LOGINLampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri.
Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya. Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja. “Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat. Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja. “Bajingan…” "Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya. "Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?" "Tidak ada, hanya bosan." "Atau mulai ingin punya kucing yang menyambutmu pulang?" canda pria itu sambil tertawa. Mikhael mengangguk. "Itu juga bukan ide buruk." Pria di sampingnya tampak mengerti sesuatu, dia sedikit tersenyum. "Kau sadar, kan? Dunia ini tidak memberi belas kasihan pada orang sepertimu. Apapun yang kau sayangi, akan jadi titik lemah. Dan titik lemah akan jadi target." Mikhael menutup mata sebentar. Tempat seperti ini… penuh suara tawa palsu, asap rokok, dan cahaya mencolok sudah tak memberinya sensasi apapun. Bir ditangannya masih tersisa setengah, tetapi Mikhael tidak berniat untuk lebih lama menghabiskan waktunya di sini. Setelah kemenangan singkatnya di meja kartu, dia segera berdiri. Pergi sambil melambaikan tangan ke temannnya sebagai tanda perpisahan. Mikhael berjalan ke lorong tirai beludru tebal. Melewati orang-orang dari segala usia—semuanya terjebak dalam momen intim masing‑masing. Kasino ini terhubung dengan rumah bordil melalui lorong-lorong tersembunyi, membentuk labirin larut malam yang memadukan judi dan bisnis gelap. Di ruang-ruang privat yang disewakan, para pelacur dari distrik lampu merah dipanggil untuk menemani minum atau berjudi. Langkahnya berhenti di depan pintu bernomor 3—angka logam kusam yang berkedip samar dari cahaya lampu. Tangannya sibuk merogoh saku dalam celananya, mengeluarkan kartu akses ruangan. Dengan perlahan, ia menempelkan kartu ke pemindai di sebelah gagang pintu. Suara 'bip' lembut mengakhiri keheningan lorong—pintu terbuka. Menampilkan seorang gadis yang duduk diam di atas kasur. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, dagunya menempel di atas tempurung kakinya, seolah ingin menyusut, lenyap dari pandangan siapa pun. Rambutnya menjuntai ke depan, menutupi sebagain wajahnya. Menyembunyikan ekspresi yang Mikhael ingin tahu seperti apa bentuknya. Mikhael berjalan mendekat perlahan, bayangan besar yang mengikuti tubuhnya makin menambah aura intimidasi yang kuat. Langkah Mikhael masuk membuat lantai berderak pelan. Tubuh tingginya yang nyaris dua meter—membuatnya tampak seperti bayangan besar yang memenuhi ruang, menghimpit udara. Setiap langkahnya menambah berat suasana. Gadis itu tidak bergerak, tapi bahunya sedikit bergetar, pertanda ia sadar akan kehadirannya. Mikhael berlutut, tangannya melingkari tubuh gadis itu, seolah membuat benteng untuknya. "Apa lagi yang kamu tangisi?" suara beratnya berusaha serendah dan selembut yang ia mampu. Tapi tetap saja ada gurat frustrasi tipis di sana—bukan pada gadis itu, melainkan pada dirinya sendiri yang tak tahu bagaimana cara menenangkan seseorang tanpa menggunakan tinju. Dia lebih suka bertarung di arena daripada membujuk perempuan yang menangis. Dia bersumpah. "Kamu.. bisakah kamu membiarkanku pulang?" suara gadis itu ia keluarkan dengan ragu-ragu. Takut kalimatnya membangkiktkan amarah pria di depannya. Mikhael mengambil beberapa helai rambut yang lengket oleh air mata dan keringat di wajah gadis itu. Dengan gerakan tenang dan lembut, ia menyelipkan helaian rambut itu ke belakang telinganya. Ia bahkan tampak seratus kali lebih cantik ketika menangis, bagaimana bisa dia meminta untuk dilepaskan?. Ann menatap pria di hadapannya—dan untuk pertama kalinya, benar-benar memperhatikan wajahnya. Alisnya seperti digambar dengan kuas tajam; tebal dan melengkung sempurna, kini tampak sedikit berkerut, menandakan ketidaksenangan. Hidungnya tinggi dan mancung, rahangnya kokoh dengan garis yang tegas, seperti pahatan