Beranda / Romansa / Kepemilikan / Hasrat Gelap

Share

Hasrat Gelap

Penulis: Yiyuan chi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-23 15:41:47

Ruangan itu remang-remang, diterangi cahaya kuning redup dari lampu di atas. Deretan senjata api berkilau tersusun rapi di belakang—tempat yang tampak sempurna untuk melatih monster dari dunia pertarungan bawah tanah.

Samsak-samsak hitam itu berayun liar, memantulkan dampak dari pukulan Mikhael yang keras dan bertubi-tubi. Walaupun tubuhnya masih terluka, tetapi tidak ada waktu yang cukup hingga pertandingan yang kurang dari seminggu itu dimulai.

Sudah lebih dari dua jam ia menghajar samsak-samsak itu tanpa henti. Kaos abu-abunya basah kuyup oleh keringat, menempel pada otot-otot yang bekerja keras. Nafasnya sedikit tersengal, kakinya sempat goyah ke belakang. Beberapa hal tampak mengganggu fokusnya, terutama mengenai kematian orang tuanya.

Mobil yang meledak tepat di depan matanya itu masih sering menyapanya lewat mimpi. Suara ledakan keras dari lima tahun lalu masih dapat terdengar jelas di telinganya. Dia memulai semuanya dari bawah, tanpa petunjuk dan hanya dilatih untuk balas dendam.

Ponsel yang berdering di meja yang tak jauh darinya membuat fokusnya buyar. Mikhael melepas sarung tinjunya, menghampiri suara berisik yang mengganggu latihannya.

"Bicara!" Dia meneriakkan satu kata ketika teleponnya hanya memiliki suara hening untuk beberapa detik.

“Kau mulai kehilangan kendali, Mikhael.” Suara yang begitu akrab mengalir di telinga Mikhael. Dia menghembuskan nafas kesal kemudian mulai memperbaiki nada bicaranya kepada orang diseberang telepon.

"Kau mengganti nomor lagi?"

"Aku sudah sering melakukannya dan kamu belum hafal kebiasaanku, bagaimana kamu bisa menangkap Braga?"

"Ck".

"Aku menemukan beberapa hal penting terkait lawanmu minggu depan, dia bernama mano, seorang mantan pengawal presiden negara R, dia terlibat beberapa kasus pembunuhan hingga berakhir di area bawah sekarang."

"Systema adalah keahliannya, tapi tinjunya juga berbahaya. Kalau kalian bertarung habis-habisan, aku tak tahu siapa yang akan mencium lantai lebih dulu."

Terdengar hening beberapa detik, hanya suara dengusan napas Mikhael yang berat di ruangan gelap itu.

"Jadi apa? Kau meneleponku hanya untuk memberitahuku bahwa aku akan mati karena melawannya?"

"Jangan kalah, balas dendammu baru saja akan dimulai, dan juga masih ada gadis kecil yang menunggu kepulanganmu."

"Kau sudah mengetahuinya, ya?"

"Kalau pun aku larang, kau tak akan dengar."

Bunyi 'klik' menandakan pembicaraan mereka berakhir, lebih tepatnya diakhiri sepihak oleh Mikhael yang masih berwajah muram menatap teleponnya.

Genggamannya pada telepon hampir merusaknya menjadi kepingan tak bersalah. Ia melempar ponsel ke meja, membiarkannya rusak di sana.

Mikhael kembali ke posisi awalnya. Satu pukulan lagi menghantam samsak, kali ini lebih keras. Seolah ia ingin meluapkan segala amarahnya kepada benda tak bernyawa itu.

Di sisi lain, Ann berguling-guling di tempat tidur sendirian. Dia merasa senang dan lega Mikhael tidak ada di sekitarnya, walaupun dia mengunci seluruh area rumah sehingga dia tidak memiliki kesempatan keluar sedikit pun .

Setelah berkeliling mencari jalan keluar, ia memutuskan untuk menyerah, menunggu kesempatan lain ketika tuhan berpihak padanya.

Tapi rumah ini terlihat seperti kotak besi, seperti penjara yang terpencil yang memang dirancang untuk menahan seseorang atau bahkan sebenarnya melindungi Mikhael dari ancaman luar.

Ann teringat hari ketika seseorang mengejar Mikhael ketika keluar dari are bawah tanah. Mobil yang ia tumpangi dihujani peluru, suara tembakan memenuhi telinganya hari itu.

Ann bergidik. Ia memeluk lututnya, menggigil walau suhu ruangan tidak begitu dingin. Ia mencoba melupakannya walau rasanya mustahil.

Dulu, dia pikir adegan pengejaran bersenjata itu keren, seperti di film aksi yang menegangkan. tetapi setelah mengalaminya sendiri, hidup biasa-biasa saja jauh lebih baik.

Ia kembali merindukan neneknya. Mimpinya masuk universitas hancur sejak penculikan ini.

Bagaimanapun, dia harus keluar dari sini.

Matanya sembab, hidungnya memerah. Dia tak pernah bisa menangis saat Mikhael ada—wajah dingin pria itu selalu membungkamnya.

Kini, dia hidup di dunia milik Mikhael—gelap, kacau, dan penuh teka-teki.

Namun yang paling menakutkan bukan peluru atau darah... tapi pria itu sendiri.

Mikhael.

Tiba-tiba, dari arah belakang, Ann dikejutkan oleh lengan kekar yang melingkari tubuhnya. Sebuah pelukan yang Hangat, berat sekaligus mendominasi.

"Kamu... lepaskan aku. Kamu penuh keringat, apa yang baru saja kamu lakukan?"

"Kamu menangis lagi?" suaranya berat, sekaligus menakutkan untuk dijawab Ann.

Ann diam. Ia tak menjawab, hanya membiarkan pria itu tetap memeluknya erat—seolah pelukan itu bukan bentuk kenyamanan, tapi peringatan bahwa ia tak ke mana-mana.

Ia kemudian mulai membuka suara, tetapi matanya menatap jari jemarinya yang saling bertautan dengan gelisah.

"Ponsel, bisakah aku meminjam ponsel sekarang? Sebentar saja," Ann bertanya dengan ragu-ragu. bahunya sedikit bergetar dalam pelukan Mikhael.

Mikhael mendengus kesal. Alisnya mengerut tidak senang.

Ponsel.

Dia selalu bicara soal itu. Selalu ingin pergi. Seolah bersamanya adalah kutukan.

"Itu rusak," jawab Mikhael ringan, seolah tak berdaya menepati janjinya.

Ann segera berbalik, menunjukkan wajah tidak percaya.

Matanya mulai berkaca. Mikhael menatapnya lama, rahangnya mengeras. Dia tak suka melihat air mata itu lagi.

“Besok kita keluar,” katanya pelan, tapi tegas. “Aku butuh ponsel baru.”

“Benarkah?” tanya Ann, matanya membulat. Wajahnya tampak berbinar ceria—ekspresi yang begitu langka, membuat Mikhael membeku sejenak. Biasanya gadis itu hanya menunjukkan kesedihan dan ketakutan. Tapi sekarang… dia tersenyum.

"Kamu bisa tersenyum lebih banyak di depanku," Mikhael memiringkan kepala sedikit, sudut bibirnya terangkat pelan dengan samar.

Ann sontak membeku. Senyumnya memudar pelan, digantikan ekspresi malu dan kikuk yang sulit ia sembunyikan.

Tanpa sadar, ia menggigit bibir. Janji keluar besok memberinya harapan—celah kecil untuk melarikan diri. Andai Mikhael tahu pikirannya yang sebenarnya.

Mikhael memiliki pandangan kosong sekarang. Yang ia lihat hanya satu hal: bibir mungil itu. Basah. Merah. Menggoda.

Pikirannya menggelap, kosong dari logika. Bibir itu... rasanya akan begitu lembut di bawah miliknya. Dia membayangkan mencium gadis itu, menekannya di bawah tubuhnya, dan mendengar suara rintih tertahan keluar dari tenggorokannya.

Tangan kecilnya akan memukul dadanya yang tak berarti apa-apa untuk tubuh sebesar Mikhael. dan matanya... mata itu akan berkaca-kaca dihadapannya.

Fantasi itu mengalir seperti racun manis di aliran darah Mikhael. Membakar. Membuatnya ingin meraih gadis itu saat ini juga. Ciuman yang lembut serta sentuhan yang menuntut. Dan suara napas tercekat Ann saat dirinya menelusuri garis rahangnya... akan menjadi melodi paling memabukkan.

Semua keinginan buas seorang pria yang selama ini ia kunci rapat—kini menggeram di ambang batas.

Ia ingin tahu… apakah gadis itu masih bisa tersenyum setelahnya.

Tapi tentu saja, dia tidak ingin menyakitinya lebih jauh. Ia ingin Ann menerimanya dengan perlahan, bukan dengan paksaan.

Dia memejamkan mata sebentar, mengubur semua hasrat yang bahkan tak pantas disebutkan.

...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kepemilikan   Kembali ke rumah

    "Kita akan kembali ke rumah,""Rumah?""Rumahku," jawab Mikhael, sambil memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh—semakin jauh mereka pergi, semakin kecil kemungkinan Ann bisa meninggalkannya."Aku…" gumam Ann, suaranya serak dan ragu. Jari-jarinya saling meremas, tubuhnya menegang, alisnya berkerut bingung, seolah mencoba menemukan kata-kata yang tepat namun semuanya lenyap dalam ketakutan yang menekan dadanya.Ann terdiam, menatap Mikhael yang sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya. Rumah di tengah hutan itu terasa semakin jauh, kemungkinan untuk pergi dari Mikhael terasa kian mengecil.Mikhael menoleh, mata gelapnya menembus kebingungan itu. Ia tahu—Ann tidak ingin ikut dengannya.Dengan cepat, ia melempar tas ke ranjang. Tangan kekarnya berkecak di pinggang, menandai kemarahan yang membara, menatap gadis di depannya yang membeku.Tiba-tiba, lengan halus Ann terjepit oleh dua tangan besar. Tubuhnya terseret maju dengan keku

  • Kepemilikan   "Apakah kamu mencintaiku?"

    Pintu berderit terbuka, menampilkan seorang pria bertelanjang dada yang berjalan dengan sempoyongan. Tangannya membawa dua tas hitam besar.Ann tertegun, matanya membesar. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur, berlari menahan tubuh Mikhael yang hampir terjatuh. Tubuh mereka bertemu dalam benturan berat — perbedaan tinggi dan berat di antara keduanya hampir saja membuat Ann ikut terseret jatuh.Mikhael melemparkan kedua tas itu ke lantai dengan bunyi berat, lalu bersandar lemah pada bahu Ann. Hela napasnya hangat di kulitnya, berbau darah dan keringat.“Tahukah kamu berapa yang aku hasilkan hari ini?” suara Mikhael parau, namun di ujungnya masih tersisa senyum tipis.“Aku tidak ingin tahu,” jawab Ann, suaranya bergetar halus. Ia menuntun Mikhael ke tepi kasur, membiarkannya jatuh duduk.“Jia, bisakah kau mengambil air dan kotak obat di lemari?” Ann berkata lembut. sejak mikhael datang, dia telah berlari ke belakang sofa, bersembunyi sambil sesekali mengintip ke arah mereka.Pandang

  • Kepemilikan   Sebuah Kenyataan

    Akhir-akhir ini, Mikhael selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Ann tidak tahu ke mana dia pergi — dan, sejujurnya, dia juga tidak ingin tahu. Kadang pria itu kembali dengan luka di wajah, perban di lengan, atau noda darah di kemejanya. Ia tidak menjelaskan apa pun, dan Ann pun tidak pernah bertanya.Apa lagi yang bisa dilakukan seorang pria seperti Mikhael di tempat seperti ini? Bertarung, memukul orang, hidup layaknya gladiator di neraka bawah tanah.Mikhael selalu menugaskan seorang pengawal untuknya. Pria tinggi besar yang mengikutinya ke mana pun, seperti bayangan yang tak bisa diusir. Kesempatan untuk melarikan diri? Tidak ada. Ia hanya bisa berputar-putar dalam neraka yang sama, setiap hari, setiap jam.Satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat dari jauh hanyalah pertunjukan teater di lantai dua. Ann sering berhenti di depan balkon lantai dua, menatap pertunjukan itu dari jauh.Bukan karena ia tertarik, tapi karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya bersyukur d

  • Kepemilikan   Tekad

    “Tidak ada satu pun kamera yang menangkap mereka. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk..."Suara Liu pecah di tengah ruangan yang pengap, menggema di antara tumpukan map dan kertas laporan yang berserakan. Ia menghantam meja dengan map berisi daftar orang hilang, hingga kertas-kertas beterbangan seperti serpihan amarahnya sendiri.Matanya merah. Sudah berjam-jam ia menatap layar monitor, memutar ulang rekaman CCTV yang sama, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa memecahkan misteri ini. Tapi yang ada hanya kekosongan. Seolah orang-orang itu menghilang ke udara.“Terlalu rapi,” gumam seorang polisi di sudut ruangan. Ia menyesap kopi yang sudah dingin, lalu melanjutkan, “Tidak mungkin semua itu bisa terjadi tanpa perlindungan dari kalangan atas, sudah pasti mereka menyuap beberapa pejabat untuk membuka jalan atau melindungi mereka ketika melewati perbatasan.”“Pernah dengar nama Braga?” suara Joe memecah keheningan. Ia meletakkan map kusam di meja, wajahnya tenggelam dalam cahaya l

  • Kepemilikan   Tinggalkan Anak Itu

    "Jadi, apa maksudnya ini?" Mikhael meletakkan satu tangannya di pinggang. Alis tebalnya terangkat, sementara telunjuknya mengarah pada gadis kecil yang sedang tidur, setengah memeluk Ann."Bisakah kita membawanya? Jika kita meninggalkannya di sini, dia pasti akan jatuh ke tangan orang jahat lainnya," suara Ann sedikit bergetar, nadanya penuh permohonan samar."Apakah kamu masih belum mengerti situasi kita? Membawanya hanya akan menjadi beban."“Tapi… bukankah menambah satu orang dalam perlindunganmu tidak masalah? Kamu kuat, kamu berkuasa. Apa artinya membawa satu anak kecil? Aku akan merawatnya, aku akan pastikan dia tidak mengganggu.”Mikhael mendengus pendek. “Sayang, tahukah kamu terlihat bagaimana sekarang? Malaikat yang membawa setiap anak malang yang ditemuinya… sampai-sampai kau berubah jadi panti asuhan berjalan.”Ann menatapnya dengan mata yang berkaca, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku mohon… aku tidak akan kabur, aku akan mengikutimu. Siapa lagi yang bisa dia andalkan

  • Kepemilikan   "Jangan...Kumohon..."

    Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status