Pagi hari, Hana menyeret Salsa untuk pergi ke pantai. Salsa yang sangat jarang bangun pagi buta seperti itu pun mengomel tiada henti dan terus memaki Hana karena telah menyita waktu tidurnya. Namun Hana tidak peduli, gadis itu memasang sikap acuh.
Ya, Salsa memang tinggal di sebuah resort di pinggir pantai, hingga mereka bisa pergi ke pantai hanya dengan berjalan kaki saja."Hanaaa... Aku tuh masih ngantuk, tau!" Salsa melancarkan aksi protesnya, dengan menyentakkan tangan Hana yang sejak tadi setia melingkari pergelangan tangannya, kemudian Salsa melempar tatapan tak suka pada Hana sambil mengerucutkan bibir."Sa, kamu nggak liat badan kamu itu punya banyak lipatan? Masih aja kerjaannya cuma makan sama tidur? Cepat lari! Kita olahraga," ujar Hana sedikit panjang.Meskipun apa yang diucapkan Hana memang benar, tapi tetap saja Salsa merasa kesal jika diingatkan bahwa dirinya memiliki lipatan di perutnya. Dan sepertinya memang karena ia kurang berolahraga.Salsa mencibir. "Nggak puas, ya, kalau sehari aja nggak menghina aku?" Salsa memutar bola matanya karena kesal.Hana tertawa. "Udah ayo, aku bantu kamu mengecilkan perut." Usai bicara demikian, Hana kembali menarik tangan Salsa dan membawanya lari.Salsa meronta dan berteriak protes, namun Hana tidak terpengaruh. Hana malah semakin gencar menarik Salsa dan berlari lebih kencang, hingga mau tidak mau Salsa mengikuti apa yang dilakukan Hana, daripada ia jatuh terjerembab jika tidak menyeimbangkan langkah dengan Hana dengan posisi tangannya yang terus dicekal Hana.Yang dilakukan Hana sebenarnya bertujuan baik. Hana tahu Salsa selalu tidak percaya diri dengan tubuhnya yang berisi, dan beberapa kali gadis itu kehilangan pria incarannya karena tidak percaya diri untuk mendekatinya. Maka, Hana ingin membantu Salsa membentuk tubuh yang ideal supaya kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Hanya saja Hana tidak bisa mengutarakan niat baiknya itu dengan perkataan yang lemah lembut, malah justru membuat Salsa kesal dengan tindakannya.Sudah cukup jauh berlari, Hana menghentikan aktivitasnya dan duduk di sebuah kursi pantai, diikuti oleh Salsa yang ngos-ngosan."Han, kamu mau bikin aku mati kehabisan napas? Gila!" Salsa kembali memaki di tengah sibuknya ia mengatur napas."Nyatanya kamu nggak mati, kan?" balas Hana cuek, kemudian mengubah posisinya menjadi berbaring di kursi pantai itu.Salsa hanya bisa mendengus kesal, dirinya tidak akan bisa menang berdebat dengan Hana. Akhirnya ia ikut berbaring di salah satu kursi pantai yang lain.Hana melirik ke arah Salsa yang terlihat napasnya mulai teratur, dan senyum tipis terbit di bibir Hana.Saat menyadari Salsa sudah tenang dan tidak mengomel lagi, Hana mengeluarkan ponselnya dan kebetulan sang ayah menelpon."Papa pasti disuruh Mama buat telpon Hana, kan?" tanpa basa-basi Hana langsung berbicara demikian saat menerima panggilan dari ayahnya.Mendengar Hana berkata demikian, Salsa memalingkan wajahnya ke arah dimana Hana berada, dan siap menguping pembicaraan Hana dengan sang ayah.Terdengar kekehan ringan Surya di seberang sana."Mama khawatir sama kamu, Hana, Mama takut kamu nggak tinggal di tempat yang terjamin," balas Surya apa adanya."Mama sama Papa tentu tau, aku nggak mungkin tinggal di kolong jembatan. Jadi kalian nggak perlu khawatir.""Papa tau, sangat tau. Biar bagaimanapun kami sebagai orang tua tetap memiliki perasaan khawatir saat putri kami tinggal di luar sendirian. Jadi, kamu bisa kasih tahu Papa, dimana kamu tinggal, kan?" Surya membujuk putrinya untuk memberitahu dimana gadis itu tinggal."Papa janji nggak akan kasih tau Mama, kalau Hana kasih tau dimana Hana sekarang?" Hana mencoba bernegosiasi."Kenapa Mama nggak boleh tau? Mama orang tua kamu juga, kan? Sejak semalam Mama terus memikirkan kamu, Hana, sejak semalam juga Papa kirim pesan ke kamu, tapi kamu nggak balas satupun pesan yang Papa kirim.""Maaf, semalam handphone Hana kehabisan daya," balas Hana singkat."Jadi, dimana kamu sekarang?""Karena Papa nggak mau janji sama Hana untuk nggak kasih tau Mama, jadi Hana nggak akan kasih tau Papa juga. Yang jelas saat ini Hana sedang bersantai, di tempat yang tenang, sejuk, dan—""Papa tebak, kamu sedang ada di pantai, benar?""Kok Papa bisa tau?" Hana terperanjat dan bangkit duduk. Apa yang dilakukan Hana membuat Salsa