Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.
Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh.
Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa. Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalinya. "Yang..." Irwan tersentak, buru-buru memasukkan amplop itu kembali ke laci. Maya berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama sutra cream yang dulu pas di tubuhnya namun kini terlihat kedodoran. Rambut panjangnya yang biasa tertata rapi di kantor kini tergerai berantakan, matanya sembab dengan jejak maskara yang luntur - pasti habis nangis lagi. "Belum tidur?" Irwan menggeser kursinya, berusaha tersenyum meski dadanya sesak melihat kondisi Maya. Maya menggeleng lemah, melangkah masuk dengan langkah gontai yang tidak pernah ia tunjukkan di depan klien-kliennya. Ia duduk di sofa, kakinya tertekuk di bawah tubuhnya - posisi yang selalu ia ambil saat merasa rentan. "Tadi Mama telpon," Maya memainkan ujung piyamanya. "Linda udah masuk bulan kedelapan. Mereka mau adain syukuran minggu depan." Irwan menghela napas berat. Linda, adik iparnya, baru menikah dua tahun lalu tapi sudah hamil anak kedua. Setiap kabar kehamilan di keluarga mereka kini terasa seperti tamparan. "Aku bilang kita nggak bisa dateng," Maya melanjutkan, suaranya bergetar. "Alasan klasik - meeting sama klien dari Singapore." "Maya..." "Sampe kapan, Yang?" Maya mendongak, matanya berkaca-kaca. "Sampe kapan kita harus ngumpet-ngumpet gini? Sampe kapan kita harus bohong terus?" Irwan bangkit, berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu. Tawaran Pak Karyo kembali menghantui benaknya. Haruskah? Tidak, ini gila. Tapi melihat Maya yang semakin rapuh.... "Ada yang perlu aku omongin," kata Irwan akhirnya, berhenti di depan jendela. Di luar, lampu taman menyinari sosok Pak Karyo yang masih tekun menyiram tanaman meski hari sudah larut. "Hmm?" "Tadi siang..." Irwan menelan ludah. "Pak Karyo ngomong sama aku." Maya menegakkan tubuhnya. Ada sesuatu dalam nada suara Irwan yang menarik perhatiannya. "Dia... dia nawarin sesuatu." Irwan berbalik, menatap Maya dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Dia bilang dia punya lima anak yang sehat. Dan kalo kita mau... dia bersedia..." Hening. Hanya suara deru AC dan detak jam dinding yang terdengar. Maya duduk kaku, matanya melebar menatap Irwan seolah suaminya baru saja berbicara dalam bahasa alien. "Maksud kamu..." Maya berbisik, "Pak Karyo nawarin untuk..." Irwan mengangguk lemah. Ia mengira Maya akan meledak marah, akan menganggap ide itu gila. Tapi di luar dugaan, istrinya justru terdiam lama, matanya menerawang ke arah jendela di mana sosok Pak Karyo masih terlihat bekerja. "Lima anak..." Maya bergumam, seolah bicara pada diri sendiri. Ia bangkit, berjalan ke jendela. Dari sini, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Pak Karyo mengangkat pot-pot berat dengan mudah, otot-ototnya yang kekar hasil bertahun-tahun kerja fisik menonjol di balik seragam lusuhnya. "Maya, kita nggak perlu pikirin ini," Irwan cepat-cepat menambahkan, meski suaranya tidak meyakinkan. "Ini ide gila. Aku cuma merasa perlu ngasih tau kamu." "Nggak, Yang." Maya berbalik, ada kilatan aneh di matanya. "Kita udah coba semuanya. Dokter-dokter terbaik, program bayi tabung termahal... dan lihat hasilnya." Ia menunjuk ke arah laci tempat Irwan menyimpan hasil tesnya. "Bahkan temen-temen kita... mereka semua ngejauh begitu tau apa yang kita butuhin." Maya kembali menatap ke luar jendela. Pak Karyo kini sedang membereskan peralatan kebunnya, gerakannya efisien dan penuh tenaga meski hari sudah larut. "Setidaknya kita tau dia orang baik," Maya melanjutkan, suaranya lebih mantap. "Empat tahun dia kerja di sini, nggak pernah sepeser pun uang atau barang ilang. Dia jujur, setia, pekerja keras..." Ia berhenti sejenak. "Dan yang paling penting... liat betapa sehatnya anak-anaknya." Di luar, Pak Karyo menghilang ke dalam rumah. Samar-samar terdengar suara air mengalir - ia pasti sedang mencuci peralatan kebun sebelum membereskan dapur, rutinitas malamnya yang tak pernah berubah. Pagi berikutnya, Maya nyaris tidak bisa menatap Pak Karyo saat sarapan. Setiap kali pembantu mereka mendekat untuk menuang kopi atau mengambil piring kotor, wajah Maya memerah dan tangannya gemetar memegang sendok. Irwan yang biasanya berangkat pagi-pagi, hari ini sengaja tinggal lebih lama - ia tahu pembicaraan ini tidak bisa ditunda. "Pak Karyo," Irwan memanggil setelah Maya memberikan isyarat kecil dengan matanya. "Bisa ngobrol sebentar?" "Nggih, Den." Pak Karyo mendekat dengan sikap formal seperti biasa, berdiri dengan postur hormat beberapa langkah dari meja makan. Maya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung blazernya di bawah meja. Wanita yang biasanya penuh percaya diri memimpin rapat direksi ini kini tampak seperti gadis remaja yang gugup. "Soal... obrolan kemarin," Irwan berdeham, suaranya lebih serak dari yang ia inginkan. "Kami udah bahas bareng." Hening sejenak. Maya masih menunduk, bahkan saat Pak Karyo dengan berani melirik ke arahnya. "Kami..." Irwan menelan ludah. "Kami setuju. Tapi ada beberapa syarat yang harus kita omongin." "Nggih, Den. Saya siap nurut apa saja yang Bapak sama Ibu minta." Maya akhirnya mengangkat wajahnya, tapi hanya sekilas sebelum kembali menunduk. Wajahnya merah padam sampai ke telinga. "S-saya akan siapin dokumennya," bisiknya nyaris tak terdengar. Seminggu berlalu. Maya, yang biasanya selalu meminta pendapat Irwan untuk segala hal, kini seolah membangun tembok profesionalisme untuk melindungi dirinya dari kecanggungan situasi ini. Ia menghabiskan malam-malamnya membuat daftar persyaratan. "Ini..." Maya meletakkan map di meja dapur dengan tangan gemetar, bahkan tidak berani menatap langsung pada Pak Karyo yang sedang mencuci piring. "Daftar tes kesehatan yang harus dilakuin." Pak Karyo mengeringkan tangannya, menunggu Maya menjauh beberapa langkah sebelum mengambil map tersebut. Keduanya seolah menari dalam koreografi canggung, berusaha keras menghindari kemungkinan bersentuhan. "Dan ini..." Maya mengeluarkan jadwal dari tasnya, meletakkannya di ujung meja sejauh mungkin dari Pak Karyo. "Jadwal... kebersihan yang harus diikutin." Irwan memperhatikan bagaimana istrinya bahkan tidak sanggup mengucapkan kata 'mandi', bagaimana bahasa tubuhnya menyiratkan rasa malu yang dalam. Maya yang selalu anggun dan terkontrol kini tampak seperti akan pingsan setiap kali Pak Karyo berada dalam radius tiga meter darinya. "Tiga kali sehari," Maya menambahkan cepat, suaranya nyaris mencicit. "Pake... pake sabun khusus. S-saya udah siapin di..." Ia tidak sanggup melanjutkan, wajahnya semakin merah. "Maaf ya, Bu," Pak Karyo bersuara pelan, "tapi biasanya saya mandi subuh sama malem aja. Kalo siang, sama keringat dan..." "P-pokoknya harus tiga kali!" Maya memotong panik, suaranya melengking tidak seperti biasanya. Ia buru-buru mundur saat Pak Karyo mengambil selangkah maju. "Kebersihan itu... itu penting. Saya nggak mau ada... ada..." Maya tidak menyelesaikan kalimatnya, setengah berlari keluar dari dapur. Irwan bisa mendengar suara high heels istrinya yang berantakan menaiki tangga, tidak anggun seperti biasanya. Sore itu, setelah berkali-kali menunda dengan alasan mengecek email dan menelepon klien, Maya akhirnya mengumpulkan mereka di ruang kerja. Tangannya gemetar hebat saat membuka map berisi dokumen legal. "I-ini kontrak yang harus ditandatangani," suaranya nyaris berbisik. "Aku udah konsultasi sama pengacara. Semua udah diatur... termasuk..." Ia menelan ludah. "...jadwal dan prosedurnya." Maya bahkan tidak sanggup membacakan isi kontrak itu. Setiap kali sampai pada bagian yang menjelaskan 'prosedur', wajahnya semakin merah dan suaranya semakin pelan hingga nyaris tak terdengar. "Kita harus profesional," Maya mencoba terdengar tegas, tapi malah seperti mencicit. "Pak Karyo di sini cuma sebagai... sebagai..." Ia tidak sanggup melanjutkan, tangannya mencengkeram map hingga kukunya memutih. Irwan melihat bagaimana Maya nyaris melompat kaget saat Pak Karyo mengulurkan tangan untuk mengambil dokumen. Bagaimana istrinya secara tidak sadar merapatkan blazernya, seolah berusaha membuat tameng dari kain. "Dan... dan ini," Maya mengeluarkan kartu dari dompetnya dengan tangan gemetar, meletakkannya di ujung meja. "Buat beli... vitamin dan... dan..." Suaranya menghilang, tidak sanggup melanjutkan. "Saya ngerti, Bu," Pak Karyo mengambil kartu itu dengan gerakan hati-hati, seolah menyadari kegugupan majikannya. "Saya akan lakuin yang terbaik." Maya mengangguk kaku, nyaris tersandung kursi saat berbalik mengambil tasnya. "S-saya ada meeting," gumamnya terburu-buru, meski jam sudah menunjukkan pukul lima sore. "Permisi." Setelah Maya pergi, Irwan bisa mencium aroma sabun antiseptik yang sudah dipakai Pak Karyo - berbeda dari aroma tanah dan keringat yang biasa melekat di tubuh pembantunya. Perubahan kecil ini, ditambah sikap Maya yang begitu gugup dan malu, membuat segalanya terasa semakin nyata. Dan semakin tak terelakkan.Dua jam berlalu, dan Maya telah kehilangan hitungan berapa kali Pak Karyo membuatnya orgasme. Setiap kali ia berpikir sudah selesai, jemari Pak Karyo akan menyentuhnya lagi, membangkitkan gairah yang ia kira sudah terpuaskan. "Pak Karyo..." Maya mendesah lemah, tubuhnya masih bergetar dari orgasme terakhir. Keringat membasahi kulit putihnya, rambut yang biasanya rapi kini lepek menempel di dahi. "Udah... aku udah nggak kuat lagi..." Napasnya pendek-pendek. Tubuhnya seperti habis lari maraton, tapi masih mendamba sentuhan itu. Tangannya gemetar saat mencoba mendorong dada berotot Pak Karyo, tapi dorongannya lemah, seperti basa-basi. "Belum kok, Bu," Pak Karyo berbisik serak. Tangannya yang kasar mengelus wajah Maya dengan kelembutan yang kontradiktif, sebelum turun ke leher, lalu payudaranya yang masih sensitif. "Saya masih pengen Bu Maya." Otot-otot lengan Pak Karyo yang gelap bergerak di bawah kulitnya saat ia bergeser, menekan tubuh Maya lebih dalam ke kasur. Tidak ada tanda
Belum selesai dengan gelombang keduanya, Maya merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggantikan jari-jari Pak Karyo. Matanya terbuka lebar saat menyadari Pak Karyo telah bergerak turun, wajahnya kini berada di antara kakinya. "Oh!" Maya terkesiap saat lidah kasar Pak Karyo menyentuhnya. Sensasi itu begitu intens hingga tubuhnya otomatis mencoba menjauh, tapi tangan kuat Pak Karyo menahannya tetap di tempat. "Pak... apa yang... ahh..." Maya tak mampu berpikir jernih. Lidah Pak Karyo bergerak dengan terampil, mencari titik-titik yang membuat tubuhnya menggeliat. Tangannya refleks mencengkeram rambut Pak Karyo, mendorongnya lebih dalam. Pak Karyo bergumam pelan, vibrasi suaranya mengirim gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh Maya. Kedua tangan kekarnya kini mengangkat paha Maya, membuatnya semakin terbuka dan tak berdaya. "Pak... Kar... ahh..." Maya meracau. Seorang eksekutif yang terbiasa mendikte orang lain, kini tak mampu membentuk satu kalimat utuh. Otaknya seperti melel
Suara shower berhenti. Maya menahan napas, jantungnya berdegup kencang mendengar langkah-langkah berat mendekat. Pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan kepulan uap hangat yang beraroma sabun mahal. "Ahh...." Maya berbisik tanpa sadar. Pak Karyo berdiri di ambang pintu, handuk putih hotel melilit rendah di pinggangnya. Air mengalir dari rambutnya yang hitam pekat, menetes turun melewati dada bidangnya yang berotot, mengikuti lekuk-lekuk keras yang terbentuk dari bertahun-tahun kerja fisik. Setiap tetes air yang meluncur di kulit gelapnya yang mengkilap membuat Maya semakin sulit bernapas. "Bu..." Suara Pak Karyo terdengar dalam dan serak. Maya bisa melihat bagaimana otot-otot di lehernya bergerak saat ia menelan ludah. "Boleh saya mendekat?" Maya mengangguk lemah, tubuhnya gemetar. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh basah Pak Karyo memenuhi ruangan, membuat kepalanya pusing. Ini bukan lagi aroma pekerja kasar yang biasa ia hindari. Wajahnya yang tegas dengan rahang
Di lobby hotel, Irwan memesan kopi ketiga. Tangannya yang biasa mantap menandatangani kontrak miliaran kini gemetar mengaduk minuman yang belum ia sentuh. Matanya menatap kosong ke arah lift, membayangkan apa yang terjadi di lantai atas.Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma prosedur medis aja - masuk, lakukan, keluar. Kayak donor darah atau check-up rutin. Tapi kenapa sudah lewat setengah jam dan belum ada kabar dari Maya? Maya berdiri di depan pintu suite, tangannya gemetar saat memasukkan key card. Suara klik pelan mengonfirmasi pintu terbuka, dan ia melangkah masuk dengan lutut yang nyaris goyah. Pak Karyo sudah menunggu di dalam, berdiri canggung di dekat jendela. Maya nyaris tersedak melihat penampilannya - kemeja putih yang ia belikan dari butik langganannya malah membuat Pak Karyo tampak semakin tidak pantas berada di suite mewah ini. Kulitnya yang gelap tampak kontras dengan kemeja putih itu. Wajahnya yang kusam tak terawat, dengan kecanggungan khas orang kampung, mem
Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka. "Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget. Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika ber
Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh. Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa. Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalin