MasukPichai dan orang-orangnya segera pergi setelah menerima gulungan uang yang hampir memenuhi tas hitam mereka. Langkah kaki mereka mulai meninggalkan ruang gelap ini bersama dengan gadis yang tersisa seorang diri. Menghilang di balik pintu besi yang menutup dengan dentuman berat. Ann mengkhawatirkan gadis itu, tanpa ia tahu bagaimana nasib dirinya sendiri.
Mikhael masih berdiri tegak, bayangannya membungkus tubuh Ann yang sedang gemetar. Pria di depannya terlihat agung dan kasar, tingginya menjulang seperti tiang, dan Ann tidak lebih dari dadanya, bahkan sedikit kurang. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan sentuhan dari balik tangannya yang kasar, kontras dengan kulit lembut gadis di depannya. “Lihat aku,” ucapnya—suara itu rendah, serak, dan berat. Ada rasa lelah diujungnya yang masih dapat dirasakan. Ann ragu. Matanya masih dipenuhi sisa air mata, kelopak matanya gemetar seperti daun di ujung angin Wajah pria di depannya tampak buram. Ann menyeka air matanya dengan cepat, hingga perlahan sosok itu menjadi jelas—wajah Mikhael, keras dan dingin, dengan rahang mengatup dan sorot mata yang tajam seperti bilah pisau. Mata mereka bertemu. Mata laki-laki itu tatapannya menusuk, dingin yang membuat orang ragu untuk mendekat. Tapi di kedalaman itu, ada sesuatu yang lebih berbahaya dari amarah—hasrat yang liar, terkekang, dan nyaris meledak. Mungkin karena pertandingan berdarah barusan, dia merasa lebih haus darah dan dipenuhi oleh hasrat liar yang berteriak-teriak. "Siapa namamu?" "Ann," suaranya bergetar dan lembut, hampir tidak terdengar dengan jelas. "Apakah kamu dari negara C?" Ann mengangguk cepat, hampir seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen. Mikhael tampak puas, ia menghela napas kemudian maju selangkah. Tangannya perlahan terulur, dan Ann menegang. Tapi bukan tubuhnya yang disentuh—melainkan liontin kupu-kupu kecil di lehernya. Jemarinya yang kasar menyentuh kalung itu dengan hati-hati, nyaris lembut. Seolah mengingat sesuatu di masa lalu. Mikhael juga menunjukkan ekspresi terkejut, jelas bukan sesuatu yang dapat dimengerti Ann. Selain membuatnya takut, pria di depannya juga membuatnya kebingungan. "Tahukah kamu siapa aku?" Tanyanya pelan, tetapi masih terdengar kasar dan agresif. "Mikhael?" jawab Ann, ragu. "Tampaknya kamu telah melupakannya," Ada sedikit nada kecewa dalam ucapannya. Nada kecewa itu menyelinap, dan entah kenapa, justru membuat Ann makin gelisah. Ia sama sekali tidak ingin tahu mengapa pria ini merasa kecewa. Ia hanya ingin pergi. Pergi sejauh mungkin darinya dan tempat ini. "Tolong lepaskan aku, a-aku akan membayar kembali uangnya, ini ilegal, tapi aku tidak akan memanggil polisi setelah ini, dan gadis itu, bisakah kau juga menyelamatkannya? ini pelanggaran berat! kamu bisa masuk penjara!" Ann, dengan kepercayaan dirinya mengumpulkan keberanian untuk membuka peluang bernegosiasi. Tetapi keberanian yang dia kumpulkan tampak seperti lelucon di mata Mikhael. Tawa seperti cemooh bagi dirinya yang terlalu naif. "Sayang... aku bukan Buddha yang bisa menyelamatkan semua orang," ucapnya tenang, memberi penjelasan bagi gadis yang tidak tahu apa-apa di depannya. "Lalu kenapa harus aku?" suaranya nyaris patah. "Karena kamu menangis paling keras dan itu berisik." Ia menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan panas di udara yang dingin. “Dan kalau aku menyuruh mereka membuatmu diam, kau mungkin akan dipukuli sampai mati.” Ann menggigit bibirnya. Matanya mulai panas karena terlalu lama menangis. "Aku hanya ingin pulang, kamu bisa mendapatkan uangmu kembali dan aku tidak akan menelpon