingkirkan banyak pemikiran yang tidak pernah terlintas di benaknya sebelumnya."Oke, jadi gini. Tadi aku udah ngomong sejujurnya ke dia, apa tujuanku nyari jodoh online, tapi dia tetap mau lanjut meskipun dia tau kalau aku cuma manfaatin dia. Lagian dia juga bilang ikuti aturan aplikasi aja, nggak perlu dibikin pusing apapun yang terjadi nantinya." Setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya sendiri, kini Hana angkat bicara."Jadi hubungan kalian nggak pasti, kan? Gimana kalau suatu hari kamu beneran jatuh cinta sama cowok itu, tapi tiba-tiba aplikasi itu bilang kalian nggak cocok dan kalian nggak bisa lanjut hubungan?"Pertanyaan yang diajukan Salsa lagi-lagi membuat Hana bungkam beb
Salsa mengernyit mendengar ucapan pelan Hana yang terdengar menyebut nama Oliver. "Oliver? Bukannya itu nama cowok aplikasi itu? Mana? Di mana dia?" Salsa langsung bersemangat mencari keberadaan Oliver, dan mengikut arah pandang Hana.Hana menunjuk pada objek yang dia maksud, sambil terus menatapnya tanpa berkedip. "Itu, yang pake baju merah, dia ngapain disana? Apa itu keluarganya?"Salsa menyipitkan mata, mengamati pria bernama Oliver itu dan beberapa orang yang terlihat seperti keluarga. Tapi Salsa tidak yakin bahwa mereka merupakan keluarga Oliver."Meskipun mereka kelihatan seperti sebuah keluarga tapi aku nggak yakin kalau itu keluarga Oliver, Han. Jelas-jelas mereka berbeda. Mereka keliatan seperti orang bule tapi Oliver bukan bule." Salsa memberikan pendapat sesuai pengamatannya.Hana menganggukkan kepala sambil masih terus memandang ke arah dimana Oliver seperti begitu akrab dengan keluarga tersebut. Hana setuju dengan pendapat Salsa.Hana merogoh tas kecilnya dan meraih pons
Oliver menatap Hana penuh arti. Mendengar pertanyaan Hana, Oliver jadi berpikir untuk sekedar mengetes ketulusan gadis itu.'Dia bilang mau memanfaatkan aku, kan? Gimana kalau aku tes dia sedikit?' Batin Oliver berbicara."Kamu nggak bisa punya pasangan miskin, ya?" tanya Oliver yang cukup mampu membuat Hana kebingungan harus menjawab apa. Apakah kentara sekali bahwa ia sangat menghindari pria miskin?Sebenarnya bukan tanpa alasan, Hana menghindari pria miskin karena melihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, mereka hanya ingin memanfaatkan kekayaan orang tua Hana saja. Sedangkan yang tidak miskin hanya mengincar tubuh Hana saja. Karena itulah Hana sangat pemilih sekarang.Hana mengalihkan pandangan ke sembarang arah ketika berkata, "Bukan nggak bisa, tapi nggak terbiasa. Nggak papa cowok itu miskin asalkan dia bisa mencukupi kebutuhanku yang nggak sedikit." Hana menghindari berserobok tatap dengan pemuda di hadapannya."Jadi, apa masalahmu, sampai kamu mengajakku bertemu mendadak
Oliver melangkah cepat memasuki area penginapan di sisi utara, berbeda dengan penginapan Salsa yang berada di sisi selatan.Seorang pria paruh baya langsung menyambut Oliver. Wajahnya menggambarkan perasaan pria itu bahwa sebenarnya ia sedang tidak tenang."Bapak tidak menghubungi Mas Oliver?" tanya pria paruh baya itu sambil membimbing langkah Oliver menuju ruangannya."Nggak, Pak. Apa Papa menghubungi Bapak? Papa bilang apa?" tanya Oliver berbondong, dan sedikit tidak sabar menunggu jawaban dari pria dihadapannya."Bapak curiga Mas Oliver ada disini, Mas."Oliver mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. "Bapak udah mengepak barang saya, kan?""Sudah, Mas, sudah saya masukkan ke gudang, seperti perintah Mas Oliver."Oliver mengangguk. "Terima kasih banyak, Pak."Mereka terdiam sesaat, menciptakan keheningan di ruangan tersebut."Gimana ceritanya, Papa bisa tau saya disini, Pak?""Bapak memeriksa tiket keberangkatan Mas Oliver. Meskipun tujuannya tidak di kota ini, tapi pemberhentian M