"Cobalah tersenyum lebih lebar lagi, Ari. Kita sedang sesi foto."
"Tapi, bagaimana ini semua bisa terjadi Mom?" tanya Ariana dengan tatapan menerawang. "Mungkin kau harus tanya orang tuamu," jawab Bastian yang kini memaksakan senyum karena fotografer sudah mengarahkan. "Stop bicara dan fokus pada kamera." Ibu Ariana memberi perintah. Mau tidak mau, Ariana memaksakan senyumnya. Dia tentu saja tidak ingin menghancurkan foto apa pun yang ada dirinya, termasuk dengan foto pernikahan yang amat sangat tidak masuk akal ini. "Aku tidak sangka kalian benar-benar menikah." Seorang perempuan yang terlihat sedikit mirip dengan Ariana bersuara. "Terima kasih pujiannya, Anais. Aku harap kau tidak dijodohkan seperti aku di masa depan." Ariana tersenyum pada sang adik, walau dengan senyum sinis. "Tidak usah sensi begitu." Kali ini anak lelaki seumuran Anais yang berbicara. "Dia hanya mengatakan isi kepalanya." "Terima kasih Amadeus, tapi aku harap kau juga diam saja." Kali ini, Anna tersenyum pada si bungsu. "Dari pada kalian bertengkar seperti anak kecil, bagaimana kalau kita bubar saja?" tanya Sang ayah dengan kedua alis terangkat. "Acara sudah mau mulai." Semua orang dengan cepat bubar dan mulai melakukan apa pun juga. Jelas tidak orang yang ingin dimarahi oleh ayah mereka yang sepertinya sedang bad mood, walau masih bisa ditutupi dengan senyum politik yang tidak pernah gagal. "Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya bisa membedakan senyum asli Pak Alaric." Bastian memberitahu calon istrinya. "Sekarang itu senyum politik." "Aku sudah tahu dari dulu, tapi kenapa kau masih ada di sini?" Ariana mengerutkan kening, melihat Bastian yang belum pergi ke tempatnya. "Ini memang ruang tunggumu, tapi tidak berarti aku tidak boleh di sini kan?" tanya Bastian dengan sebelah alis terangkat. "Di luar panas." "Karena tempat acaranya di taman." Ariana memutar bola mata dengan gemas. "Kenapa juga Mom mau pesta di taman?" "Tapi lupakan saja itu." Bastian melambai pelan. "Yang penting adalah mantanmu tidak tahu tentang acara ini." "Ada masalah dengan itu?" tanya Ariana dengan kening berkerut. "Sekarang tidak, tapi akan jadi masalah kalau dia tiba-tiba saja datang mengacau." Ariana melotot mendengar omongan lelaki di sebelahnya. Tangannya sudah bergerak ingin memukul dan dengan suara keras, pukulan itu mengenai punggung Bastian. Hal yang membuat Ariana terkejut sendiri. "Aku sudah sering kena pukul, tapi yang satu ini cukup keras." Bukannya marah, Bastian malah tertawa pelan. "Kalau begitu, aku pergi dulu." "Dia masih bisa ketawa?" Ariana tentu saja akan melotot melihat lelaki yang tadi dia pukul. "Padahal tadi keras sekali." Tentu saja, Ariana tidak lagi peduli dengan Bastian. Apalagi karena acaranya sudah benar-benar dimulai dan dirinya sudah diminta untuk segera beranjak. "Gak apa-apa, Ari." Yang empunya nama bergumam pelan. "Lebih baik menikah dengan orang yang sudah kau kenali, dari pada cowok brengsek yang suka selingkuh. Yah, walau kami sering bertengkar." "Kenapa kau bicara sendiri?" Alaric menghampiri putrinya yang terlihat cantik dengan gaun putih berekor panjang. "Apa sekarang kau menyesal?" "Aku akan lebih menyesal, kalau menikah dengan mantanku yang brengsek itu." Ariana mendengus kesal. "Itu memang benar, tapi kau yakin?" tanya Alaric sekali lagi. "Maksud Dad, kalian memang teman kecil, tapi juga sering bertengkar. Menikah dengannya, sebenarnya bukan solusi." "Dad benar." Ariana mengangguk. "Ini memang bukan solusi instan untuk aku yang mau menikah muda dan malah diselingkuhi tunangan, tapi menurutku ini juga tidak buruk." "Tidak buruk, tapi apa sudah benar?" Ariana terdiam mendengar ucapan sang ayah. Dia sendiri tahu kalau ini sebenarnya tidak benar, tapi Ariana juga tidak ingin kalah dari mantan bermulut kurang ajar. "Tidak ada yang mau menikahi Ariana selain aku." Kata-kata sang mantan