MasukAnn dan dua wanita lain didorong masuk ke sebuah ruangan yang tampak terpencil dari arena pertarungan. Dindingnya berlapis besi dengan pintu tebal yang berderit saat dibuka, mirip seperti penjara.
Aroma tembakau mahal, alkohol tua, dan keringat bercampur menjadi satu.
Ruangan itu cukup luas, Lampu kuning tua menggantung di langit-langit, berayun pelan seolah kelelahan, memancarkan cahaya redup yang hidup segan, mati pun enggan. Berusaha menerangi orang-orang di bawahnya yang sedang bermain kartu dengan santai.
Asap cerutu yang menari-nari menutupi wajah sang pemenang hari ini, Mikhael. Dirinya bertelanjang dada, masih ada darah lawannya yang membuat dirinya tampak lebih berbahaya. Ada satu tas hitam besar di sampingnya, terbuka lebar tepat di samping kaki Mikhael, tergeletak begitu saja di lantai semen yang dingin, seolah isinya bukan sesuatu yang perlu dilindungi.
Tumpukan uang dolar mengisi isi tas hingga penuh, diikat rapi dalam bundelan-bundelan tebal—beberapa masih segar, kertasnya kaku dan bersih, sementara lainnya sudah lusuh dan berbau seperti telah melewati banyak tangan kotor. Sungguh menggoda siapapun untuk bertaruh hidup atau matinya demi uang sebanyak itu.
Ann menelan ludah. Sekarang dia tahu mengapa orang mau bertaruh nyawa di tempat seperti ini.
Tempat gila yang dipenuhi orang-orang gila pula.
"Wohoo, mari kita lihat barang apa yang kau bawa pichai," salah seorang yang bermain kartu dengan Mikhael mulai melirik para pedagang manusia ini, kehadiran mereka cukup membuat semua orang mengalihkan perhatian ke arah mereka yang berdiri di depan pintu dengan kaku.
Keberadaan mereka—tiga gadis asing dengan pakaian lusuh dan sorot mata yang kehilangan cahaya—seolah membawa aroma darah segar di tengah kandang binatang lapar.
“Bos Ling, kali ini barangnya bagus. Kami pilih yang terbaik,” ujar salah satu penculik, membungkuk sopan. berharap bahwa gadis-gadis yang mereka bawa kali ini mendapatkan harga yang tinggi.
Pria-pria yang bermain kartu dengan Mikhael tampak meninggalkan aktivitas permainan yang sedang berlangsung. Beralih kepada sesuatu yang tampaknya lebih menarik bagi mereka, memilih gadis-gadis yang ditawarkan seperti barang oleh para pedagang manusia itu.
Mata-mata cabul itu segera menjelajahi gaids-gadis di depan mereka. Seperti meneliti barang langka berkilauan yang ditawarkan kepada mereka.
"Aku suka yang ini," bos Ling menarik dagu gadis di sebelah Ann. Memang, diantara mereka bertiga gadis itu adalah yang paling cantik menurut Ann, bahkan pakaian yang lusuh tidak dapat menutupi kecantikannya.
Gadis itu menggeleng, kemudian berlutut, memohon untuk tidak dijual.
Tangisnya tertahan di balik bibir yang gemetar, dan suaranya lirih saat memohon, “Jangan… kumohon…”
Tetapi, dia meminta belas kasihan di tempat yang salah, tempat yang tidak memiliki empati untuk yang lemah. Ada perasaan kontras di hati Ann, antara kasihan dan rasa syukur bahwa bukan dia yang dipilih.
Tapi ia tahu… giliran itu hanya masalah waktu. Karena di tempat ini, semuanya akan dijual. Yang belum dipilih hari ini… hanya sedang menunggu untuk dijadikan milik seseorang. Atau berakhir di rumah bordil milik madam yang ia temui tadi.
Pria-pria lain tampak bernegosiasi dengan pichai, tetapi mungkin mereka tidak menemukan kesepakatan lewat harga yang ditawarkan. Hanya satu gadis yang terjual, dan lainnya mungkin akan ia berikan ke madam Lin.
Mikhael yang sedari tadi masih sibuk dengan uangnya setelah ditinggalkan bermain kartu mulai bangkit dari duduknya. Dia berdiri di hadapan pichai dan pria bertato naga disebelahnya. Tubuh Mikhael menjulang tinggi, menatap pada dua gadis yang tersisa.
