로그인Pagi itu, matahari bahkan belum naik sepenuhnya ketika Fiona membuka matanya.
Cahaya lembut menembus tirai tipis, menggoreskan warna keemasan di dinding putih apartemen kecil itu.Kepalanya masih terasa berat setelah pertengkaran semalam.Udara kamar terasa pengap, penuh sisa-sisa kata yang belum selesai, kata yang menggantung di udara dan menusuk dada lebih tajam dari apa pun.Fiona duduk perlahan, menatap langit-langit sebentar sebelum akhirnya menarik napas dalam.Di sisi tempat tidur, Leon masih terbaring memunggunginya. Wajah pria itu tenang, seolah semalam tidak terjadi apa pun.Fiona menatapnya lama—diam, menimbang, dan kemudian menghela napas kecil.Dia tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang.Ia berjalan menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.Air dingin yang mengalir membasuh kulitnya tidak benar-benar menenangkan, tapi setidaknya cukup untuk menyingkirkan sedikit sisa amarah yangMalam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?
Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer
Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta
Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar
Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau







