Share

Bab 7

Author: Waterverri
last update Last Updated: 2025-07-07 19:30:16

Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.

Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh.

Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa.

Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalinya.

"Yang..."

Irwan tersentak, buru-buru memasukkan amplop itu kembali ke laci. Maya berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama sutra cream yang dulu pas di tubuhnya namun kini terlihat kedodoran. Rambut panjangnya yang biasa tertata rapi di kantor kini tergerai berantakan, matanya sembab dengan jejak maskara yang luntur - pasti habis nangis lagi.

"Belum tidur?" Irwan menggeser kursinya, berusaha tersenyum meski dadanya sesak melihat kondisi Maya.

Maya menggeleng lemah, melangkah masuk dengan langkah gontai yang tidak pernah ia tunjukkan di depan klien-kliennya. Ia duduk di sofa, kakinya tertekuk di bawah tubuhnya - posisi yang selalu ia ambil saat merasa rentan.

"Tadi Mama telpon," Maya memainkan ujung piyamanya. "Linda udah masuk bulan kedelapan. Mereka mau adain syukuran minggu depan."

Irwan menghela napas berat. Linda, adik iparnya, baru menikah dua tahun lalu tapi sudah hamil anak kedua. Setiap kabar kehamilan di keluarga mereka kini terasa seperti tamparan.

"Aku bilang kita nggak bisa dateng," Maya melanjutkan, suaranya bergetar. "Alasan klasik - meeting sama klien dari Singapore."

"Maya..."

"Sampe kapan, Yang?" Maya mendongak, matanya berkaca-kaca. "Sampe kapan kita harus ngumpet-ngumpet gini? Sampe kapan kita harus bohong terus?"

Irwan bangkit, berjalan mondar-mandir di ruangan sempit itu. Tawaran Pak Karyo kembali menghantui benaknya. Haruskah? Tidak, ini gila. Tapi melihat Maya yang semakin rapuh....

"Ada yang perlu aku omongin," kata Irwan akhirnya, berhenti di depan jendela. Di luar, lampu taman menyinari sosok Pak Karyo yang masih tekun menyiram tanaman meski hari sudah larut.

"Hmm?"

"Tadi siang..." Irwan menelan ludah. "Pak Karyo ngomong sama aku."

Maya menegakkan tubuhnya. Ada sesuatu dalam nada suara Irwan yang menarik perhatiannya.

"Dia... dia nawarin sesuatu." Irwan berbalik, menatap Maya dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Dia bilang dia punya lima anak yang sehat. Dan kalo kita mau... dia bersedia..."

Hening. Hanya suara deru AC dan detak jam dinding yang terdengar. Maya duduk kaku, matanya melebar menatap Irwan seolah suaminya baru saja berbicara dalam bahasa alien.

"Maksud kamu..." Maya berbisik, "Pak Karyo nawarin untuk..."

Irwan mengangguk lemah. Ia mengira Maya akan meledak marah, akan menganggap ide itu gila. Tapi di luar dugaan, istrinya justru terdiam lama, matanya menerawang ke arah jendela di mana sosok Pak Karyo masih terlihat bekerja.

"Lima anak..." Maya bergumam, seolah bicara pada diri sendiri. Ia bangkit, berjalan ke jendela. Dari sini, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana Pak Karyo mengangkat pot-pot berat dengan mudah, otot-ototnya yang kekar hasil bertahun-tahun kerja fisik menonjol di balik seragam lusuhnya.

"Maya, kita nggak perlu pikirin ini," Irwan cepat-cepat menambahkan, meski suaranya tidak meyakinkan. "Ini ide gila. Aku cuma merasa perlu ngasih tau kamu."

"Nggak, Yang." Maya berbalik, ada kilatan aneh di matanya. "Kita udah coba semuanya. Dokter-dokter terbaik, program bayi tabung termahal... dan lihat hasilnya." Ia menunjuk ke arah laci tempat Irwan menyimpan hasil tesnya. "Bahkan temen-temen kita... mereka semua ngejauh begitu tau apa yang kita butuhin."

Maya kembali menatap ke luar jendela. Pak Karyo kini sedang membereskan peralatan kebunnya, gerakannya efisien dan penuh tenaga meski hari sudah larut.

"Setidaknya kita tau dia orang baik," Maya melanjutkan, suaranya lebih mantap. "Empat tahun dia kerja di sini, nggak pernah sepeser pun uang atau barang ilang. Dia jujur, setia, pekerja keras..." Ia berhenti sejenak. "Dan yang paling penting... liat betapa sehatnya anak-anaknya."

