Ann terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru saja menyeberangi mimpi buruk yang terlalu panjang. Ia menggeliat pelan, dan baru sadar bahwa dirinya kini tidak lagi berada di dalam mobil.
Tubuhnya didekap erat dan ditutupi oleh jaket hitam yang hangat. "Sudah bangun?" Suara berat Mikhael membawanya kembali ke kenyataan. Mikahel menggendong Ann, mereka menaiki tangga yang cukup panjang. Menuju bagian atas rumah yang tersembunyi ini. Mereka masuk ke kamar dengan pintu besi tebal, seperti sel penjara. Dindingnya dipenuhi senjata—senapan, pistol, peluru. Semua yang selama ini Ann hanya lihat di film. Mikhael meletakkannya di kasur sebelah kanan, lembut tapi berdebu, kasur lembut yang sedikit berdebu karena sudah lama pemiliknya tidak kembali ke sini setelah melakukan pertandingan di area bawah tanah. "Ada banyak orang yang ingin membunuhku." Dia melanjutkan "kau tahu? harga kepalaku sangat mahal, kau bisa mencoba membunuhku lalu menjualnya, maka kau bisa mendapatkan banyak uang dan pergi dari sini." Pria itu mengatakannya begitu mudah, seolah tahu bahwa Ann tidak akan bisa melakukannya, bahkan jika dia sangat mengingkan kebebasan sekalipun. Mikhael menarik kaosnya ke atas dan melepaskannya. Memperlihatkan otot-otot Mikhael terbentuk jelas, kuat seperti pahatan batu, dengan bekas luka menyilang di beberapa tempat. Tubuh itu bukan milik pria yang hidup nyaman—itu milik seorang petarung, seseorang yang selamat dari dunia yang terus-menerus mencoba membunuhnya. Ann memalingkan wajahnya karena malu, rona pipi di wajah putihnya terlihat sangat lucu di mata Mikhael. "Jangan khawatir. Aku tidak akan menyentuhmu, bukan karena aku orang baik, tapi kita akan menikah terlebih dahulu." Kata-katanya seperti bom yang dilempar tepat ke kepalanya. Wajah Ann menegang. Menikah? Diculik, dijual, kemudian menikah. Seolah runtutan peristiwa ini selalu menghantam tingkat kewarasannya satu per satu. Tidak ada yang berjalan normal semenjak dia diculik. Seolah-olah nasibnya digulung dan dilemparkan dari satu lingkaran neraka ke lingkaran berikutnya. "Apa maksudmu menikah? ini ilegal! kamu tidak bisa melakukannya! kembalikan aku dan aku akan membayar uang yang kamu bayarkan!" Ann sedikit histeris, tetapi masih ada sedikit sisa kewarasan dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca lagi, tapi kini bukan karena ketakutan… melainkan karena frustrasi dan kemarahan. Mikhael berubah menjadi muram. Kakinya maju dua langkah ke arah Ann, namun ia menahan diri, hanya berdiri cukup dekat agar gadis itu merasakan tekanan dari keberadaannya. "Bayar?" katanya pelan, nyaris berbisik, tapi setiap katanya penuh penekanan dan intimidasi. "Bahkan jika kamu bekerja seumur hidup, apakah itu jumlah yang bisa kau jangkau dengan mudah?" "Aku sama sekali tidak peduli apakah kamu akan suka atau tidak!" "Dan jangan mencoba untuk kabur," Mikhael melangkah mundur perlahan, membuka pintu besi yang berat itu. Pintu menutup dengan bunyi klang logam yang berat. Dan Ann hanya bisa duduk membeku di tempatnya—takut, bingung, marah semua perasaan yang bercampur menjadi satu. ... Di lantai bawah Mikhael sedang berusaha mengobati luka di lengan kirinya. Darah kering dan segar yang menodai kulit perunggunya. Gerakannya kaku dan sulit. Walaupun dia terbiasa mengobati