polisi, bukankah itu sangat menguntungkanmu?" Ann kembali melembutkan suaranya, mencoba membujuk dengan nada permohonan dan putus asa. “Tidak ada uang kembali. Tidak ada pulang.” Mikhael mengerutkan kening, tampak frustasi dengan gadis yang masih menangis di hadapannya. "Gadis itu..kemudian aku, kami adalah korban!" suara Ann meninggi, emosi meledak. Tangannya mengepal, seperti memeluk sisa-sisa keberaniannya. "Ya, setiap hari selalu ada korban disini, ada yang mati kemudian ada yang datang menggantikan." Mikhael tampak santai, bahkan seperti mengatakan sesuatu yang biasa dilihatnya setiap hari, bahkan jika itu adalah faktanya. "Orang-orang datang, orang-orang pergi. Tapi tidak semua bisa pulang." tangan kasar Mikhael mengusap lembut pipi Ann. Tangannya yang besar hampir menutup seluruh wajah kecil gadis di hadapannya. "Tahukah kamu apa yang terjadi pada perempuan yang tidak dibeli di tempat ini?" Ann tak menjawab. Tapi napasnya mulai memburu. "Mereka akan dikirim ke distrik merah. Dijual. Diperbudak. Tubuh mereka akan dihargai per jam, dan tak ada yang peduli apakah mereka hidup atau mati setelahnya." Ia menatap lurus ke arah Ann, nada suaranya dingin dan mantap. "Tapi kamu… kamu tidak akan mengalami itu. Karena kamu milikku sekarang. Selama kamu milikku, tidak akan ada yang menyentuhmu. Tidak akan ada yang membuatmu kelaparan, atau menyiksamu." Ann masih menggigil ketakutan dan menolak percaya apa yang dikatakan pria di depannya. Itu merangsang naluri bertahan hidup dan empatinya terhadap tempat ini. "Ayo," ucap Mikhael tiba-tiba, memutus keheningan yang menegang. "Ke mana?" tanya Ann dengan suara nyaris tercekat. "Ikuti saja aku," jawab Mikhael ringan, lalu menambahkan, "Karena aku tak punya niat untuk melepaskanmu." Sebelum Ann bisa merespons, Mikhael bergerak. Ia menunduk sedikit, mendekat, dan mengecup dahi Ann. Ringan, sekilas, namun dingin seperti cap milik. itu membuatnya merinding dan ada sesuatu yang memintanya untuk segera melarikan sendiri. Dia tidak tahu harus lari ke mana, atau bagaimana, tapi tubuhnya tahu… tempat ini, pria ini, bukan sesuatu yang bisa dia pahami—apalagi percayai. ..."Kita akan kembali ke rumah,""Rumah?""Rumahku," jawab Mikhael, sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh—semakin jauh mereka pergi, semakin kecil kemungkinan Ann bisa meninggalkannya."Aku…" gumam Ann, suaranya serak dan ragu. Jari-jarinya saling meremas, tubuhnya menegang, alisnya berkerut bingung, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat namun semuanya lenyap dalam ketakutan yang menekan dadanya.Ann terdiam, menatap Mikhael yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh, kemungkinan untuk pergi dari Mikhael terasa kian mengecil.Mikhael menoleh, mata gelapnya menembus kebingungan itu. Ia tahu—Ann tidak ingin ikut dengannya.Dengan cepat, ia melempar tas ke ranjang. Tangan kekarnya berkecak di pinggang, menandai kemarahan yang membara, menatap gadis di depannya yang membeku.Tiba-tiba, lengan halus Ann terjepit oleh dua tangan besar. Tubuhnya terseret maju dengan keku
Pintu berderit terbuka, menampilkan seorang pria bertelanjang dada yang berjalan dengan sempoyongan. Tangannya membawa dua tas hitam besar.Ann tertegun, matanya membesar. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur, berlari menahan tubuh Mikhael yang hampir terjatuh. Tubuh mereka bertemu dalam benturan berat — perbedaan tinggi dan berat di antara keduanya hampir saja membuat Ann ikut terseret jatuh.Mikhael melemparkan kedua tas itu ke lantai dengan bunyi berat, lalu bersandar lemah pada bahu Ann. Hela napasnya hangat di kulitnya, berbau darah dan keringat.“Tahukah kamu berapa yang aku hasilkan hari ini?” suara Mikhael parau, namun di ujungnya masih tersisa senyum tipis.“Aku tidak ingin tahu,” jawab Ann, suaranya bergetar halus. Ia menuntun Mikhael ke tepi kasur, membiarkannya jatuh duduk.“Jia, bisakah kau mengambil air dan kotak obat di lemari?” Ann berkata lembut. sejak mikhael datang, dia telah berlari ke belakang sofa, bersembunyi sambil sesekali mengintip ke arah mereka.Pandang