Di luar, Pak Karyo menghilang ke dalam rumah. Samar-samar terdengar suara air mengalir - ia pasti sedang mencuci peralatan kebun sebelum membereskan dapur, rutinitas malamnya yang tak pernah berubah.

Pagi berikutnya, Maya nyaris tidak bisa menatap Pak Karyo saat sarapan. Setiap kali pembantu mereka mendekat untuk menuang kopi atau mengambil piring kotor, wajah Maya memerah dan tangannya gemetar memegang sendok. Irwan yang biasanya berangkat pagi-pagi, hari ini sengaja tinggal lebih lama - ia tahu pembicaraan ini tidak bisa ditunda.

"Pak Karyo," Irwan memanggil setelah Maya memberikan isyarat kecil dengan matanya. "Bisa ngobrol sebentar?"

"Nggih, Den." Pak Karyo mendekat dengan sikap formal seperti biasa, berdiri dengan postur hormat beberapa langkah dari meja makan.

Maya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung blazernya di bawah meja. Wanita yang biasanya penuh percaya diri memimpin rapat direksi ini kini tampak seperti gadis remaja yang gugup.

"Soal... obrolan kemarin," Irwan berdeham, suaranya lebih serak dari yang ia inginkan. "Kami udah bahas bareng."

Hening sejenak. Maya masih menunduk, bahkan saat Pak Karyo dengan berani melirik ke arahnya.

"Kami..." Irwan menelan ludah. "Kami setuju. Tapi ada beberapa syarat yang harus kita omongin."

"Nggih, Den. Saya siap nurut apa saja yang Bapak sama Ibu minta."

Maya akhirnya mengangkat wajahnya, tapi hanya sekilas sebelum kembali menunduk. Wajahnya merah padam sampai ke telinga. "S-saya akan siapin dokumennya," bisiknya nyaris tak terdengar.

Seminggu berlalu. Maya, yang biasanya selalu meminta pendapat Irwan untuk segala hal, kini seolah membangun tembok profesionalisme untuk melindungi dirinya dari kecanggungan situasi ini. Ia menghabiskan malam-malamnya membuat daftar persyaratan.

"Ini..." Maya meletakkan map di meja dapur dengan tangan gemetar, bahkan tidak berani menatap langsung pada Pak Karyo yang sedang mencuci piring. "Daftar tes kesehatan yang harus dilakuin."

Pak Karyo mengeringkan tangannya, menunggu Maya menjauh beberapa langkah sebelum mengambil map tersebut. Keduanya seolah menari dalam koreografi canggung, berusaha keras menghindari kemungkinan bersentuhan.

"Dan ini..." Maya mengeluarkan jadwal dari tasnya, meletakkannya di ujung meja sejauh mungkin dari Pak Karyo. "Jadwal... kebersihan yang harus diikutin."

Irwan memperhatikan bagaimana istrinya bahkan tidak sanggup mengucapkan kata 'mandi', bagaimana bahasa tubuhnya menyiratkan rasa malu yang dalam. Maya yang selalu anggun dan terkontrol kini tampak seperti akan pingsan setiap kali Pak Karyo berada dalam radius tiga meter darinya.

"Tiga kali sehari," Maya menambahkan cepat, suaranya nyaris mencicit. "Pake... pake sabun khusus. S-saya udah siapin di..." Ia tidak sanggup melanjutkan, wajahnya semakin merah.

"Maaf ya, Bu," Pak Karyo bersuara pelan, "tapi biasanya saya mandi subuh sama malem aja. Kalo siang, sama keringat dan..."

"P-pokoknya harus tiga kali!" Maya memotong panik, suaranya melengking tidak seperti biasanya. Ia buru-buru mundur saat Pak Karyo mengambil selangkah maju. "Kebersihan itu... itu penting. Saya nggak mau ada... ada..."

Maya tidak menyelesaikan kalimatnya, setengah berlari keluar dari dapur. Irwan bisa mendengar suara high heels istrinya yang berantakan menaiki tangga, tidak anggun seperti biasanya.

Sore itu, setelah berkali-kali menunda dengan alasan mengecek email dan menelepon klien, Maya akhirnya mengumpulkan mereka di ruang kerja. Tangannya gemetar hebat saat membuka map berisi dokumen legal.