Ann dan satu gadis lainnya berdiri kaku. Yang satu menatap lantai, berusaha tak menarik perhatian. Sedangkan Ann—tangisnya telah pecah pelan.
Ia tahu ia tak bisa bersembunyi.
Pandangan mereka bertemu.
Ia adalah rusa yang dipaku oleh tatapan serigala—menunggu digigit atau dibiarkan lewat.
Matanya bertemu dengan Ann yang sudah gemetar menangis. Ann telah melihat pertarungan yang gila dan brutal tadi, jika sampai dia jatuh ke tangan pria buas seperti itu, ia akan habis tanpa tersisa tulang sekalipun.
Tetapi, jatuh ke tangan pria mesum hidung belang ataupun pria kasar tidak ada bedanya, malah sama buruknya. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah kebebasan dan menjauh dari tempat kotor ini sesegera mungkin.
Dia rindu neneknya, dia bahkan belum memberitahukan neneknya bahwa dia lulus dengan nilai terbaik di sekolah dan diterima di universitas ternama. Jika neneknya tahu dia diculik dan sedang diperdagangkan di tempat yang antah berantah ini, apa yang harus ia lakukan? apakah ia akan ditemukan dalam bentuk yang masih bisa dikenali?.
“Dia ikut denganku,” Mikhael berkata datar, suaranya tampak tidak sabar.
Tidak menyebut harga.
Tidak meminta persetujuan.
Terdengar seperti titah raja, mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Pichai melongo tak percaya, sebab, sepanjang sejarahnya, dia sudah puluhan kali menawarkan wanita kepada raja petarung paling ditakuti ini, tetapi semua tawaran tentu ditolaknya mentah-mentah. Karena itulah dia lebih memilih menawarkan kepada bos-bos lain. Lagipula Pichai sama sekali tak berani bernegosiasi dengan Mikhael.
"Y-ya, tentu, anda bisa mendapatkannya, tentu dengan harga yang sudah kita sepakati bersama," Pichai tak ingin melewatkan kesempatan emas ini, jika dia bisa maka harus terjual dengan harga setinggi-tingginya.
Mereka saling membuat harga dengan isyarat tangan—cepat, gelap, dan diam-diam. Dunia ini tak mengenal kuitansi. Tak ada angka yang terdengar, tapi dari cara Pichai memicingkan mata dan Mikhael menggeleng pelan, Ann tahu: harga dirinya sedang dipertaruhkan layaknya barang lelang di pasar gelap. Ia tidak tahu berapa nilai tubuhnya. Karena ia manusia, seharusnya ia bernilai, bukan? dimana tempat dia bisa menelepon polisi disini? .
Perdebatan antara Pichai dan Mikhael tampaknya selesai, Mikhael memberikan hampir setengah uang yang ada dalam tas berisi uang yang dibiarkan terbuka sejak tadi. Ketika Mikhael memberi, orang-orang hanya menerima. Karena bukan uangnya yang paling bernilai, tapi ancaman yang melekat pada keberadaannya.
Pria bertato naga itu segera membuka ikatan Ann sekaligus melepas plester mulut yang menutupinya. Pria itu mendorong Ann hingga terbentur ke dada Mikhael. Rasanya sama sakitnya seperti terlempar pada tembok batu besar yang kokoh.
Satu-satunya yang pasti—ia belum bebas.
Ia hanya berpindah kepemilikan.
Dia tidak tahu, rasanya seperti keluar dari kandang harimau kemudian masuk ke kandang singa.
...
"Kita akan kembali ke rumah,""Rumah?""Rumahku," jawab Mikhael, sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh—semakin jauh mereka pergi, semakin kecil kemungkinan Ann bisa meninggalkannya."Aku…" gumam Ann, suaranya serak dan ragu. Jari-jarinya saling meremas, tubuhnya menegang, alisnya berkerut bingung, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat namun semuanya lenyap dalam ketakutan yang menekan dadanya.Ann terdiam, menatap Mikhael yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh, kemungkinan untuk pergi dari Mikhael terasa kian mengecil.Mikhael menoleh, mata gelapnya menembus kebingungan itu. Ia tahu—Ann tidak ingin ikut dengannya.Dengan cepat, ia melempar tas ke ranjang. Tangan kekarnya berkecak di pinggang, menandai kemarahan yang membara, menatap gadis di depannya yang membeku.Tiba-tiba, lengan halus Ann terjepit oleh dua tangan besar. Tubuhnya terseret maju dengan keku
Pintu berderit terbuka, menampilkan seorang pria bertelanjang dada yang berjalan dengan sempoyongan. Tangannya membawa dua tas hitam besar.Ann tertegun, matanya membesar. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur, berlari menahan tubuh Mikhael yang hampir terjatuh. Tubuh mereka bertemu dalam benturan berat — perbedaan tinggi dan berat di antara keduanya hampir saja membuat Ann ikut terseret jatuh.Mikhael melemparkan kedua tas itu ke lantai dengan bunyi berat, lalu bersandar lemah pada bahu Ann. Hela napasnya hangat di kulitnya, berbau darah dan keringat.“Tahukah kamu berapa yang aku hasilkan hari ini?” suara Mikhael parau, namun di ujungnya masih tersisa senyum tipis.“Aku tidak ingin tahu,” jawab Ann, suaranya bergetar halus. Ia menuntun Mikhael ke tepi kasur, membiarkannya jatuh duduk.“Jia, bisakah kau mengambil air dan kotak obat di lemari?” Ann berkata lembut. sejak mikhael datang, dia telah berlari ke belakang sofa, bersembunyi sambil sesekali mengintip ke arah mereka.Pandang
Akhir-akhir ini, Mikhael selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Ann tidak tahu ke mana dia pergi — dan, sejujurnya, dia juga tidak ingin tahu. Kadang pria itu kembali dengan luka di wajah, perban di lengan, atau noda darah di kemejanya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan Ann pun tidak pernah bertanya.Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pria seperti Mikhael di tempat seperti ini? Bertarung, memukul orang, hidup layaknya gladiator di neraka bawah tanah.Mikhael selalu menugaskan seorang pengawal untuknya. Pria tinggi besar yang mengikutinya ke mana pun, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Kesempatan untuk melarikan diri? Tidak ada. Ia hanya bisa berputar-putar dalam neraka yang sama, setiap hari, setiap jam.Satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat dari jauh hanyalah pertunjukan teater di lantai dua. Ann sering berhenti di depan balkon lantai dua, menatap pertunjukan itu dari jauh.Bukan karena ia tertarik, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya bersyukur d
“Tidak ada satu pun kamera yang menangkap mereka. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk..."Suara Liu pecah di tengah ruangan yang pengap, menggema di antara tumpukan map dan kertas laporan yang berserakan. Ia menghantam meja dengan map berisi daftar orang hilang, hingga kertas-kertas beterbangan seperti serpihan amarahnya sendiri.Matanya merah. Sudah berjam-jam ia menatap layar monitor, memutar ulang rekaman CCTV yang sama, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa memecahkan misteri ini. Tapi yang ada hanya kekosongan. Seolah orang-orang itu menghilang ke udara.“Terlalu rapi,” gumam seorang polisi di sudut ruangan. Ia menyesap kopi yang sudah dingin, lalu melanjutkan, “Tidak mungkin semua itu bisa terjadi tanpa perlindungan dari kalangan atas, sudah pasti mereka menyuap beberapa pejabat untuk membuka jalan atau melindungi mereka ketika melewati perbatasan.”“Pernah dengar nama Braga?” suara Joe memecah keheningan. Ia meletakkan map kusam di meja, wajahnya tenggelam dalam cahaya l
"Jadi, apa maksudnya ini?" Mikhael meletakkan satu tangannya di pinggang. Alis tebalnya terangkat, sementara telunjuknya mengarah pada gadis kecil yang sedang tidur, setengah memeluk Ann."Bisakah kita membawanya? Jika kita meninggalkannya di sini, dia pasti akan jatuh ke tangan orang jahat lainnya," suara Ann sedikit bergetar, nadanya penuh permohonan samar."Apakah kamu masih belum mengerti situasi kita? Membawanya hanya akan menjadi beban."“Tapi… bukankah menambah satu orang dalam perlindunganmu tidak masalah? Kamu kuat, kamu berkuasa. Apa artinya membawa satu anak kecil? Aku akan merawatnya, aku akan pastikan dia tidak mengganggu.”Mikhael mendengus pendek. “Sayang, tahukah kamu terlihat bagaimana sekarang? Malaikat yang membawa setiap anak malang yang ditemuinya… sampai-sampai kau berubah jadi panti asuhan berjalan.”Ann menatapnya dengan mata yang berkaca, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku mohon… aku tidak akan kabur, aku akan mengikutimu. Siapa lagi yang bisa dia andalkan
Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m