mengernyit penasaran.Diseberang sana terlihat Surya mengembangkan senyuman."Papa bisa mendengar desau angin yang kencang dan suara deru ombak, Hana.""Ah, Papa nggak asik! Serba tau!" Hana menggerutu pelan, membuat Surya tertawa kecil."Sekarang Papa akan menebak lagi, kamu pasti tinggal di tempat Salsa, Papa benar lagi, kan?"Hana mendengus. "Iya, Papa benar lagi." Hana tak bisa mengelak.Surya semakin tersenyum puas di tempatnya berdiri."Terserah kalau Papa mau kasih tau Mama, Hana tetap nggak mau pulang, Pa!" Hana melanjutkan bicaranya, dan terdengar pasrah jika ayahnya memberitahu keberadaannya pada sang ibu, namun dirinya juga tetap kekeh tidak ingin pulang."Kamu tenang aja, Hana, Mama nggak akan maksa kamu untuk pulang dalam waktu dekat. Mama pasti lega kalau tahu kamu tinggal di tempat Salsa, selain itu, putra Om Johan juga nggak jadi pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Katanya sih masih ada sedikit urusan."Penjelasan yang dituturkan sang ayah, mampu membuat Hana berjingkrak kegirangan. "Beneran, Pa? Ini serius, kan?" Suara Hana yang keras membuat Salsa yang sejak tadi hanya diam, semakin merasa penasaran."Iya, Papa serius. Emang Papa pernah bohong sama kamu? Jadi, apa kamu tetap nggak mau pulang?""Maaf, Pa, Hana tetap nggak akan pulang. Hana mau cari pacar dulu. Setelah dapat pacar Hana baru akan pulang dan kenalin pacar Hana ke Mama dan Papa," ujar Hana tetap menolak untuk pulang."Lagian kalau Hana pulang sekarang, Mama pasti akan mengatur perjodohan dengan orang lain, Hana nggak mau!" lanjut Hana lagi yang hafal dengan sifat ibunya.Surya terkekeh lagi sambil geleng-geleng kepala. "Ya sudah, terserah kamu, tapi kamu harus janji untuk jaga dirimu baik-baik, oke?""Siap, komandan!""Ya udah, Papa tutup dulu, Papa harus siap-siap berangkat ke kantor."Setelah sama-sama mengucapkan salam, sambungan telepon pun berakhir."Ehem! Girang amat, nggak mau bagi-bagi kebahagiaan, nih?" celetuk Salsa saat melihat Hana senyum-senyum sendiri setelah mengakhiri obrolan via telepon."Iya, dong, aku senang karena cowok yang mau dijodohin itu ternyata nggak jadi balik ke Indonesia. Aku bebas sekarang. Tapi aku tetap akan melanjutkan rencanaku.""Cari teman kencan online?"Hana hanya membalas dengan anggukan kepala."Ngapain, sih? Kan perjodohan itu nggak akan berlangsung selama cowok itu belum balik, jadi nggak usah cari teman kencan online lagi, Hana. Jangan konyol!" Salsa terlihat tidak menyetujui rencana Hana."Mati satu tumbuh seribu. Cowok itu nggak jadi datang, bukan berarti Mama nggak akan atur perjodohan lain buat aku, Sa. Jadi aku tetap akan melanjutkan rencanaku." Keputusan Hana tetap tidak bisa diganggu gugat.Bertepatan dengan itu, masuk sebuah notifikasi di ponsel Hana yang langsung membuat Hana melebarkan mata.Salsa yang menyaksikan Hana semakin melebarkan mata tanpa bicara apapun, tergelitik untuk mengetahui apa yang dilihat sahabatnya itu."Kenapa kamu? Kesambet?" Sambil bertanya demikian, Salsa pun merebut ponsel Hana dari tangan pemiliknya."Aku dapat jodoh, Sa!" Hana berseru senang tak tertahankan.Mendengar teriakan Hana, Salsa meneliti layar ponsel Hana yang menampakkan undangan pertemuan Hana dengan si jodoh online-nya itu. Hana semakin mencibir dan tak habis pikir dengan jalan pikiran Hana."Jodoh online? Dasar gila!"***Setelah mendapat notifikasi dari aplikasi PLAY DATES dimana mengharuskan Hana melakukan pertemuan dengan seseorang yang memiliki kecocokan dengan tingkat tinggi dengan dirinya, Hana melesat kembali ke tempat tinggal Salsa dan segera bersiap melakukan kencan pertamanya.Melihat Hana yang begitu semangat untuk bertemu teman kencan butanya, Salsa geleng-geleng kepala."Kamu serius mau ketemu sama teman kencan buta kamu itu? Gimana kalau ternyata dia jelek, buluk, berkumis, berjenggot, dan—""Nggak mungkin! Aku yakin dia nggak seperti yang kamu katakan barusan," sela Hana."Kenapa nggak mungkin? Kalau dia ganteng, kaya, good looking, mana mungkin dia cari jodoh online? Kecuali kalau dia punya kelainan!" Salsa menghardik."Apa menurutmu aku ini punya kelainan juga?" Hana mengembalikan pertanyaan itu dan Salsa tak bisa menjawabnya.Melihat salsa terdiam seperti itu, Hana tergerak untuk menjelaskan niatnya tanpa diminta. Karena biar bagaimanapun Hana tahu Salsa sedang mengkhawatirkan dirinya.
Hana melempar tatapan sedikit tajam ke arah Oliver yang menunggu jawaban atas pertanyaan. "Kamu serius mau tahu apa alasanku?"Oliver tersenyum miring, kemudian menarik diri dan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau aku nggak serius ngapain atau tanya segala."Kini giliran Hana yang menarik diri ke belakang dan melakukan hal yang sama seperti yang yang dilakukan Oliver, melipat kedua tangannya di depan dada sambil bersandar dan memasang wajah senyum miring pula."Gimana kalau aku bilang, aku mau manfaatin kamu?" Hana berkata dengan sangat cuek, tanpa beban, dan seolah tidak takut jika akhirnya pemuda itu tidak jadi menyambung hubungan mereka setelah ini. Toh perjodohan yang diatur ibunya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kalaupun Oliver memutus hubungan, Hana masih akan memiliki waktu untuk mencari teman kencan yang lain.Oliver terkekeh singkat. "Kamu mau manfaatin aku? Nggak akan semudah itu.""Oke, aku akan mengatakan
Hana kembali ke resort Salsa dengan senyum merekah begitu lebar. Kedua tangannya menenteng kresek besar berisi berbagai macam makanan. Menghempaskan bokongnya di atas sofa, Hana mulai membongkar belanjanya yang berisikan mulai dari makanan ringan beberapa minuman kaleng serta biskuit dan kue.Salsa yang mendapati itu, terperangah dan tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Gadis itu hanya geleng-geleng dengan mulut yang terus terbuka."Tutup mulut! Nanti ada lalat masuk, lho!" celetuk Hana acuh, kemudian melanjutkan menyantap snack di tangannya.Salsa berdecak kesal dengan sikap Hana. Jika dilihat-lihat sepertinya sahabatnya itu tengah bersuka hati, sehingga membeli begitu banyak makanan untuk merayakan kebahagiaan yang didapatnya.'Apa kencan butanya sama cowok aplikasi itu berjalan dengan baik?' Salsa membatin.Masih dengan sedikit kesal, Salsa bergerak memeriksa kantong kresek yang tadi dibawa oleh Hana, mencari sesuatu yang kira-kira bisa dimakan tanpa membuat berat badannya me
Hana tertegun cukup lama. Apa yang dikatakan Salsa memang benar, biasanya dia selalu diperjuangkan, kenapa pula sekarang Nia merasa harus memperjuangkan Oliver, pemuda yang dikenalnya melalui aplikasi dan baru bertemu di dunia nyata sekali saja.Hana menggelengkan kepalanya kuat, seolah berusaha menyingkirkan banyak pemikiran yang tidak pernah terlintas di benaknya sebelumnya."Oke, jadi gini. Tadi aku udah ngomong sejujurnya ke dia, apa tujuanku nyari jodoh online, tapi dia tetap mau lanjut meskipun dia tau kalau aku cuma manfaatin dia. Lagian dia juga bilang ikuti aturan aplikasi aja, nggak perlu dibikin pusing apapun yang terjadi nantinya." Setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya sendiri, kini Hana angkat bicara."Jadi hubungan kalian nggak pasti, kan? Gimana kalau suatu hari kamu beneran jatuh cinta sama cowok itu, tapi tiba-tiba aplikasi itu bilang kalian nggak cocok dan kalian nggak bisa lanjut hubungan?"Pertanyaan yang diajukan Salsa lagi-lagi membuat Hana bungkam beb
Salsa mengernyit mendengar ucapan pelan Hana yang terdengar menyebut nama Oliver. "Oliver? Bukannya itu nama cowok aplikasi itu? Mana? Di mana dia?" Salsa langsung bersemangat mencari keberadaan Oliver, dan mengikut arah pandang Hana.Hana menunjuk pada objek yang dia maksud, sambil terus menatapnya tanpa berkedip. "Itu, yang pake baju merah, dia ngapain disana? Apa itu keluarganya?"Salsa menyipitkan mata, mengamati pria bernama Oliver itu dan beberapa orang yang terlihat seperti keluarga. Tapi Salsa tidak yakin bahwa mereka merupakan keluarga Oliver."Meskipun mereka kelihatan seperti sebuah keluarga tapi aku nggak yakin kalau itu keluarga Oliver, Han. Jelas-jelas mereka berbeda. Mereka keliatan seperti orang bule tapi Oliver bukan bule." Salsa memberikan pendapat sesuai pengamatannya.Hana menganggukkan kepala sambil masih terus memandang ke arah dimana Oliver seperti begitu akrab dengan keluarga tersebut. Hana setuju dengan pendapat Salsa.Hana merogoh tas kecilnya dan meraih pons
Oliver menatap Hana penuh arti. Mendengar pertanyaan Hana, Oliver jadi berpikir untuk sekedar mengetes ketulusan gadis itu.'Dia bilang mau memanfaatkan aku, kan? Gimana kalau aku tes dia sedikit?' Batin Oliver berbicara."Kamu nggak bisa punya pasangan miskin, ya?" tanya Oliver yang cukup mampu membuat Hana kebingungan harus menjawab apa. Apakah kentara sekali bahwa ia sangat menghindari pria miskin?Sebenarnya bukan tanpa alasan, Hana menghindari pria miskin karena melihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, mereka hanya ingin memanfaatkan kekayaan orang tua Hana saja. Sedangkan yang tidak miskin hanya mengincar tubuh Hana saja. Karena itulah Hana sangat pemilih sekarang.Hana mengalihkan pandangan ke sembarang arah ketika berkata, "Bukan nggak bisa, tapi nggak terbiasa. Nggak papa cowok itu miskin asalkan dia bisa mencukupi kebutuhanku yang nggak sedikit." Hana menghindari berserobok tatap dengan pemuda di hadapannya."Jadi, apa masalahmu, sampai kamu mengajakku bertemu mendadak
Oliver melangkah cepat memasuki area penginapan di sisi utara, berbeda dengan penginapan Salsa yang berada di sisi selatan.Seorang pria paruh baya langsung menyambut Oliver. Wajahnya menggambarkan perasaan pria itu bahwa sebenarnya ia sedang tidak tenang."Bapak tidak menghubungi Mas Oliver?" tanya pria paruh baya itu sambil membimbing langkah Oliver menuju ruangannya."Nggak, Pak. Apa Papa menghubungi Bapak? Papa bilang apa?" tanya Oliver berbondong, dan sedikit tidak sabar menunggu jawaban dari pria dihadapannya."Bapak curiga Mas Oliver ada disini, Mas."Oliver mengusap wajahnya dengan sedikit kasar. "Bapak udah mengepak barang saya, kan?""Sudah, Mas, sudah saya masukkan ke gudang, seperti perintah Mas Oliver."Oliver mengangguk. "Terima kasih banyak, Pak."Mereka terdiam sesaat, menciptakan keheningan di ruangan tersebut."Gimana ceritanya, Papa bisa tau saya disini, Pak?""Bapak memeriksa tiket keberangkatan Mas Oliver. Meskipun tujuannya tidak di kota ini, tapi pemberhentian M
Hana menggeliat ketika dirinya merasa kedinginan akibat selimut yang tadinya menutup hingga pundaknya, kini hanya menutup sampai bagian perutnya saja. Hal itu karena Salsa terlalu menguasai selimut tersebut.Hana berdecak pelan, sambil menarik pelan selimut itu dan mengambil bagian lebih lebar tanpa membuat Salsa kedinginan.Ketika Hana hendak kembali memejamkan mata, sialnya ada panggilan alami yang mengharuskannya untuk bangun dan pergi ke kamar mandi. Ya, hawa dingin membuatnya ingin buang air kecil.Dengan enggan Hana melangkah menuju kamar mandi. Ia enggak karena ia sebenarnya tidak ingin menyentuh air di hawa yang begitu dingin itu, namun mau bagaimana lagi? Mau tidak mau Hana harus bersentuhan dengan air, bukan?Hana melakukan kegiatannya dengan cepat. Keluar dari kamar mandi, kedua tangan Hana sibuk menggosok lengannya untuk mengurangi rasa dingin. Dan saat ia hendak kembali ke kamar, Hana mendengar ada sesuatu yang cukup berisik berasal dari samping tempat tinggal mereka. Han