Malam semakin larut di desa kecil itu. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar masuk melalui jendela yang terbuka. Bulan setengah bersembunyi di balik awan, menciptakan bayangan gelap dan terang yang menari di halaman rumah sederhana Pak Karyo. Dia terduduk di bangku kayu di teras depan, matanya menerawang ke kegelapan, sementara pikirannya berkecamuk dengan berbagai pilihan dan konsekuensi. Suara jangkrik darı kodok bersahutan dari sawah tak jauh dari rumahnya, menciptakan melodi malam yang farnilier namun terasa asing setelah enarn bulan di Jakarta.
Aku kudu piye saiki? Ratih isih nesu. Dani wis turu. Opo aku kudu mulih wae nang Jakarta? (Aku harus bagaimana sekarang? Ratih masih marah. Dani sudah tidur. Apa aku harus pulang saja ke Jakarta?) Karyo menghela napas panjang, jemarinya yang kasar mengusap wajahnya yang lelah. Bahkan di kegelapan, garis-garis usia dan kerja keras terlihat jelas mengukir wajahnya. Sudah dua jam berlalu sejak Budi pamit puPengakuan tulus Ratih membuat Karyo berhenti bergerak sejenak. Dia menatap wajah istrinya yang basah oleh air mata, merasakan ketulusan dan ketakutan yang begitu nyata dalam kata-katanya. Di tengah gairah yang membakar, Karyo merasakan hatinya tersentuh oleh kerentanan dan kejujuran Ratih."Dik..." Karyo berbisik, tangannya kini membelai wajah Ratih dengan kelembutan yang kontras dengan dominasinya sebelumnya. "Ora bakal. Aku ora bakal ninggal sliramu." (Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu.)Karyo kembali bergerak, kali ini dengan ritme yang lebih lembut namun tetap dalam. "Aku mung butuh sliramu, Dik. Ora ono wedok liyo sing iso nggantimu. Ora Bu Maya, ora sopo wae." (Aku hanya butuh kamu, Dik. Tidak ada perempuan lain yang bisa menggantimu. Bukan Bu Maya, bukan siapa pun.)"Tenan, Mas?" (Beneran, Mas?) tanya Ratih, matanya menatap Karyo penuh harap sementara tubuhnya terus
Karyo tersenyum puas melihat istrinya mulai kehilangan kendali. Dengan satu gerakan cepat, dia menarik tubuh Ratih, membalikkan posisi mereka tanpa melepaskan penyatuan tubuh mereka. Kini Ratih berada di atas, tapi Karyo tetap yang mengendalikan dengan tangannya yang kuat memegang pinggang ramping istrinya."Ndelok aku, Dik. Aku pengen weruh wajahe bojomu sing kepenak," (Lihat aku, Dik. Aku ingin melihat wajah istrimu yang nikmat) perintah Karyo, satu tangannya memegang dagu Ratih, memaksanya untuk bertatapan.Ratih membuka mata, napasnya terengah-engah. Pandangan mereka bertemu—mata Karyo penuh dengan dominasi dan kepemilikan, sementara mata Ratih berkabut oleh kenikmatan yang semakin memuncak. Karyo memperkuat genggamannya di pinggang Ratih, mengangkat dan menurunkan tubuh istrinya dengan kekuatan yang mengejutkan, memperdalam penetrasi hingga menyentuh titik terdalam Ratih."Mas... Mas Karyo... aahhh...
Karyo terpana menatap keindahan tubuh istrinya. Meski telah melahirkan, tubuh Ratih tetap kencang dan menarik—payudaranya masih tegak dengan puncak kecoklatan yang mengeras, perutnya rata dengan sedikit bekas kehamilan yang justru menambah pesona alaminya, pinggulnya melengkung indah membentuk tubuh subur yang sempurna."Sliramu ayu tenan, Dik," (Kamu cantik sekali, Dik) ucap Karyo tulus, matanya tak lepas dari tubuh istrinya. "Ora ono wong wedok sing iso ngalahke kaendahanmu." (Tidak ada perempuan yang bisa mengalahkan keindahanmu.)Ratih tersenyum malu, tangannya refleks menutupi bagian tubuhnya yang paling pribadi. "Mas ora perlu ngomong ngono. Aku ngerti nek nang Jakarta akeh wedok sing luwih ayu teko aku." (Mas tidak perlu bicara begitu. Aku tahu kalau di Jakarta banyak perempuan yang lebih cantik dari aku.)Karyo menggeleng tegas, tangannya menyingkirkan tangan Ratih yang menutupi tub
Karyo memberanikan diri mendekatkan wajahnya, hidungnya menyentuh lembut leher Ratih, menghirup lebih dalam aroma yang begitu dikenalnya. Ratih tersentak kecil, tapi tidak menjauh. Sensasi hangat napas Karyo di lehernya membuat tubuhnya merinding, membangunkan hasrat yang telah lama terkubur."Mas...' bisik Ratih, suaranya sedikit bergetar.Karyo mengangkat wajahnya, menatap mata Ratih dalam jarak yang sangat dekat. Kerinduan, hasrat, dan cinta terpancar jelas di mata keduanya. Dengan gerakan sangat perlahan, Karyo mendekatkan bibirnya, memberikan waktu bagi Ratih untuk menghindar jika dia tidak siap. Tapi Ratih tidak bergerak mundur. Sebaliknya, matanya terpejam dalam antisipasi yang jujur.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang awalnya ragu dan penuh kehati-hatian. Hanya sentuhan ringan, namun cukup untuk mematahkan apa yang tersisa dari keraguan di antara mereka. Ratih mendesah pelan ke dalam ciuman mereka, tangannya perlahan naik, menyentuh pipi Karyo
Ratih berdiri di dekat ranjang, jari-jarinya memilin ujung daster bunganya dengan gugup. Berbagai emosi berkecamuk dalam benaknya kemarahan, kerinduan, ketakutan, dan hasrat yang tak bisa disangkalnya. "Iya, wis suwe tenan," (lya, sudah lama sekali) jawabnya pelan, matanya tidak berani menatap langsung pada Karyo.Karyo duduk di tepi ranjang, melepaskan sandalnya. Gerakan sederhana yang pernah menjadi rutinitas harian kini terasa asing dan penuh makna. Dia menghela napas panjang, mendongak menatap istrinya yang masih berdiri dengan sikap defensif."Dik, aku kangen tenan, (Dik, aku sangat rindu) ucap Karyo lembut, tangannya terulur pelan. "Sak suwene aku nang Jakarta, ora ono bengi sing aku ora kelingan sliramu." (Selama aku di Jakarta, tidak ada malam yang aku tidak mengingatmu.)Ratih masih terdiam, tapi tatapannya mulai melembut. Enam bulan hidup tanpa suami, mengurus Dani seorang diri, tidur sendirian di ranjang ini-semua kerinduan dan kesepian itu tida
"Ceritain gimana dia nyentuh kamu," jelas Irwan, tangannya kini bergerak naik, mengelus perut Maya hingga ke payudaranya. "Gimana rasanya waktu sama dia.""Say, kamu yakin mau ngomongin ini... sekarang?""lya," Irwan mengangguk, pinggulnya kembali bergerak di bawah Maya. "Aku penasaran. Aku mau tau bedanya.""Beda apanya?""Gimana dia dibanding aku," Irwan menjawab, suaranya terdengar tenang meski ada getaran halus di dalamnya. "Ukurannya, caranya nyentuh kamu, apa yang dia lakuin yang... bikin kamu klimaks berkali-kali.""Dia... lebih gede, Maya akhirnya berkata jujur. "Jauh lebih gede.""Seberapa gede?""Mungkin..." Maya menggerakkan jarinya, membuat gestur yang menunjukkan perbedaan ukuran yang signifikan. "Dua tiga kali lebih gede dari kamu. Lebih tebel juga.""Dan itu bikin kamu lebih puas?" tanya Irwan, suaranya lebih dalam dari biasanya."Say..." Maya ragu, takut melukai perasaan suaminya.