Ruangan itu remang-remang, diterangi cahaya kuning redup dari lampu di atas. Deretan senjata api berkilau tersusun rapi di belakang—tempat yang tampak sempurna untuk melatih monster dari dunia pertarungan bawah tanah.
Samsak-samsak hitam itu berayun liar, memantulkan dampak dari pukulan Mikhael yang keras dan bertubi-tubi. Walaupun tubuhnya masih terluka, tetapi tidak ada waktu yang cukup hingga pertandingan yang kurang dari seminggu itu dimulai.
Sudah lebih dari dua jam ia menghajar samsak-samsak itu tanpa henti. Kaos abu-abunya basah kuyup oleh keringat, menempel pada otot-otot yang bekerja keras. Nafasnya sedikit tersengal, kakinya sempat goyah ke belakang. Beberapa hal tampak mengganggu fokusnya, terutama mengenai kematian orang tuanya.Mobil yang meledak tepat di depan matanya itu masih sering menyapanya lewat mimpi. Suara ledakan keras dari lima tahun lalu masih dapat terdengar jelas di telinganya. Dia memulai semuanya dari bawah, tanpa petunjuk dan hanya dilatih untuk balas dendam.
Ponsel yang berdering di meja yang tak jauh darinya membuat fokusnya buyar. Mikhael melepas sarung tinjunya, menghampiri suara berisik yang mengganggu latihannya. "Bicara!" Dia meneriakkan satu kata ketika teleponnya hanya memiliki suara hening untuk beberapa detik. “Kau mulai kehilangan kendali, Mikhael.” Suara yang begitu akrab mengalir di telinga Mikhael. Dia menghembuskan nafas kesal kemudian mulai memperbaiki nada bicaranya kepada orang diseberang telepon. "Kau mengganti nomor lagi?" "Aku sudah sering melakukannya dan kamu belum hafal kebiasaanku, bagaimana kamu bisa menangkap Braga?""Ck". "Aku menemukan beberapa hal penting terkait lawanmu minggu depan, dia bernama mano, seorang mantan pengawal presiden negara R, dia terlibat beberapa kasus pembunuhan hingga berakhir di area bawah sekarang." "Systema adalah keahliannya, tapi tinjunya juga berbahaya. Kalau kalian bertarung habis-habisan, aku tak tahu siapa yang akan mencium lantai lebih dulu." Terdengar hening beberapa detik, hanya suara dengusan napas Mikhael yang berat di ruangan gelap itu. "Jadi apa? Kau meneleponku hanya untuk memberitahuku bahwa aku akan mati karena melawannya?" "Jangan kalah, balas dendammu baru saja akan dimulai, dan juga masih ada gadis kecil yang menunggu kepulanganmu." "Kau sudah mengetahuinya, ya?" "Kalau pun aku larang, kau tak akan dengar."Bunyi 'klik' menandakan pembicaraan mereka berakhir, lebih tepatnya diakhiri sepihak oleh Mikhael yang masih berwajah muram menatap teleponnya.
Genggamannya pada telepon hampir merusaknya menjadi kepingan tak bersalah. Ia melempar ponsel ke meja, membiarkannya rusak di sana. Mikhael kembali ke posisi awalnya. Satu pukulan lagi menghantam samsak, kali ini lebih keras. Seolah ia ingin meluapkan segala amarahnya kepada benda tak bernyawa itu. Di sisi lain, Ann berguling-guling di tempat tidur sendirian. Dia merasa senang dan lega Mikhael tidak ada di sekitarnya, walaupun dia mengunci seluruh area rumah sehingga dia tidak memiliki kesempatan keluar sedikit pun . Setelah berkeliling mencari jalan keluar, ia memutuskan untuk menyerah, menunggu kesempatan lain ketika tuhan berpihak padanya. Tapi rumah ini terlihat seperti kotak besi, seperti penjara yang terpencil yang memang dirancang untuk menahan seseorang atau bahkan sebenarnya melindungi Mikhael dari ancaman luar. Ann teringat hari ketika seseorang mengejar Mikhael ketika keluar dari are bawah tanah. Mobil yang ia tumpangi dihujani peluru, suara tembakan memenuhi telinganya hari itu. Ann bergidik. Ia memeluk lututnya, menggigil walau suhu ruangan tidak begitu dingin. Ia mencoba melupakannya walau rasanya mustahil. Dulu, dia pikir adegan pengejaran bersenjata itu keren, seperti di film aksi yang menegangkan. tetapi setelah mengalaminya sendiri, hidup biasa-biasa saja jauh lebih baik.Ia kembali merindukan neneknya. Mimpinya masuk universitas hancur sejak penculikan ini.
Bagaimanapun, dia harus keluar dari sini.
Matanya sembab, hidungnya memerah. Dia tak pernah bisa menangis saat Mikhael ada—wajah dingin pria itu selalu membungkamnya.
Kini, dia hidup di dunia milik Mikhael—gelap, kacau, dan penuh teka-teki.
Namun yang paling menakutkan bukan peluru atau darah... tapi pria itu sendiri. Mikhael. Tiba-tiba, dari arah belakang, Ann dikejutkan oleh lengan kekar yang melingkari tubuhnya. Sebuah pelukan yang Hangat, berat sekaligus mendominasi. "Kamu... lepaskan aku. Kamu penuh keringat, apa yang baru saja kamu lakukan?" "Kamu menangis lagi?" suaranya berat, sekaligus menakutkan untuk dijawab Ann. Ann diam. Ia tak menjawab, hanya membiarkan pria itu tetap memeluknya erat—seolah pelukan itu bukan bentuk kenyamanan, tapi peringatan bahwa ia tak ke mana-mana.Ia kemudian mulai membuka suara, tetapi matanya menatap jari jemarinya yang saling bertautan dengan gelisah.
"Ponsel, bisakah aku meminjam ponsel sekarang? Sebentar saja," Ann bertanya dengan ragu-ragu. bahunya sedikit bergetar dalam pelukan Mikhael.
Mikhael mendengus kesal. Alisnya mengerut tidak senang. Ponsel. Dia selalu bicara soal itu. Selalu ingin pergi. Seolah bersamanya adalah kutukan. "Itu rusak," jawab Mikhael ringan, seolah tak berdaya menepati janjinya. Ann segera berbalik, menunjukkan wajah tidak percaya.Matanya mulai berkaca. Mikhael menatapnya lama, rahangnya mengeras. Dia tak suka melihat air mata itu lagi.
“Besok kita keluar,” katanya pelan, tapi tegas. “Aku butuh ponsel baru.”
“Benarkah?” tanya Ann, matanya membulat. Wajahnya tampak berbinar ceria—ekspresi yang begitu langka, membuat Mikhael membeku sejenak. Biasanya gadis itu hanya menunjukkan kesedihan dan ketakutan. Tapi sekarang… dia tersenyum.
"Kamu bisa tersenyum lebih banyak di depanku," Mikhael memiringkan kepala sedikit, sudut bibirnya terangkat pelan dengan samar.Ann sontak membeku. Senyumnya memudar pelan, digantikan ekspresi malu dan kikuk yang sulit ia sembunyikan.
Tanpa sadar, ia menggigit bibir. Janji keluar besok memberinya harapan—celah kecil untuk melarikan diri. Andai Mikhael tahu pikirannya yang sebenarnya.
Mikhael memiliki pandangan kosong sekarang. Yang ia lihat hanya satu hal: bibir mungil itu. Basah. Merah. Menggoda.
Pikirannya menggelap, kosong dari logika. Bibir itu... rasanya akan begitu lembut di bawah miliknya. Dia membayangkan mencium gadis itu, menekannya di bawah tubuhnya, dan mendengar suara rintih tertahan keluar dari tenggorokannya.
Tangan kecilnya akan memukul dadanya yang tak berarti apa-apa untuk tubuh sebesar Mikhael. dan matanya... mata itu akan berkaca-kaca dihadapannya.
Fantasi itu mengalir seperti racun manis di aliran darah Mikhael. Membakar. Membuatnya ingin meraih gadis itu saat ini juga. Ciuman yang lembut serta sentuhan yang menuntut. Dan suara napas tercekat Ann saat dirinya menelusuri garis rahangnya... akan menjadi melodi paling memabukkan.
Semua keinginan buas seorang pria yang selama ini ia kunci rapat—kini menggeram di ambang batas.
Ia ingin tahu… apakah gadis itu masih bisa tersenyum setelahnya.
Tapi tentu saja, dia tidak ingin menyakitinya lebih jauh. Ia ingin Ann menerimanya dengan perlahan, bukan dengan paksaan.
Dia memejamkan mata sebentar, mengubur semua hasrat yang bahkan tak pantas disebutkan.
...
Ruangan itu remang-remang, diterangi cahaya kuning redup dari lampu di atas. Deretan senjata api berkilau tersusun rapi di belakang—tempat yang tampak sempurna untuk melatih monster dari dunia pertarungan bawah tanah.Samsak-samsak hitam itu berayun liar, memantulkan dampak dari pukulan Mikhael yang keras dan bertubi-tubi. Walaupun tubuhnya masih terluka, tetapi tidak ada waktu yang cukup hingga pertandingan yang kurang dari seminggu itu dimulai.Sudah lebih dari dua jam ia menghajar samsak-samsak itu tanpa henti. Kaos abu-abunya basah kuyup oleh keringat, menempel pada otot-otot yang bekerja keras. Nafasnya sedikit tersengal, kakinya sempat goyah ke belakang. Beberapa hal tampak mengganggu fokusnya, terutama mengenai kematian orang tuanya.Mobil yang meledak tepat di depan matanya itu masih sering menyapanya lewat mimpi. Suara ledakan keras dari lima tahun lalu masih dapat terdengar jelas di telinganya. Dia memulai semuanya dari bawah, tanpa petunjuk dan hanya dilatih untuk balas den
Setelah makan, Ann dengan sigap membantu Mikhael membereskan piring-piring di meja. Mungkin karena ia terbiasa mengurus rumah, gerakannya lincah dan teratur ketimbang gerakan Mikhael yang tampak canggung. “Tidak perlu buru-buru. Sisanya serahkan padaku. Duduk saja di sana.” Mikhael memberi perintah dengan menunjuk sebuah sofa yang tak jauh dari tempat mereka makan. "Tidak apa-apa, kamu berjanji akan meminjamkanku telepon, jadi ini tidak masalah," Ann tersenyum sedikit gembira, tanpa tahu wajah Mikhael yang sudah berubah gelap di sampingnya. Gadis ini… selalu saja menemukan cara untuk mengucapkan kalimat yang membuatnya jengkel. Walaupun Mikhael tahu dia sendiri yang menjanjikannya, tetapi mengucapkan selalu lebih mudah daripada menepatinya. Dan dia sama sekali tidak berniat meminjamkan telepon sialan yang diharap-harapkan gadis itu. “Kamu benar-benar tak sabar menelepon polisi agar mereka segera menjemputmu, ya?" Kata-katanya sarat akan sarkasme. Dingin. Menyesakkan. Mikhael meny
Ann terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menyeberangi mimpi buruk yang terlalu panjang. Ia menggeliat pelan, dan baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi berada di dalam mobil. Tubuhnya didekap erat dan ditutupi oleh jaket hitam yang hangat. "Sudah bangun?" Suara berat Mikhael membawanya kembali ke kenyataan. Mikahel menggendong Ann, mereka menaiki tangga yang cukup panjang. Menuju bagian atas rumah yang tersembunyi ini.Mereka masuk ke kamar dengan pintu besi tebal, seperti sel penjara. Dindingnya dipenuhi senjata—senapan, pistol, peluru. Semua yang selama ini Ann hanya lihat di film.Mikhael meletakkannya di kasur sebelah kanan, lembut tapi berdebu, kasur lembut yang sedikit berdebu karena sudah lama pemiliknya tidak kembali ke sini setelah melakukan pertandingan di area bawah tanah."Ada banyak orang yang ingin membunuhku." Dia melanjutkan "kau tahu? harga kepalaku sangat mahal, kau bisa mencoba membunuhku lalu menjualnya, maka kau bisa mendapatka
Kendaraan Jeep itu melaju cepat di jalanan yang mana aktivitas ilegal bukan lagi rahasia, melainkan rutinitas harian. Mereka melaju menembus malam, Deretan bangunan tua, lampu neon kelap-kelip, dan suara bising pasar gelap menjadi latar yang perlahan tertinggal di belakang, tergilas kecepatan. "Menunduk!" Mikhael dengan cepat membanting stirnya ke kanan, gang sempit yang setidaknya cukup untuk mobil jeep ini meneruskan pelarian dari kejaran. Suara tembakan terdengar dari belakang, semakin dekat dengan mereka seiring mobil melaju. Tembakan-tembakan itu terus meyebabkan dentuman logam menghantam bodi mobil— juga dinding-dinding yang tak bersalah.Dia menerobos taman, memaksa pejalan kaki melompat menghindar. Orang-orang berteriak, berlarian, dan beberapa jatuh terguling. Terutama para pemabuk yang baru menginjakkan kaki keluar dari kasino, Mikhael hanya bisa menyalahkan atas ketidakberuntungan mereka sendiri. Gas dipacu untuk berlari lebih laju, Mikhael mencengkeram setir seperti itu
Lampu kristal berkerlap-kerlip di langit-langit, memantulkan cahaya emas ke meja-meja judi yang dipenuhi chip dan rokok. Musik jazz tua mengalun di latar belakang, berpadu dengan suara dentingan mesin slot dan sorak rendah para penjudi. Di tengah keglamoran kotor itu, suasana terasa berat—karena semua orang di sini membawa senjata, atau membawa dosa yang cukup untuk mengubur hidup mereka sendiri. Mikhael duduk di meja VIP pojok, jauh dari keramaian. Ia menyandarkan tubuh ke sofa kulit hitam dengan malas sambil tangannya memegang kartu-kartu yang menentukan menang—kalahnya. Dengan tangan kiri yang masih memiliki perban, Mikhael melempar dua kartu ke tengah meja. “Flush. Sekop.” ucapnya sedikit bersemangat. Pria di sebelah kirinya mendecak, melempar kartunya ke meja. “Bajingan…” "Aku akan pergi dan kembali lagi ketika pertarungan minggu depan," Mikahel berbicara dengan seorang pria di sebelahnya. "Kamu membelinya? apa yang terjadi tiba-tiba?" "Tidak ada, hanya bosan.""Atau mula
Pichai dan orang-orangnya segera pergi setelah menerima gulungan uang yang hampir memenuhi tas hitam mereka. Langkah kaki mereka mulai meninggalkan ruang gelap ini bersama dengan gadis yang tersisa seorang diri. Menghilang di balik pintu besi yang menutup dengan dentuman berat. Ann mengkhawatirkan gadis itu, tanpa ia tahu bagaimana nasib dirinya sendiri. Mikhael masih berdiri tegak, bayangannya membungkus tubuh Ann yang sedang gemetar. Pria di depannya terlihat agung dan kasar, tingginya menjulang seperti tiang, dan Ann tidak lebih dari dadanya, bahkan sedikit kurang. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan sentuhan dari balik tangannya yang kasar, kontras dengan kulit lembut gadis di depannya. “Lihat aku,” ucapnya—suara itu rendah, serak, dan berat. Ada rasa lelah diujungnya yang masih dapat dirasakan. Ann ragu. Matanya masih dipenuhi sisa air mata, kelopak matanya gemetar seperti daun di ujung angin Wajah pria di depannya tampak buram. Ann menyeka air matanya dengan cepat, hin