"PERNIKAHAN INI TIDAK BOLEH TERJADI." Suara teriakan kembali terdengar.
"Wah, sepertinya ini akan jadi headline news, mengingat ayahmu itu tokoh politik terkenal." Bastian masih sempat tertawa, sambil melihat lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha ditangani pengawal. "Jangan ketawa," hardik Ariana dengan mata melotot. "Ini bukan hal yang lucu." "Sayangnya, aku masih ingin tertawa lebih keras lagi," balas Bastian dengan senyum penuh arti. "Jadi bagaimana kalau kita lakukan sesuatu?" "Apa maksud ...." Ariana tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba saja Bastian menarik tengkuknya. Hal yang tentu saja membuat perempuan itu melotot, apalagi ketika sang suami menyibak kerudung pengantinnya dengan cepat, memajukan kepala dan menempelkan bibir mereka. Jangankan Ariana, Alaric sang ayah yang kebetulan melihat itu pun tercengang. Saat situasi sedang ribut seperti ini, siapa yang akan ingat ciuman pernikahan? Mana Bastian melakukannya dengan cukup intens, walau agak maksa (yang untungnya tidak kentara karena kerudung pengantin yang pada akhirnya menutupi mereka). "APA YANG KAU LAKUKAN?" Si mantan yang kebetulan melihat ciuman itu, langsung berteriak lagi dan memberontak lebih kuat lagi. "BERHENTI!" "Sialan!" Ariana bahkan sampai mengumpat karena kaget dan kehabisan napas, setelah ciumannya selesai. "Aku cukup lumayan kan?" Baru saja Bastian selesai bertanya, sebuah kepalan tangan mendarat tepat di hidung bangirnya. Hal yang tentu saja membuat semua orang terkejut dan berteriak. Itu adalah kelakuan mantan Ariana. Entah bagaimana, dia bisa lepas dari kepungan para pengawal profesional dan menerjang ke arah pelaminan. "APA YANG KAU LAKUKAN?" Giliran Ariana yang berteriak, sambil berusaha menarik mantannya menjauh. "Harusnya itu pertanyaanku, Ari. Kenapa kau malah kawin dan mencium cowok banci ini." Sang mantan balas memekik. "Romeo, aku kau sudah keterlaluan," hardik Ariana dengan mata melotot. Dia marah, tapi tidak menolong sang suami. "Apanya yang keterlaluan?" Lelaki yang dipanggil Romeo barusan malah menantang. "Aku hanya melindungi milikku." "Aku bukan milikmu dan kau selingkuh, Brengsek." Ariana melempar buket bunga pernikahannya. "Kau yang keterlaluan dan Baz bukan banci. Dia jelas cowok normal." "Aku salah, tapi aku kan sudah minta maaf. Kurang apa lagi." "Kurang setia," jawab Ariana dengan tegas dan tanpa ragu. "Aku tidak butuh cowok yang tidak setia, jadi lebih baik aku nikah sama teman bertengkarku sejak kecil dari pada denganmu." "Bawa dia pergi." Alaric memberi perintah pada para pengawal, setelah melihat Romeo membatu di tempat, ketika mendengar ucapan Ariana-putrinya. Hal itu membuat Ariana bergegas untuk menghampiri lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya itu. Untung saja, Bastian tidak terluka parah. "Hidungmu patah atau tidak?" tanya Ariana to the point, ketika suaminya sudah berdiri tegak tanpa bantuan sama sekali. "Gak tau juga sih, tapi yang jelas ini sakit." Bastian menjawabnya dengan tenang, disertai dengan cengiran yang cukup lebar. "Kalau sakit, berhenti ketawa seperti orang gila." Ariana hanya bisa menggeleng. "Bisa bangun kan?" Bastian tidak menjawab dan langsung bangkit berdiri. Tadi dia memang jatuh, tapi tidak ada masalah apa pun. Yah, kecuali tuxedo putihnya yang kotor kena tanah. "Pergi ganti bajumu dulu." Ibu Ariana memberi nasihat, setelah memeriksa keadaan menantunya. "Habis itu, baru kita lanjutkan acaranya." "Tentu saja Aunt Anna." Bastian dengan cepat mengangguk. "Kau sudah harus memanggilku, Mom," balas Anna menepuk pelan pundak sang menantu, sebelum membiarkannya pergi. "Asal kalian tahu, aku masih merasa pernikahan ini tidak masuk akal." Alaric mendekati istri dan putri sulungnya." "Berhenti mengatakan itu, Al." Anna sang istri, langsung memutar