"I-ini kontrak yang harus ditandatangani," suaranya nyaris berbisik. "Aku udah konsultasi sama pengacara. Semua udah diatur... termasuk..." Ia menelan ludah. "...jadwal dan prosedurnya."

Maya bahkan tidak sanggup membacakan isi kontrak itu. Setiap kali sampai pada bagian yang menjelaskan 'prosedur', wajahnya semakin merah dan suaranya semakin pelan hingga nyaris tak terdengar.

"Kita harus profesional," Maya mencoba terdengar tegas, tapi malah seperti mencicit. "Pak Karyo di sini cuma sebagai... sebagai..." Ia tidak sanggup melanjutkan, tangannya mencengkeram map hingga kukunya memutih.

Irwan melihat bagaimana Maya nyaris melompat kaget saat Pak Karyo mengulurkan tangan untuk mengambil dokumen. Bagaimana istrinya secara tidak sadar merapatkan blazernya, seolah berusaha membuat tameng dari kain.

"Dan... dan ini," Maya mengeluarkan kartu dari dompetnya dengan tangan gemetar, meletakkannya di ujung meja. "Buat beli... vitamin dan... dan..." Suaranya menghilang, tidak sanggup melanjutkan.

"Saya ngerti, Bu," Pak Karyo mengambil kartu itu dengan gerakan hati-hati, seolah menyadari kegugupan majikannya. "Saya akan lakuin yang terbaik."

Maya mengangguk kaku, nyaris tersandung kursi saat berbalik mengambil tasnya. "S-saya ada meeting," gumamnya terburu-buru, meski jam sudah menunjukkan pukul lima sore. "Permisi."

Setelah Maya pergi, Irwan bisa mencium aroma sabun antiseptik yang sudah dipakai Pak Karyo - berbeda dari aroma tanah dan keringat yang biasa melekat di tubuh pembantunya. Perubahan kecil ini, ditambah sikap Maya yang begitu gugup dan malu, membuat segalanya terasa semakin nyata. Dan semakin tak terelakkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Jadi beneran Pak Karyo akan tidur dengan Maya karena Maya dan Irwan ingin punya anak...?!? Satu kata "GILAAAA"
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 339

    Selasa sore, Maya pulang kerja lebih awal. Dia menemukan Pak Karyo sedang menyiram tanaman di halaman depan."Selamat sore, Bu," sapanya formal karena ada tetangga yang lewat."Sore, Pak," balas Maya, tersenyum kecil.Di dalam rumah, begitu pintu tertutup, Pak Karyo langsung mengubah sikapnya."Ibu pulang cepat?" tanyanya, suaranya lebih rendah, mata awasnya menelusuri tubuh Maya dari atas ke bawah."Iya," Maya menjawab pelan, melepas sepatu hak tingginya.Pak Karyo mendekat perlahan, tapi tetap menjaga jarak aman. "Kapan Bapak pulang?""Nggak tau pasti," Maya berbisik, jantungnya mulai berdebar kencang. "Biasanya sih masih setengah jam lagi, tapi kadang dia suka lebih cepet kalo nggak macet."Mata Pak Karyo berkilat—campuran hasrat dan kewaspadaan. "Kalau gitu kita harus hati-hati," bisiknya, sembari memastikan jendela depan tetap terbuka agar bisa mendengar suara

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 338

    Selasa siang.Saat jam istirahat tiba, ponsel Irwan bergetar pelan di atas meja kerjanya.Dia melirik layar. Pesan masuk dari Maya.Jantungnya langsung berdegup lebih cepat—antisipasi bercampur dengan sedikit ketakutan yang aneh. Maya jarang mengirim pesan di tengah hari kerja, kecuali ada sesuatu yang penting. Naluri dalam dirinya tahu: ini pasti tentang apa yang terjadi pagi tadi setelah dia berangkat.Irwan membuka aplikasi pesan dengan tangan yang sedikit gemetar.Pesan pertama dari Maya: "Wan, tadi setelah kamu pergi... Pak Karyo lagi-lagi berani. Dia... menyentuh aku di meja makan."Irwan menarik napas dalam. Matanya menyipit membaca kata-kata itu.Maya melanjutkan dengan detail singkat tapi cukup untuk membuat imajinasi Irwan berlari liar: "Aku coba tahan, tapi tubuhku bereaksi. Akhirnya... aku orgasme di sana. Maaf, aku nggak bisa nahan. Kamu marah nggak?"