Akhir-akhir ini, Mikhael selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Ann tidak tahu ke mana dia pergi — dan, sejujurnya, dia juga tidak ingin tahu. Kadang pria itu kembali dengan luka di wajah, perban di lengan, atau noda darah di kemejanya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan Ann pun tidak pernah bertanya.Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pria seperti Mikhael di tempat seperti ini? Bertarung, memukul orang, hidup layaknya gladiator di neraka bawah tanah.Mikhael selalu menugaskan seorang pengawal untuknya. Pria tinggi besar yang mengikutinya ke mana pun, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Kesempatan untuk melarikan diri? Tidak ada. Ia hanya bisa berputar-putar dalam neraka yang sama, setiap hari, setiap jam.Satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat dari jauh hanyalah pertunjukan teater di lantai dua. Ann sering berhenti di depan balkon lantai dua, menatap pertunjukan itu dari jauh.Bukan karena ia tertarik, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya bersyukur d
“Tidak ada satu pun kamera yang menangkap mereka. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk..."Suara Liu pecah di tengah ruangan yang pengap, menggema di antara tumpukan map dan kertas laporan yang berserakan. Ia menghantam meja dengan map berisi daftar orang hilang, hingga kertas-kertas beterbangan seperti serpihan amarahnya sendiri.Matanya merah. Sudah berjam-jam ia menatap layar monitor, memutar ulang rekaman CCTV yang sama, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa memecahkan misteri ini. Tapi yang ada hanya kekosongan. Seolah orang-orang itu menghilang ke udara.“Terlalu rapi,” gumam seorang polisi di sudut ruangan. Ia menyesap kopi yang sudah dingin, lalu melanjutkan, “Tidak mungkin semua itu bisa terjadi tanpa perlindungan dari kalangan atas, sudah pasti mereka menyuap beberapa pejabat untuk membuka jalan atau melindungi mereka ketika melewati perbatasan.”“Pernah dengar nama Braga?” suara Joe memecah keheningan. Ia meletakkan map kusam di meja, wajahnya tenggelam dalam cahaya l
"Jadi, apa maksudnya ini?" Mikhael meletakkan satu tangannya di pinggang. Alis tebalnya terangkat, sementara telunjuknya mengarah pada gadis kecil yang sedang tidur, setengah memeluk Ann."Bisakah kita membawanya? Jika kita meninggalkannya di sini, dia pasti akan jatuh ke tangan orang jahat lainnya," suara Ann sedikit bergetar, nadanya penuh permohonan samar."Apakah kamu masih belum mengerti situasi kita? Membawanya hanya akan menjadi beban."“Tapi… bukankah menambah satu orang dalam perlindunganmu tidak masalah? Kamu kuat, kamu berkuasa. Apa artinya membawa satu anak kecil? Aku akan merawatnya, aku akan pastikan dia tidak mengganggu.”Mikhael mendengus pendek. “Sayang, tahukah kamu terlihat bagaimana sekarang? Malaikat yang membawa setiap anak malang yang ditemuinya… sampai-sampai kau berubah jadi panti asuhan berjalan.”Ann menatapnya dengan mata yang berkaca, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku mohon… aku tidak akan kabur, aku akan mengikutimu. Siapa lagi yang bisa dia andalkan
Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m