marmer yang dingin dan tak tergoyahkan. Jika dia tidak melihatnya saat bertarung di arena, mungkin Ann akan jatuh cinta dengan wajahnya, tapi sekarang hanya ada ketakutan yang mengalir dalam tubuhnya. "Kamu bisa meminta apapun kecuali yang satu itu." Nada suaranya tidak membuka ruang untuk negosiasi. Dia melanjutkan "Aku lebih suka jika kamu meminta perhiasan berlian langka yang sulit ditemukan sekalipun." "Itu bahkan lebih mudah untukku," lanjutnya. Ann mengangkat wajahnya perlahan. "Tapi...," Ann menunjukkan wajah yang penuh dengan kesedihan, hidungnya memerah dan matanya tampak berkaca-kaca—hendak menangis. Tetapi semuanya tampak sia-sia, itu tak akan menggerakkan ketangguhan pria di hadapannya. Dia menundukkan kepalanya ke bawah, berhenti menatap mata dingin pria itu. Di leher Mikhael tergantung sebuah kalung dengan liontin batu hitam kecil. Tali hitamnya terbuat dari kain kasar yang dikepang rapi. Kalung itu terlihat sederhana, tapi batu hitamnya memantulkan kilau samar di bawah cahaya lampu, menarik perhatian Ann yang sedang menunduk. Tanpa aba-aba, Mikhael naik ke atas kasur, meluruskan tubunya untuk tidur. Lengannya menarik tubuh gadis itu mendekat dan memeluknya erat . Tubuhnya mengisi sebagian besar kasur, sementara Ann hanya membutuhkan sedikit tempat kecil untuk tubuh mungilnya. Ia meraih selimut tebal yang tersedia di ujung tempat tidur, lalu menyelimutkannya ketubuh mereka berdua. Sambil memperbaiki postur tubuhnya, Mikhael juga mendaratkan sebuah ciuman di rambut Ann. Sedikit membuat pipi gadis itu memerah dan malu. Syukurnya itu semua tersembunyi karena ia menyembunyikan kepalanya di dada Mikhael . Seperti kelinci yang menggali lubang untuk meminta tempat perlindungan. "Ini..," Ann bergerak menggeliat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit merinding dengan kedekatan fisik yang tiba-tiba. Dia bahkan tidak pernah berkencan seumur hidupnya dan fokus pada akademiknya. Bagaimana bisa dia membiarkan perlakuan intim seperti itu?. Jika neneknya tahu, mungkin ia akan menangis dan merasa telah gagal membesarkannya. Sungguh dia semakin merindukan rumahnya. "Tidur!" Suara pria itu terdengar kasar seolah ia sedang marah dan menahan kesabarannya yang sudah di ujung tanduk. Ann mengecilkan tubuhnya dalam pelukan Mikhael. Ia terdiam untuk beberapa waktu dengan mata yang masih enggan untuk terpejam. Dia menatap lengan yang mengelilingi tubuhnya. Pelukan erat yang membuatnya sedikit sesak, seperti pagar kokoh yang tak membiarkannya menjauh, bahkan setengah jengkal pun. Suhu tubuh pria itu terlalu panas, tetapi ia tidak berani bergerak untuk menggesernya. Segala hal tentang lelaki ini membuatnya bingung. Serta perasaan akrab yang tak dapat dijelaskan. ..."Kita akan kembali ke rumah,""Rumah?""Rumahku," jawab Mikhael, sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh—semakin jauh mereka pergi, semakin kecil kemungkinan Ann bisa meninggalkannya."Aku…" gumam Ann, suaranya serak dan ragu. Jari-jarinya saling meremas, tubuhnya menegang, alisnya berkerut bingung, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat namun semuanya lenyap dalam ketakutan yang menekan dadanya.Ann terdiam, menatap Mikhael yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh, kemungkinan untuk pergi dari Mikhael terasa kian mengecil.Mikhael menoleh, mata gelapnya menembus kebingungan itu. Ia tahu—Ann tidak ingin ikut dengannya.Dengan cepat, ia melempar tas ke ranjang. Tangan kekarnya berkecak di pinggang, menandai kemarahan yang membara, menatap gadis di depannya yang membeku.Tiba-tiba, lengan halus Ann terjepit oleh dua tangan besar. Tubuhnya terseret maju dengan keku