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 337

    Selasa pagi, rutinitas sarapan terasa berbeda. Irwan sengaja duduk lebih lama di meja makan, memperhatikan interaksi Maya dan Pak Karyo. Maya tampak gugup saat Pak Karyo menuangkan teh untuknya, tangan mereka bersentuhan sekilas."Hari ini pulang jam berapa?" tanya Irwan santai."Seperti biasa," jawab Maya. "Kenapa?""Nggak apa-apa," Irwan tersenyum. "Cuma mau tau aja."Setelah Irwan berangkat, Pak Karyo langsung menghampiri Maya yang masih duduk di meja makan."Ibu belum berangkat?" tanyanya, berdiri sangat dekat."Sebentar lagi," Maya menjawab, tidak beranjak.Pak Karyo duduk di kursi sebelah Maya, tangannya perlahan menyentuh paha Maya di bawah meja. "Masih ada waktu sebentar..."bisiknya dengan suara berat.Maya menelan ludah, melirik jam dinding. Dia memang masih punya sekitar lima belas menit sebelum benar-benar harus berangkat. "Pak Karyo..." suaranya b

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 336

    Di kantor, Maya tidak bisa berkonsentrasi. Ponselnya bergetar dengan pesan masuk:"Ibu masih kepikiran yang tadi pagi? Saya juga."Maya menggigit bibir, ragu untuk membalas. Akhirnya dia mengetik:"Pak Karyo, kita harus lebih hati-hati."Balasan datang segera:"Tapi Ibu suka kan? Saya bisa lihat dari gerakan Ibu."Maya memerah membaca pesan itu. Dia membalas:"Pak Karyo, saya mohon jangan bicara seperti itu. Saya masih istri Irwan."Balasannya datang cepat:"Tapi tubuh Ibu bilang lain tadi. Saya lihat sendiri."Maya menggigit bibir, jemarinya gemetar di atas layar ponsel. Dia harus menghentikan ini, tapi ada bagian dari dirinya yang tidak ingin berhenti."Itu... itu cuma reaksi fisik. Tidak berarti apa-apa.""Kalau tidak berarti apa-apa, kenapa Ibu masih balas chat saya?

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 335

    "Jadi, gimana sekarang?" tanya Maya pelan, menarik selimut hingga ke dadanya.Kamar utama terasa hangat meski AC menyala. Mereka baru saja selesai mandi setelah makan malam dan pembicaraan di mobil. Irwan duduk bersandar di kepala tempat tidur, tablet di tangannya, sementara Maya berbaring miring menghadapnya."Maksudnya?" Irwan mengalihkan pandangan dari tabletnya."Kita udah ngobrol banyak di mobil," Maya memperjelas. "Tapi aku masih belum jelas apa yang sebenarnya kamu mau. Tadi pagi kamu panik lihat Pak Karyo 'berani' sama aku. Tapi sekarang, setelah terapi, kayaknya kamu malah mendorong..."Irwan meletakkan tabletnya, menatap Maya serius. "Oke, aku jelasin. Tadi pagi aku belum... siap. Aku masih bingung sama perasaanku sendiri. Tapi sekarang..." Dia menghela napas. "Sekarang aku udah mantap.""Mantap gimana?""Aku udah bilang ke kamu, kan? Aku punya... preferensi ini." Irwan menggenggam

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 334

    Irwan terdiam, seolah sedang memproses informasi baru ini dengan cermat. Di balik ekspresi netralnya, otaknya berputar, menganalisis setiap detail pengakuan Maya, memasukkannya ke dalam perhitungan eksperimennya."Nggak apa-apa," Irwan akhirnya berkata, suaranya tenang. "Itu mungkin bagian alami dari... perkembangan dinamika kita. Selama kamu jujur sama aku, selama kita tetap saling terbuka..."Maya tampak sedikit terkejut dengan respons Irwan yang santai. "Jadi... kamu nggak keberatan kalau aku... kalau kami...""Yang penting kamu tetap pulang ke aku," potong Irwan, tangannya meraih tangan Maya dan meremasnya lembut. "Yang penting kita tetap saling jujur."Maya menatap Irwan dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara lega, bingung, dan sedikit curiga. Seolah dia merasa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dari respons Irwan, tapi tidak bisa menunjukkan tepatnya apa.Mobil akhirnya memas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status