terus terngiang di telinga Ariana. "Menurutku, ini sudah cukup benar." Ariana terpaksa berbohong, bahkan sampai mengangguk yakin. "Lagian, Bastian juga setuju kan? "Tentu saja dia tidak akan berani menolak, tapi kalau ini sudah keputusanmu ...." Alaric tidak melanjutkan ucapannya, tapi langsung mengulurkan sikunya untuk digandeng. Hal yang membuat Ariana tersenyum dan segera menggandeng tangan sang ayah. Mereka pun melangkah keluar dari ruangan, untuk menuju ke tempat acara dengan pelan dan sambil bercakap. "Kau siap?" Alaric bertanya pada sang putri, untuk yang terakhir kalinya. "Siap," jawab Ariana dengan tatapan lurus ke depan. Alaric tidak lagi menanyai putrinya dan mulai melangkah, saat aba-aba untuk masuk terdengar. Cuaca di taman ini memang cukup panas, tapi mau tidak mau dia harus tersenyum di hadapan para tamu. "Pastikan kau tidak membuat Ariana menangis," bisik Alaric, ketika mereka sudah di depan mempelai lelaki. "Katakan itu pada mantan Ari, Sir," jawab Bastian masih bisa tersenyum. "Berani sekali kau." Ariana mendengus pelan. "Karena sudah terlanjur menikah, aku harus berani." Bastian terlihat cukup percaya diri. "Kita bahkan belum sah." "Tapi akan sah dalam beberapa menit." Bastian tersenyum tipis pada perempuan di sebelahnya. Ariana tidak banyak bicara lagi, karena ikrar pernikahan sudah ditanyakan. Dia memilih untuk serius, setidaknya sampai acara berakhir dengan baik. Tapi, itu ternyata tidak mudah. "BERHENTI!" Seseorang berteriak, tepat ketika mempelai akan bertukar cincin. "HENTIKAN PERNIKAHAN INI." "Mau apa lagi orang gila itu datang?" desis Ariana dengan mata melotot. "Hanya ada dua alasan mantan datang ke nikahan mantannya." Bastian menanggapi dengan tenang, sambil tetap memasangkan cincin di jari Ariana. "Dia memberi restu atau menggagalkan pernikahan.""Kau yakin tidak mau pindah ....""Tidak, Ari." Bastian langsung menolak, bahkan sebelum istrinya selesai bicara. "Aku tidak mau merepotkan keluarga kalian lebih dari ini, jadi aku akan tetap kerja di tempatku.""Padahal kau tidak merepotkan dan kau bisa bekerja denganku, tanpa harus melapor pada Dad." Ariana mengedikkan bahu dengan santai. "Thanks tawarannya, tapi tidak. Aku masih mau berusaha sendiri." Kali ini, Bastian tersenyum. Dia bisa merasakan kalau niat istrinya tidak jahat."Oke." Ariana pada akhirnya mengangkat tangan saja. "Tapi nanti jangan menyesal ya."Bastian hanya bisa tersenyum melihat istrinya, tapi dia tidak punya banyak waktu untuk membalas. Dia sudah harus segera pergi kerja, kalau tidak mau terlambat. Meninggalkan Ariana yang masih makan sarapan dengan santai."Padahal aku bosan," gumam Ariana menyeruput susu dari dalam gelas. "Karena masih libur, apa aku coba susul Bastian saja ya?""Aku akan menjenguk suamiku," putus Ariana bergegas meninggalkan meja
"Kau bilang apa?" tanya Ariana dengan mata melotot."Tinggal di rumahku saja," ulang Bastian tanpa beralih dari jalanan. Dia sedang menyetir mobil."Kenapa? Aku juga punya rumah kalau kau tidak mau tinggal dengan Dad.""Tapi aku tidak bisa biarkan ayahku sendirian," balas Bastian tetap fokus. "Kau tahu kalau dia tidak bisa ditinggal sendiri kan?""Bawa saja dia ke rumah kita." Ariana masih bersikeras. "Nanti sewa perawat juga.""Dad, tidak belum butuh perawat. Dia hanya butuh ditemani, saat aku ada waktu. Kau tidak mungkin seperti itu kan?""Memangnya kalau tinggal sendiri, kau tidak bisa menemani ayahmu?" Ariana masih saja membantah. "Justru lebih baik karena ada aku juga."Bastian mengembuskan napas pelan. Padahal, dia sudah merasa sedikit lebih segar karena mereka baru saja pulang liburan alias bulan madu yang dipaksakan. Tapi, sekarang dia sudah sakit kepala lagi.Padahal selama liburan berdua, semuanya cukup lancar. Bahkan bisa dibilang cukup menyenangkan. Mereka bahkan