dirinya sendiri, tetap saja mengobati luka di sisi kiri tubuh tanpa bantuan adalah hal yang merepotkan. Ann berdiri di belakang sofa, tangannya terkepal, bingung. Setiap langkah mendekat, dia kehilangan nyali dan mundur kembali. Dia ingin membantunya meski setelah perdebatan dingin mereka. "Katakan yang ingin kamu katakan, mungkin aku tidak akan terlalu marah saat ini," ucap Mikhael yang sadar bahwa ada seseorang yang sedang kebingungan di belakangnya. "A-aku, biarkan aku membantumu," ucap Ann lirih, bahkan hampir tidak terdengar jika bukan karena pendengaran Mikhael yang tajam. "Kemarilah." Ann memberanikan diri melangkah ke depan. Dia duduk perlahan di atas sofa panjang yang sama dengan Mikhael. Tangannya mengambil alih kapas yang sudah dituang obat sebelumnya. Lalu mulai membersihkan luka dengan sangat hati-hati. Mikhael memperhatikan dengan serius gadis di depannya. Dia bahkan tidak keberatan untuk luka lainnya di masa depan jika terus seperti ini. "Kamu cukup terampil," ucapnya. Ann sedikit tertegun, kemudian menundukkan kepalanya dan kembali fokus mengobati lukanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkan niatnya karena tidak ingin membuat pria di depannya marah lagi. Setelah selesai membalutkan perban di lengan Mikhael, Ann baru bisa bernafas lega. Setelah selesai, Mikhael bangkit dari sofa tanpa berkata apa-apa lagi dan berjalan ke dapur. Suara keran menyala, wajan bergerak, dan aroma bumbu perlahan menyebar. Ia pandai memasak—bukan karena ia menyukainya, tapi karena ia harus. Bertahun-tahun hidup sendiri, bergelut dengan pertarungan dan luka, membuat kemampuan ini bukan lagi pilihan. Tapi kewajiban untuk bertahan. Jika mundur ke masa lalu, alasan terbesarnya tidak dapat mempercayai orang lain adalah karena dirinya hampir memakan makanan yang sudah diracun. Hanya keberuntungan yang menyelamatkannya waktu itu. Ann tetap di sofa, memperhatikan punggungnya yang sibuk di dapur. Mikhael mematikan kompornya, menaruh masakan yang telah berbau harum ke atas piring di dekatnya. Ann duduk patuh, tetapi masih ada penolakan yang tersisa di wajahnya. Setelah meletakkan piring-piring itu diatas meja, ia mengangkat tubuh Ann dengan satu gerakan ringan dan meletakkannya di atas pangkuannya. Luka di tubuhnya seperti bukan apa-apa baginya. Mikhael meraih sendok, menciduk sedikit bubur, lalu meniupnya pelan sebelum mengarahkannya ke mulut Ann. Tetapi bibir mungil itu tetap terkatup, tidak membiarkan makanan itu masuk ke dalam mulutnya. "Melarikan diri membutuhkan tenaga, setidaknya kamu harus menyantap makanan di didepanmu yang sudah kumasak dengan susah payah." Ann mengabaikan perkataan Mikhael. dirinya meremas erat pakaiannya di bawah hingga kusut. Matanya menunduk dengan ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu dalam pelukan Mikhael yang terasa membelenggu tidak nyaman. "Bisakah... bisakah kamu meminjamkan ponsel? aku harus menelepon nenekku untuk memberitahunya bahwa aku masih hidup dan baik-baik saja." suaranya lebih seperti bisikan yang mencoba untuk merayunya. "Kenapa bukan untuk menelepon polisi dan menyuruh mereka untuk menjemputmu kesini sekarang?" Mikhael dengan wajah yang kembali muram dan alis berkerut tidak senang mulai menjawab dengan nada sarkasme. Ann menunjukkan wajah cemberut, kecewa karena permintaannya kembali ditolak dengan ejekan yang menyebalkan. "Sayang, jika kamu makan sekarang maka aku akan mempertimbangkannya nanti." Mata gadis itu berbinar, walau belum pasti, setidaknya masih ada secercah harapan untuknya. Ia melahap suapan demi suapan dengan patuh, layaknya hamster lapar yang tak berhenti mengunyah. Mikhael menyungging senyum tipis yang tidak dapat dilihat dari sudut pandang Ann. Mudah untuk berjanji, tetapi terlalu sulit untuk menepatinya. Dan dia sama sekali tidak ingin memberikan ponsel sialan itu untuk gadis dipelukannya. ...Mikhael yang selalu dikenal pemarah, ketika ada api kecil yang menyulutnya, api itu akan membesar.Dan kali ini, Ann, gadis yang ia cintai melewati garis kesabarannya.Tanpa peringatan, Mikhael membungkuk, mengangkat Ann ke bahunya seperti mengangkut karung beras.“Tidak! Lepaskan aku! Turunkan, Mikhael!” Ann memukul punggungnya, tapi itu hanya seperti sentuhan ringan di kulitnya.Ia melangkah cepat ke kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar, lalu membantingnya kembali dengan keras. Kemudian melemparkan Ann ke tempat tidur.Kepala Ann berdenyut, pandangannya berputar. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat Mikhael sudah naik ke ranjang, mendekat seperti hewan buas, menindih tubuh mungilnya."Tahukah kamu bagaimana para pria disini memperlakukan para pelacur?"Suara Mikhael rendah, berat, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Jari-jari kasarnya menyibak rambut yang menutupi wajah Ann.Tatapannya menelusuri wajah Ann, lalu turun ke leher, berhenti di dada yang naik-turun cepat. Matanya m
Ann duduk memeluk lutut di ranjang. Pistol kecil masih tergeletak di sampingnya—dingin, tak tersentuh. Ia menarik napas perlahan, mencoba melupakan segala hal yang baru saja terjadi.Sebuah teriakan datang. Sebuah jeritan keras.Nyaring, rapuh, tercekik ketakutan.Ann langsung berdiri. Detik berikutnya, suara jeritan lain terdengar—lebih dekat, lebih putus asa. Dia tak menunggu lebih lama. Pintu dibuka tanpa suara dan langkahnya melesat ke lorong.Lorong yang basah dan suram itu seolah menyempit setiap kali ia bergerak. Bau alkohol, asap rokok, dan suara tawa liar mengisi udara.Kemudian—"BRUK!"Sesuatu menabraknya keras.Seorang gadis kecil, mungkin berusia sekitar dua belas tahun? Tingginya hanya sampai dadanya, dengan rambut acak-acakan dan mata merah membengkak karena tangis. Tubuh mungil itu memeluk Ann erat, menggigil hebat. "Tolong..., kakak tolong aku...," suara itu lebih seperti bisikan di telinga Ann. Lemah, tak berdaya—mengingatkannya pada dirinya.Ann menahan napas, memelu
Lampu tiba-tiba padam. Ann masih terlelap di pelukannya, tapi Mikhael langsung membuka mata. Matanya menyesuaikan diri pada kegelapan total. Ada sesuatu. Ia bisa merasakannya. Seperti bayangan yang bergerak terlalu cepat. Instingnya, yang lebih tajam dari kebanyakan tentara sekalipun, langsung aktif. Mikhael akan terbangun oleh bahaya sekecil apapun. Ia mengangkat tubuhnya perlahan, melepaskan lengannya dari pinggang ramping Ann. Kulit gadis itu masih hangat di tangannya. Mikhael mendekap udara kosong untuk sesaat, merasa kesal karena harus meninggalkan sensasi yang baru saja membuatnya dapat tertidur dengan tenang sejenak. Langkah kaki terdengar. Cepat dan ringan, bergerak mendekat. Mikhael langsung sigap. Ia meraih senjata tersembunyi di bawah tempat tidur, lalu melompat keluar dari ranjang. Mikhael langsung menyetbu ke arah jendela yang . Cahaya bulan memberi siluet redup pria yang melompat masuk. Mikhael sedikit meraba, menemukan kerah pria itu yang belum sepenuhnya m
