MasukSesuai janjinya, Mikhael membawa Ann pergi keluar hari ini.
Mikhael bersandar ringan di kap Jeep, lengan dilipat di dadanya. Tubuhnya condong ke satu sisi. Ia menatap Ann dengan tajam, alis mengerut sedikit, seolah membaca pikiran kecilnya.
"Selalu berada di sisiku dan jangan mencoba pergi."
Ann mengangguk lemah, tetapi hatinya ingin melompat karena kegirangan. Mengira kesempatan kabur sebentar lagi akan terbuka.
Mobil menyala dan gemuruh mesinnya menembus keheningan hutan. Jeep mulai melaju, meninggalkan naungan pepohonan yang sebelum berganti pemandangan mencapai perkampungan perbatasan dan suara kehidupan kota kecil.
Siang hari, distrik ini terlihat seperti kota mati: tak banyak orang atau kendaraan lewat. Udara terasa berat dan sunyi.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan sebuah toko tua. Eksteriornya tampak usang dan tak terawat. Papan nama berderet huruf Thai, sebagiannya tertutup lumut dan catnya terkelupas parah. Ann tidak bisa membacanya.
Ia turun dari mobil, menatap toko dan jalanan koson yang terasa janggal.
"Jangan mencoba untuk lari, para pria suka menangkap pelacur yang kabur." ucap Mikhael sambil membanting pintu Jeep.
Ann mengangguk ringan, tetapi matanya masih melihat ke arah sekitar.
Mikhael menggenggam tangan Ann dengan erat, matanya yang tajam seolah memperingatkan ann untuk tidak mencoba kabur. Sebuah ancaman yang diselimuti sedikit kelembutan.
Genggaman Mikhael padanya begitu erat, seolah tidak membiarkannya mendapatkan celah untuk melarikan diri.
Mikhael tampak berbicara dengan seorang pria. Terdengar dialog tegang antara Mikhael dan seorang pria Thailand. Wajah mereka serius, bahasanya cepat, Ann tak menangkap makna kata-kata itu dalam bahasa thailand, tapi Mikhael sesekali mengumpat dengan bahasa mandarin—satu-satunya hal yang dapat ia pahami.
"Aku harus ke dalam sebentar, tetap patuh untuk menungguku disini dan jangan berkeliaran ke mana- mana, kita akan pergi untuk makan nanti," Mikhael mendaratkan tangannya melingkari bahu Ann.
Tangannya beberapa kali menyapu lengan Ann, menguatkan pesan tanpa sepatah kata lagi sebelum pergi masuk kedalam toko dengan pria di depannya.
Ann mengangguk ringan.
Begitu yakin Mikhael sudah menghilang dari pandangan, Ann segera melangkah cepat menjauh dari tempat itu. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa Mikhael benar-benar tak ada. Wajahnya tampak panik, langkahnya tergesa dan tak teratur. Ia bahkan tak tahu ke mana harus pergi. Ia hanya ingin melarikan diri—jauh dari Mikhael.
Ann berbelok ke beberapa lorong sempit dan gang kecil, hingga akhirnya sampai di sebuah kawasan yang cukup ramai. Tempat itu bising dan penuh hiruk-pikuk.
Wanita-wanita berpakaian minim berkeliaran ke sana ke mari. Pakaian mereka nyaris tidak menutupi tubuh.
Di sudut ruangan, beberapa pria tertawa terbahak dalam keadaan mabuk, sebagian lainnya asyik berjudi di meja bundar. Asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara, membuat Ann nyaris tersedak.
Tangannya mulai berkeringat deras. Tubuhnya kaku, berdiri di tengah keramaian dengan wajah linglung dan tatapan kosong.
Tiba-tiba, seorang wanita berpakaian merah menyala menghampirinya. Wajah cantiknya menyiratkan kemarahan.
"Hei, kenapa masih memakai pakaian seperti itu?! cepat ganti ke belakang!" seorang wanita menyeret tangannya dengan kuat. wanita itu berpakaian seksi dengan gaun berwarna merah, wajahnya yang cantik menunjukkan guratan kemarahan terjadap Ann.
“A-aku bukan... aku tidak—” Ann berusaha meronta, suaranya terbata dan panik. Ia ingin menjelaskan, tapi cengkeraman wanita itu terlalu kuat.
"Apa maksudmu? kamu bahkan belum berdandan! apa lagi yang kamu tunggu?"
Kesalahpahaman mereka semakin kuat. Wanita itu tidak mendengarkan penjelasan, menganggapnya hanya pemula yang belum tahu aturan. Ia menarik Ann ke belakang ruangan, ke sebuah area tertutup tirai hitam yang tampaknya menjadi ruang ganti para wanita di tempat itu.
Di balik tirai, beberapa wanita tengah berdandan di depan cermin besar. Bau parfum menyengat bercampur alkohol memenuhi udara. Mereka hanya melirik Ann sekilas sebelum kembali sibuk—Seolah adegan seperti ini sudah menjadi rutinitas.
"Tunggu!" Tangan besar yang dingin dan bau alkohol mencengkeram pergelangan Ann dari samping.
"Dia sangat cantik bahkan tanpa riasan, biarkan dia menemaniku, tidak usah berganti baju" mata pria itu menatap Ann dengan liar, tidak menyembunyikan keinginan mesumnya sama sekali.
Wanita itu sempat hendak menolak, namun akhirnya menyerah. “Layani dia dengan baik,” ucapnya dingin lalu pergi meninggalkan mereka.
Ann ditarik ke sofa. Musik bergema keras, gelas-gelas berserakan. Pria itu menuangkan minuman sambil mendekat.
"Minum ini.”
“Tolong... aku tidak—”
Ann mencoba mundur, tapi pria itu justru makin agresif, mencengkeram kedua lengannya dengan kasar. Tangannya merayap diantara paha Ann yang tertutup oleh gaun bunga selutut.
Braak!
Suara hantaman keras memecah keramaian. Pria itu terjatuh menghantam meja, gelas-gelas berhamburan dan pecah di lantai. Orang-orang menoleh kaget. Musik tetap berdentum, tapi suasana berubah tegang.
Mikhael.
Matanya menyala oleh amarah, rahangnya mengeras. Tanpa berkata apa pun, ia kembali menghampiri pria yang baru saja bangkit dalam keadaan sempoyongan—lalu menghajarnya lagi.
"Sialan!"
Tinju Mikhael menghantam wajah pria itu berkali-kali, seperti badai yang tak bisa dihentikan. Darah mengalir dari hidung dan mulut si pria, sementara para wanita menjerit kecil dan sebagian pria di ruangan itu diam setelah mengenali Mikhael.
Mereka tidak bisa berkutik karena tahu siapa Mikhael.
Ann terpaku, tubuhnya gemetar. Ia melihat kemarahan Mikhael tak mereda—melainkan semakin liar. Ia menyentuh lengan pria itu, tangannya gemetar.
Dia tidak ingin melihat kematian kali ini.
“Ku… kumohon. Lepaskan dia. Kamu bisa membunuhnya,” ucap Ann dengan suara bergetar, tangis pecah di wajahnya. “Aku… aku tidak akan lari lagi… maaf… tolong, cukup…”
Mikhael menghentikan pukulannya, dia berbalik menatap Ann. Sorot matanya tajam, penuh dengan kemarahan.
Ia denggan melepaskan pria itu, melemparnya ke sofa cukup keras.
Ia menarik tangan Ann dan segera bergegas keluar dari bar itu.
Cengkeraman Mikhael terlalu kuat, membuat pergelangan tangan Ann nyeri. Gadis itu menangis, namun Mikhael tak peduli—amarah dan rasa takut masih membakar sejak ia menyadari Ann menghilang saat ia masuk ke dalam toko.
Tempat ini adalah surga bagi aktivitas ilegal terjadi, jika Ann benar-benar menghilang di tempat ini, bahkan jika dia menggunakan seluruh kekuatannya, itu akan sulit.
Di gang sempit yang gelap, Mikhael berhenti.
Ia mendorong Ann ke dinding. Air mata sudah membasahi wajah gadis di depannya.
Tubuhnya menempel rapat, wajahnya dekat—terlalu dekat. Napasnya berat, matanya gelap oleh amarah yang tertahan.
"Kamu bersikap patuh… sampai aku lengah," bisik Mikhael.
...
"Kita akan kembali ke rumah,""Rumah?""Rumahku," jawab Mikhael, sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh—semakin jauh mereka pergi, semakin kecil kemungkinan Ann bisa meninggalkannya."Aku…" gumam Ann, suaranya serak dan ragu. Jari-jarinya saling meremas, tubuhnya menegang, alisnya berkerut bingung, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat namun semuanya lenyap dalam ketakutan yang menekan dadanya.Ann terdiam, menatap Mikhael yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh, kemungkinan untuk pergi dari Mikhael terasa kian mengecil.Mikhael menoleh, mata gelapnya menembus kebingungan itu. Ia tahu—Ann tidak ingin ikut dengannya.Dengan cepat, ia melempar tas ke ranjang. Tangan kekarnya berkecak di pinggang, menandai kemarahan yang membara, menatap gadis di depannya yang membeku.Tiba-tiba, lengan halus Ann terjepit oleh dua tangan besar. Tubuhnya terseret maju dengan keku
Pintu berderit terbuka, menampilkan seorang pria bertelanjang dada yang berjalan dengan sempoyongan. Tangannya membawa dua tas hitam besar.Ann tertegun, matanya membesar. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur, berlari menahan tubuh Mikhael yang hampir terjatuh. Tubuh mereka bertemu dalam benturan berat — perbedaan tinggi dan berat di antara keduanya hampir saja membuat Ann ikut terseret jatuh.Mikhael melemparkan kedua tas itu ke lantai dengan bunyi berat, lalu bersandar lemah pada bahu Ann. Hela napasnya hangat di kulitnya, berbau darah dan keringat.“Tahukah kamu berapa yang aku hasilkan hari ini?” suara Mikhael parau, namun di ujungnya masih tersisa senyum tipis.“Aku tidak ingin tahu,” jawab Ann, suaranya bergetar halus. Ia menuntun Mikhael ke tepi kasur, membiarkannya jatuh duduk.“Jia, bisakah kau mengambil air dan kotak obat di lemari?” Ann berkata lembut. sejak mikhael datang, dia telah berlari ke belakang sofa, bersembunyi sambil sesekali mengintip ke arah mereka.Pandang
Akhir-akhir ini, Mikhael selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Ann tidak tahu ke mana dia pergi — dan, sejujurnya, dia juga tidak ingin tahu. Kadang pria itu kembali dengan luka di wajah, perban di lengan, atau noda darah di kemejanya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan Ann pun tidak pernah bertanya.Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pria seperti Mikhael di tempat seperti ini? Bertarung, memukul orang, hidup layaknya gladiator di neraka bawah tanah.Mikhael selalu menugaskan seorang pengawal untuknya. Pria tinggi besar yang mengikutinya ke mana pun, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Kesempatan untuk melarikan diri? Tidak ada. Ia hanya bisa berputar-putar dalam neraka yang sama, setiap hari, setiap jam.Satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat dari jauh hanyalah pertunjukan teater di lantai dua. Ann sering berhenti di depan balkon lantai dua, menatap pertunjukan itu dari jauh.Bukan karena ia tertarik, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya bersyukur d
“Tidak ada satu pun kamera yang menangkap mereka. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk..."Suara Liu pecah di tengah ruangan yang pengap, menggema di antara tumpukan map dan kertas laporan yang berserakan. Ia menghantam meja dengan map berisi daftar orang hilang, hingga kertas-kertas beterbangan seperti serpihan amarahnya sendiri.Matanya merah. Sudah berjam-jam ia menatap layar monitor, memutar ulang rekaman CCTV yang sama, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa memecahkan misteri ini. Tapi yang ada hanya kekosongan. Seolah orang-orang itu menghilang ke udara.“Terlalu rapi,” gumam seorang polisi di sudut ruangan. Ia menyesap kopi yang sudah dingin, lalu melanjutkan, “Tidak mungkin semua itu bisa terjadi tanpa perlindungan dari kalangan atas, sudah pasti mereka menyuap beberapa pejabat untuk membuka jalan atau melindungi mereka ketika melewati perbatasan.”“Pernah dengar nama Braga?” suara Joe memecah keheningan. Ia meletakkan map kusam di meja, wajahnya tenggelam dalam cahaya l
"Jadi, apa maksudnya ini?" Mikhael meletakkan satu tangannya di pinggang. Alis tebalnya terangkat, sementara telunjuknya mengarah pada gadis kecil yang sedang tidur, setengah memeluk Ann."Bisakah kita membawanya? Jika kita meninggalkannya di sini, dia pasti akan jatuh ke tangan orang jahat lainnya," suara Ann sedikit bergetar, nadanya penuh permohonan samar."Apakah kamu masih belum mengerti situasi kita? Membawanya hanya akan menjadi beban."“Tapi… bukankah menambah satu orang dalam perlindunganmu tidak masalah? Kamu kuat, kamu berkuasa. Apa artinya membawa satu anak kecil? Aku akan merawatnya, aku akan pastikan dia tidak mengganggu.”Mikhael mendengus pendek. “Sayang, tahukah kamu terlihat bagaimana sekarang? Malaikat yang membawa setiap anak malang yang ditemuinya… sampai-sampai kau berubah jadi panti asuhan berjalan.”Ann menatapnya dengan mata yang berkaca, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku mohon… aku tidak akan kabur, aku akan mengikutimu. Siapa lagi yang bisa dia andalkan
Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m