"Jadi, kau mau kontrak berapa lama?" "Hah?" Tentu saja Ariana akan melotot mendengar apa yang diucapkan suaminya. Pasangan Ariana dan Bastian sekarang sudah berada di kamar hotel yang dipesankan orang tua mempelai perempuan. Ariana baru saja selesai mandi, ketika suaminya menanyakan hal tidak masuk akal dari arah sofa. "Maksudku, kontrak pernikahan. Kau pasti ingin membuatnya kan?" "Untuk apa?" Ariana malah makin melotot mendengar pertanyaan lanjutan sang suami. "Bukannya biasa begitu ya?" Bastian ikut bingung. "Yang kubaca di novel biasa seperti itu. Ada kontrak pernikahan yang dibuat, apalagi dengan keadaan kita yang sekarang." "Kau terlalu banyak baca novel." Saking gelinya, Ariana sampai mendengus. "Lagian, apa bagusnya baca novel romance?" "Itu untuk hiburan." Bastian mengedikkan bahunya dengan santai. "Hidup sudah susah, jadi sesekali harus menghibur diri sendiri." "Terserah, tapi aku tidak mau ada kontrak." "Hah? Serius?" Saking kagetnya, Bastian sampai duduk
"PERNIKAHAN INI TIDAK BOLEH TERJADI." Suara teriakan kembali terdengar. "Wah, sepertinya ini akan jadi headline news, mengingat ayahmu itu tokoh politik terkenal." Bastian masih sempat tertawa, sambil melihat lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha ditangani pengawal. "Jangan ketawa," hardik Ariana dengan mata melotot. "Ini bukan hal yang lucu." "Sayangnya, aku masih ingin tertawa lebih keras lagi," balas Bastian dengan senyum penuh arti. "Jadi bagaimana kalau kita lakukan sesuatu?" "Apa maksud ...." Ariana tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja Bastian menarik tengkuknya. Hal yang tentu saja membuat perempuan itu melotot, apalagi ketika sang suami menyibak kerudung pengantinnya dengan cepat, memajukan kepala dan menempelkan bibir mereka. Jangankan Ariana, Alaric sang ayah yang kebetulan melihat itu pun tercengang. Saat situasi sedang ribut seperti ini, siapa yang akan ingat ciuman pernikahan? Mana Bastian melakukannya dengan cukup intens, walau agak m
"Cobalah tersenyum lebih lebar lagi, Ari. Kita sedang sesi foto.""Tapi, bagaimana ini semua bisa terjadi Mom?" tanya Ariana dengan tatapan menerawang."Mungkin kau harus tanya orang tuamu," jawab Bastian yang kini memaksakan senyum karena fotografer sudah mengarahkan."Stop bicara dan fokus pada kamera." Ibu Ariana memberi perintah.Mau tidak mau, Ariana memaksakan senyumnya. Dia tentu saja tidak ingin menghancurkan foto apa pun yang ada dirinya, termasuk dengan foto pernikahan yang amat sangat tidak masuk akal ini."Aku tidak sangka kalian benar-benar menikah." Seorang perempuan yang terlihat sedikit mirip dengan Ariana bersuara."Terima kasih pujiannya, Anais. Aku harap kau tidak dijodohkan seperti aku di masa depan." Ariana tersenyum pada sang adik, walau dengan senyum sinis."Tidak usah sensi begitu." Kali ini anak lelaki seumuran Anais yang berbicara. "Dia hanya mengatakan isi kepalanya.""Terima kasih Amadeus, tapi aku harap kau juga diam saja." Kali ini, Anna terseny
"ADUH SAKIT! LEPASKAN!""Mana mungkin," jawab Ariana dengan mata melotot, sambil memegang kuat rambut panjang seorang perempuan. "Setelah kau tertangkap basah selingkuh tunanganku, aku mana mau melepasmu.""Ari, tolonglah." Seorang lelaki yang terlihat panik, berusaha menenangkan. "Ini tempat umum dan ....""Harusnya itu kalimatku." Kini Ariana melotot pada lelaki yang baru saja bicara. "Semua orang tahu kita bertunangan, lalu kau mencium dan meraba bokong perempuan ini?""Kau salah lihat." Sang tunangan dengan cepat menggeleng. "Kau salah lihat.""Kurasa kau salah menjambak." Tidak mau ketinggalan, Bastian malah mengompori. "Yang harus dijambak itu biang keroknya, bukan pelaku yang ditipu."Ucapan itu jelas saja membuat Ariana makin melotot, kali ini mengarah pada lelaki yang baru saja bicara. Makin melotot lagi saat Bastian malah melebarkan senyumannya dan melirik ke arah tunangan perempuan yang sedang mengamuk itu."Jangan memancing emosinya," hardik sang tunangan pada Bast