"Kapan terakhir kali Anda melihat cucu Anda?""Seminggu yang lalu. Pagi hari, sebelum dia berangkat ke sekolah untuk menghadiri kelulusannya."Suara wanita tua itu gemetar, seperti mencoba menahan sesuatu yang hampir pecah.Polisi muda di hadapannya, Lui, memijat pelipisnya dengan lelah. Kelelahan tergurat jelas di wajahnya. Kasus perdagangan manusia makin merajalela akhir-akhir ini, dan belum lama ini ia baru saja menggagalkan pengiriman gadis-gadis muda ke Thailand dan Kamboja."Ada telepon darinya kemarin... tapi hanya sebentar. Sekitar dua menit. Dia hanya bilang kalau dia baik-baik saja..."Lui seketika menegakkan tubuhnya, menangkap harapan kecil yang muncul."Bisakah saya meminjam ponsel anda? kami bisa melacaknya dengan panggilan terakhir."Nenek Ann mengangguk cepat, tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel tua dari tas kecilnya. Lui menerima ponsel itu dengan hati-hati. Dia membuka log panggilan terakhir, menyalin nomor yang tertera, lalu menghubungi tim IT melalui radio
Mikhael menarik Ann ke sebuah tempat, bukan di arena berdarah, tetapi di bagian lain yang penuh dengan suasana erotis dan sensual.Alkohol, asap rokok, dan wanita seksi, semua berhamburan di tempat ini. "Aku tidak ingin disini, ayo kita kembali, aku berjanji padamu.." kata Ann terisak. dia mencoba melepaskan genggaman tangan Mikhael yang menariknya erat. Tapi usahanya sia-sia. Tekanan itu malah semakin erat layaknya borgol."Lihat, lihat apa yang terjadi kepada gadis-gadis yang tidak memiliki dukungan disini," Suara Mikahel tajam. Tangannya memaksa wajah Ann untuk melihat ke arah panggung yang tak jauh dari mereka.Dari sudutnya, mereka dapat melihat jelas apa yang sedang terjadi.Gadis-gadis di atas panggung diberi nomor, bukan nama.Tanpa bersuara, mereka berjalan beriringan mengelilingi panggung cermin di bar dansa ruang bawah tanah; lengan terlipat di sekitar perut telanjang, mata tertuju pada lantai logam yang lecet.Di belakang panggung, seorang gadis yang berusia sekitar 14 tah
Ann melepas infus dari tangannya, merasakan perih singkat yang ia abaikan begitu saja. Dengan cepat ia mengikat rambutnya, menahan gemetar di lutut, lalu berdiri dan melangkah keluar bilik.Di sudut ruangan, ia melihat seorang perawat muda duduk di balik meja logam, sedang sibuk mencatat sesuatu.Ann mendekat, berdiri di sisi meja. Suaranya pelan, tapi mendesak.“Can I borrow your phone?” tanyanya, dalam bahasa Inggris. Dia tidak tahu apakah perawat itu akan mengerti. Tapi ia tak bisa berbahasa Thailand, dan tak punya alat tulis untuk sekadar menggambar simbol ponsel.Perawat itu tampak terkejut sejenak, lalu menatap wajah Ann yang sayu. Ia menimbang, lalu menjawab dengan aksen pelat: “Why?”Ann membulatkan matanya terkejut, senang saat perawat itu mengerti ucapannya.“Just a quick call. I’ll pay you,” bisik Ann dengan nada memohon. Jemarinya menggenggam tangan dingin perawat itu “Please. Just one call, I’ll pay you. I swear—it won’t take long.”Perawat itu terdiam sejenak. Ia menatap