Pintu berderit terbuka, menampilkan seorang pria bertelanjang dada yang berjalan dengan sempoyongan. Tangannya membawa dua tas hitam besar.Ann tertegun, matanya membesar. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur, berlari menahan tubuh Mikhael yang hampir terjatuh. Tubuh mereka bertemu dalam benturan berat — perbedaan tinggi dan berat di antara keduanya hampir saja membuat Ann ikut terseret jatuh.Mikhael melemparkan kedua tas itu ke lantai dengan bunyi berat, lalu bersandar lemah pada bahu Ann. Hela napasnya hangat di kulitnya, berbau darah dan keringat.“Tahukah kamu berapa yang aku hasilkan hari ini?” suara Mikhael parau, namun di ujungnya masih tersisa senyum tipis.“Aku tidak ingin tahu,” jawab Ann, suaranya bergetar halus. Ia menuntun Mikhael ke tepi kasur, membiarkannya jatuh duduk.“Jia, bisakah kau mengambil air dan kotak obat di lemari?” Ann berkata lembut. sejak mikhael datang, dia telah berlari ke belakang sofa, bersembunyi sambil sesekali mengintip ke arah mereka.Pandang
Akhir-akhir ini, Mikhael selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Ann tidak tahu ke mana dia pergi — dan, sejujurnya, dia juga tidak ingin tahu. Kadang pria itu kembali dengan luka di wajah, perban di lengan, atau noda darah di kemejanya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan Ann pun tidak pernah bertanya.Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pria seperti Mikhael di tempat seperti ini? Bertarung, memukul orang, hidup layaknya gladiator di neraka bawah tanah.Mikhael selalu menugaskan seorang pengawal untuknya. Pria tinggi besar yang mengikutinya ke mana pun, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Kesempatan untuk melarikan diri? Tidak ada. Ia hanya bisa berputar-putar dalam neraka yang sama, setiap hari, setiap jam.Satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat dari jauh hanyalah pertunjukan teater di lantai dua. Ann sering berhenti di depan balkon lantai dua, menatap pertunjukan itu dari jauh.Bukan karena ia tertarik, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya bersyukur d
“Tidak ada satu pun kamera yang menangkap mereka. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk..."Suara Liu pecah di tengah ruangan yang pengap, menggema di antara tumpukan map dan kertas laporan yang berserakan. Ia menghantam meja dengan map berisi daftar orang hilang, hingga kertas-kertas beterbangan seperti serpihan amarahnya sendiri.Matanya merah. Sudah berjam-jam ia menatap layar monitor, memutar ulang rekaman CCTV yang sama, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa memecahkan misteri ini. Tapi yang ada hanya kekosongan. Seolah orang-orang itu menghilang ke udara.“Terlalu rapi,” gumam seorang polisi di sudut ruangan. Ia menyesap kopi yang sudah dingin, lalu melanjutkan, “Tidak mungkin semua itu bisa terjadi tanpa perlindungan dari kalangan atas, sudah pasti mereka menyuap beberapa pejabat untuk membuka jalan atau melindungi mereka ketika melewati perbatasan.”“Pernah dengar nama Braga?” suara Joe memecah keheningan. Ia meletakkan map kusam di meja, wajahnya tenggelam dalam cahaya l
"Jadi, apa maksudnya ini?" Mikhael meletakkan satu tangannya di pinggang. Alis tebalnya terangkat, sementara telunjuknya mengarah pada gadis kecil yang sedang tidur, setengah memeluk Ann."Bisakah kita membawanya? Jika kita meninggalkannya di sini, dia pasti akan jatuh ke tangan orang jahat lainnya," suara Ann sedikit bergetar, nadanya penuh permohonan samar."Apakah kamu masih belum mengerti situasi kita? Membawanya hanya akan menjadi beban."“Tapi… bukankah menambah satu orang dalam perlindunganmu tidak masalah? Kamu kuat, kamu berkuasa. Apa artinya membawa satu anak kecil? Aku akan merawatnya, aku akan pastikan dia tidak mengganggu.”Mikhael mendengus pendek. “Sayang, tahukah kamu terlihat bagaimana sekarang? Malaikat yang membawa setiap anak malang yang ditemuinya… sampai-sampai kau berubah jadi panti asuhan berjalan.”Ann menatapnya dengan mata yang berkaca, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku mohon… aku tidak akan kabur, aku akan mengikutimu. Siapa lagi yang bisa dia andalkan
Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m