bola mata dengan gemas. "Kita semua tahu, kalau Bastian itu anak yang baik. Coba kau lihat dia masih menghampiri bapaknya dulu, sebelum ganti baju." Semua orang menatap lelaki yang masih tergolong muda itu, berbicara dengan seorang pria tua yang duduk di kursi roda. Mereka berbicara sebentar, sebelum Bastian pamit pergi dengan senyuman. "Dia baik." Ariana mengangguk setuju. "Tapi dari dulu, aku merasa ada yang aneh dengannya." "Apa karena itu kau sering menjahilinya?" Sang ayah membalas dengan kalimat tanya. "Mungkin." Ariana lagi-lagi mengangguk. "Atau aku memang jahil." "Atau mungkin karena Baz terlalu penurut," lanjut sang ibu kini menatap putrinya, karena sang menantu sudah tak terlihat. "Tapi apa kau tidak mau pergi mengejar suamimu?" "Untuk apa? Dia sudah besar dan bisa pakai baju sendiri." Ariana nyaris saja melotot. "Sudahlah, biarkan saja dia." Alaric merangkul putrinya. "Bastian bisa sendiri, dan kita punya tamu untuk disapa." Sementara yang lain menyapa tamu dan membereskan kekacauan, Bastian sudah mulai menanggalkan celana dan jas yang terkena tanah. Dia melempar potongan kain itu ke dalam keranjang yang sudah disediakan, kemudian mengambil yang baru dari dalam lemari. "Untung mereka sudah menyiapkan semuanya," gumam Bastian kembali memakai apa yang perlu dipakai. "Ada untungnya juga punya mertua kaya dan terpandang." Setelah mengatakan itu, Bastian meraba hidungnya. Masih sakit dan mungkin saja berubah warna menjadi biru, tapi itu tidak membuatnya kesal. Sebaliknya, Bastian malah tersenyum lebar. "Sakit," gumam Bastian masih menyentuh hidungnya. "Tapi ini cukup baik untuk permulaan. Berikutnya akan lebih baik lagi."Padahal rencana Bastian adalah mengajak istrinya makan siang bersama. Tapi, siapa sangka kalau dia malah menemukan pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat saat membuka pintu ruangan Ariana, tanpa mengetuk pintu lebih dulu.Itu adalah Ariana yang sedang memojokkan Elian dengan kedua tangan. Jelas terlihat kalau ada sesuatu, entah apa itu dan Bastian tidak suka."Maaf," gumam Bastian pelan. "Mungkin ... aku bisa kembali lagi nanti?" lanjutnya malah dalam kalimat tanya."Oh, tidak perlu." Melihat ada celah, Elian segera merunduk cukup rendah, untuk meloloskan diri. "Aku punya banyak pekerjaan dan tidak perlu salah paham. Aku sama sekali tidak suka Ariana dari segi apa pun itu," lanjut Elian sambil melangkah keluar dengan cepat."Hei, tahan dia." Tentu saja Ariana akan meminta sang suami untuk menahan asistennya, tapi yang ada Bastian malah bingung.Rasanya, siapa pun akan bingung jika ada di posisi Bastian. Apalagi, Elian juga bergegas mendorongnya yang masih berdiri di amban
"Bagaimana?" tanya Ariana pada asistennya yang baru masuk ke dalam ruangan. "Dia menolak." Sayangnya, Elian harus menggeleng. "Bagaimana dia bisa menolak sponsor?" pekik Ariana dengan mata yang sudah nyaris keluar dari rongganya. "Atau jangan-jangan, tawaran kita lebih sedikit dari Dominique ya?" "Sayangnya tidak." Elian hanya bisa menghela napas saat menjelaskan. "Pelukis Vita sendiri bilang tawaran kita sangat banyak, tapi tidak bisa mengecewakan investor yang sebelumnya." "Kenapa dia lurus sekali sih?" Ariana sampai menempelkan tangan ke pipi dan menariknya turun dengan kuat. "Seharusnya kau hasut dia lebih jauh lagi." "Aku sudah melakukannya." Elian nyaris saja menghardik bosnya. "Aku sudah menawarkan lebih dari yang kau tawarkan, tapi dia tetap tidak mau. Lagi pula, orang mana yang tidak tertarik dengan uang?" "Tidak ada," balas Ariana pelan. "Harusnya tidak ada orang yang tidak suka uang, tapi ternyata ada." "Dia sebenarnya hampir menerima karena jumlahnya besar,
"Ini gila." Arian mengatakan itu, sembari melangkah masuk ke dalam ruang kerja sang ayah. "Ini benar-benar gila.""Apa terjadi sesuatu?" Alaric yang kebetulan saja ada di dalam ruangan, tentu saja akan bertanya dengan ekspresi bingung."Sayangnya aku tidak tahu." Bastian yang menyusul sang istri, hanya bisa menggeleng pelan dan menutup pintu ruang kerja. "Aku tadi menjemput Ariana karena khawatir, tapi dia malah seperti ini," lanjut Bastian menjelaskan apa pun yang dia tahu. "Dia terus bilang gila atau sejenisnya.""Tentu saja ini gila," pekik Ariana membanting rambut palsu yang baru saja dia lepas dari rambutnya, menyisakan rambut asli perempuan itu yang ditutupi jaring. "Kalau kalian mendengar ini, kalian juga pasti akan bilang gila.""Baiklah." Alaric mengulurkan tangan, mencoba menghentikan gerakan apa pun yang akan dilakukan sang putri. "Bagaimana kalau kau duduk dulu dan mencoba menjelaskan, mulai dari ... penampilanmu.""Aku menyamar untuk masuk ke dalam galeri yang kem
"Ariana, kau tidak perlu ke sana." Suara Bastian terdengar dari ponsel yang menempel di telinga perempuan yang empunya nama. "Aku sudah memeriksa daerah itu." "Tenang saja, Bas." Ariana membalas dengan pelan, tidak mau ada yang mendengar. "Aku sudah menyamar dan penyamaranku jauh lebih baik darimu." Ariana yang sedang merapikan poninya, tersenyum menatap cermin toilet. Dia yang tadinya berambut panjang, sekarang punya rambut sebahu. Pakaian yang biasanya mewah, kini berganti dengan kaos polo biasa dan celana panjang robek. Kali ini, Ariana memang terlihat berbeda. "Memangnya penyamaran seperti apa yang kau lakukan?" desis Bastian agak kesal juga. "Lebih baik, kau kembali ke kantor saja. Please!" "Hei, kemarin kau merengek ingin pergi sendiri. Jadi kenapa hari ini aku tidak boleh pergi sendiri," hardik Ariana dengan mata melotot yang terpantul di cermin. "Aku minta maaf soal kemarin, tapi sekarang aku takut kalau misalnya terjadi sesuatu denganmu. Aku juga akan berjanji tidak
"Ma'am, aku sudah dapat kabar dari orang yang mengikuti Bastian Jackson." Sebuah suara terdengar dari ponsel Dominique. "Katanya lelaki itu menyamar jadi Sebastian Moran dan datang mengunjungi galeri kita.""Kenapa dia tidak kreatif sekali?" tanya Dominique dengan kening berkerut. "Itu namanya bukan menyamar, tapi hanya ganti nama. Mana ganti namanya dari Bastian ke Sebastian. Dia dapat inspirasi dari mana sih?""Mungkin Sebastian Leclerc?" ucap lelaki dari ujung sambungan telepon. "Biar bagaimana, Mr. Jackson pasti cukup sering bertemu dengan Sir Leclerc bukan?""Cukup masuk akal." Dominique mengangguk. "Tapi tidak, Sebastian adalah anak yang patuh walau dia dominan. Mereka mungkin sering bertemu karena dia bekerja dengan Ariana, tapi tidak akan terlibat.""Kalau begitu, aku hanya akan mengawasi saja dulu." Lelaki tadi kembali bersuara. "Jika ada perintah lain, mungkin Master bisa sampaikan sekarang.""Tidak." Dominique menggeleng. "Untuk sementara, awasi saja dia dan Leo."**
"Kau yakin mau pergi sendiri?" tanya Ariana, menatap sang suami dengan serius."Tidak apa-apa, Ari." Bastian membalas sang istri dengan senyuman. "Tempat ini tidak ditangani langsung oleh Dominique.""Iya sih, tapi katanya aliran dana tempat ini besar kan?" Ariana masih mau berargumen. "Itu artinya Dominique bisa muncul kapan saja. Atau mungkin tangan kanannya dia.""Menurut data, belum ada yang seperti itu." Elian yang muak dengan drama pagi hari itu, langsung menyela. "Sekali pun Dominique datang, dia selalu berkunjung pada malam hari saja. Bastian akan aman.""Apa kau bisa menjamin hal itu?" tanya Ariana melirik sang asisten dengan tajam. "Apa kau mau tanggung jawab?""Aku akan tanggung jawab." Tidak mau ada perkelahian, Bastian segera menyela. "Jadi tidak apa-apa. Lagi pula, ada petugas keamanan kan?"Ariana mengembuskan napas cukup keras. Padahal dia sudah membujuk sejak masih di rumah, tapi setelah sampai ke tempat tujuan pun, Bastian masih tidak tergoyahkan. Sepertinya,