"Kalian terlihat seperti pasangan yang bisa menaklukkan dunia. Pertahankan itu, agar semua omongan di luar yang merugikan proyekku, bisa hilang."Kedua mata Bastian berkedip pelan, ketika mengingat apa yang Lirien katakan saat meeting online berakhir. Itu sudah berjam-jam yang lalu, tapi entah kenapa Bastian terus memikirkan hal itu."Tadi kau menghilang karena meeting, sekarang pikiranmu melayang entah ke mana."Suara yang terdengar tiba-tiba itu, membuat Bastian yang berdiri di depan kulkas terlonjak. Dia sama sekali tidak mendengar sang ayah datang, dan membiarkan lelaki beruban itu membuka kulkas untuk mengambil sebotol air kemasan dingin."Sepertinya kau butuh minum." Landon menyerahkan botol yang dia pegang pada sang putra. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kau seperti lelah. Seperti habis pulang dari berperang."Bastian tanpa ragu mengangguk, kemudian mengambil botol air dan meminum isinya. "Teman-teman kerja Ariana itu orang-orang yang terlalu banyak bicara, walau s
"Pagi, Ari. Apa tidurmu nyenyak?" Landon menyapa, begitu dia melihat menantunya turun dari tangga.Letak dapur di rumah Landon, berdekatan dengan tangga. Siapa pun yang mau turun ke ruang makan atau ruang tengah, pasti harus melewati dapur yang sekarang dihuni oleh Landon seorang."Mau kopi?" Lelaki tua itu bertanya, menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepul. "Bukan kopi sekelas bartender, tapi aku rasa ini cukup untuk menemani pagimu.""Thanks ... Dad, tapi kau bikin sendiri?" tanya Ariana berasa agak canggung. Dia sama sekali tidak terbiasa dengan panggilan itu. "Bukannya kau ada perawat dan asisten rumah tangga?""Biasanya mereka datang nanti jam delapan," jelas Landon dengan santai. "Kebetulan aku sudah rindu menyeduh kopi, walau tidak boleh meminum. Katanya itu bisa menghambat kerja obat.""Oh, tentu saja itu bukan kopi kemasan dan aku membuatnya pakai sarung tangan." Landon memperlihatkan tangannya yang terbungkus dengan sarung tangan latex warna biru."Padahal kau t
[Bastian: Aku butuh menenangkan diri, tapi tenang saka. Aku tidak pergi ke klub.] Satu pesan itu yang pada akhirnya membuat Ariana menyumpah dan harus mengemudikan mobil, bahkan saat ponselnya terus berdenting dan berdering nyaris tanpa henti. Gosip yang beredar, membuat dirinya sibuk. "Padahal belum ada solusi untuk mengeluarkannya dari pusaran gosip, tapi dia malah menghilang?" geram Ariana masih fokus pada jalanan di depannya. Untungnya, Ariana berhasil sampai lebih cepat ke tempat yang dia tuju. Itu adalah rumah ayah mertuanya yang terletak agak di pinggir kota. Lebih sepi, nyaman dan sayangnya gosip masih menyebar dengan cukup luas di sana. "Bukankah ini foto perempuan yang pernah menginap di rumah Landon si mantan model itu?" Suara seorang perempuan paruh baya terdengar, tepat sebelum Ariana berbelok ke pekarangan rumah sang mertua. Hal yang membuat Ariana yang memang berkendara dengan jendela terbuka batal berbelok. Rumah Landon memang dipagari dan cukup jauh dari
Suara embusan napas Bastian terdengar begitu jelas, saat dia menatap ponselnya. Itu bahkan mengalahkan denting lift yang berhenti di lantai yang dia tujuan. Membuat Bastian mau tidak mau harus melawan begitu banyak tubuh, hanya untuk keluar dari sebuah kotak besi. "Kau sudah dengar gosip terbaru di si Crawford?" Langkah Bastian nyaris saja terhenti mendengar nama keluarga ayah mertuanya disebut. Untungnya, dia cukup bisa mengendalikan diri dan bergegas melanjutkan langkah. Bastian sudah tahu gosip apa yang dimaksud dari grup chat proyek beberapa menit lalu. [Aldric: Bas, tolong bilang kalau yang ada di berita ini tidak benar. Mengirim link.] [Harison: Dasar Aldric gila sialan. Apa kau tidak punya otak?] [Maria: Lupakan saja soal Aldric, Bas. Mungkin lebih baik kau pulang saja duluan.] Sesampainya di ruangan, Bastian bukannya pulang. Dia malah membaca artikel yang diterbitkan sekitar lebih dari satu jam yang lalu. "Sialan," desis Bastian melempar ponselnya ke atas meja,
"Ariana." Elian mendobrak masuk ke dalam studio rekaman, tempat atasannya, Lirien dan Sebastian bekerja. "Kau ada masalah?" Sebastian yang bertanya, karena Ariana masih sementara rekaman. "Ada masalah cukup besar dan aku butuh bicara dengan bosku, please." Tentu saja Elian tanpa segan memberitahu alasannya, walau tidak lengkap. Tahu kalau sepertinya Elian serius, Sebastian berbalik menatap melewati dinding kaca. Dia menekan tombol dan mendekatkan bibir ke mikrofon untuk berbicara, "Kita istirahat sebentar." Dengan kening berkerut, Ariana melepas headphone. Dari tempatnya, dia bisa melihat sang asisten yang memberikan kode lewat tangan. Hal yang membuat Ariana jadi orang paling pertama keluar dari ruangan rekaman. "Ada masalah apa?" tanya Ariana dengan kening berkerut. "Aku rasa kau harus dengar ini." Elian menyerahkan ponselnya. Di layar itu, sudah terpampang file yang diberi nama petite colombe. "Oh, nama yang bagus." Lirien yang sempat melihat file rekaman itu langsung
"Ariana, jangan berjalan terlalu cepat." Bastian berlarian sambil membuka jasnya, mengejar sang istri yang sudah melangkah lebih dulu ke arah tempat mobilnya diparkir. "Kau bisa kedinginan, jadi ...." "Masalahnya, aku lebih suka kedinginan dibanding tidak tahu." Ariana yang masih kesal, memotong kalimat sang suami. Membuat Bastian batal menyampirkan jasnya. "Lagi pula aku juga pakai outer." "Aku minta maaf," ucap Bastian pelan, menunduk pelan. "Tidak usah minta maaf, karena kau belum mau mengatakan apa pun," ucap Ariana hanya sedikit lebih lembut. "Beri aku waktu. Setidaknya sampai ...." "Sampai sebelum kau kabur lagi," potong Ariana dengan mata melotot. "Kalau kau sampai kabur ke sini lagi tanpa izin, aku mungkin akan melaporkanmu pada Dad. Dia sudah lama mau menghukummu." "Aku mengerti." Mau tidak mau, Bastian hanya bisa mengangguk. "Kau mengerti, tapi belum tentu juga menepati janji. Untungny