Fajar baru saja menyingsing ketika Maya melangkah keluar dari kamar. Blazer krem yang dulu pas kini menggantung longgar di tubuhnya yang semakin kurus, membuatnya tampak seperti anak kecil yang mencoba mengenakan pakaian ibunya. Dia melewati ruang kerja Irwan tanpa mengetuk - kebiasaan baru yang menyakitkan setelah pertengkaran hebat semalam.
Dari jendela dapur, Pak Karyo mengamati bagaimana Maya berjalan ke mobilnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bergerak pagi ini - lebih berat, seolah setiap langkah membutuhkan energi ekstra. BMW putih itu meluncur meninggalkan pekarangan, membawa serta keanggunan terakhir yang tersisa dari rumah mewah itu. Pak Karyo menyelesaikan ritual paginya dengan pikiran berkecamuk. Dia mencuci piring-piring kotor yang semalam tidak disentuh siapapun, mengepel lantai marmer yang berkilau - rutinitas yang biasanya dia lakukan dengan pikiran kosong. Tapi pagi ini berbeda. Setiap gerakannya dipenuhi pertimbangan, setiap helaan napasnya membawa keraguan. Jam menunjukkan pukul sembilan ketika dia akhirnya memberanikan diri mendekati ruang kerja Irwan. Suara keyboard terdengar dari dalam - ketukan frustrasi yang tidak berirama, diselingi helaan napas berat dan sesekali umpatan tertahan. Pak Karyo berdiri di depan pintu kayu jati itu, tangannya terangkat ragu-ragu. Selama empat tahun mengabdi di rumah ini, dia telah menyaksikan pasangan ini dari dekat. Melihat bagaimana cinta mereka perlahan terkikis oleh ketidakhadiran tangis bayi. Mendengar isak Maya di malam-malam sunyi. Mengamati Irwan yang semakin sering mengurung diri. "Permisi, Pak," dia mengetuk pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru AC. "Maaf ganggu..." Hening. Hanya suara keyboard yang semakin brutal. Pak Karyo mengetuk sekali lagi, lebih keras. "Masuk." Suara Irwan terdengar asing - serak dan pahit, seperti kopi dingin yang tersisa di cangkir-cangkir kotor di mejanya. Ruangan itu berantakan - sangat tidak seperti Irwan yang biasanya rapi dan teratur. Berkas-berkas berserakan di lantai, beberapa bahkan tampak seperti habis diremas. Tiga cangkir kopi kosong berjejer di meja, noda hitam mengering di dasarnya. Dan di tengah kekacauan itu, Irwan duduk dengan mata sembab, kemeja yang sama seperti semalam kini kusut dan berbau keringat. "Maaf, Pak..." Pak Karyo memulai dengan hati-hati, matanya menatap lantai - kebiasaan yang udah terpatri selama puluhan tahun kerja jadi pembantu. "Saya nggak bermaksud lancang. Tapi saya liat masalah Bapak sama Ibu..." Irwan mengangkat wajahnya perlahan dari laptop. Matanya merah dan berkanntung, rambutnya berantakan seperti habis dijambak berkali-kali. Dia menatap Pak Karyo dengan pandangan kosong, seolah baru menyadari keberadaan pria yang telah mengurus rumahnya selama empat tahun ini. Pak Karyo menelan ludah. Apa yang akan dia katakan bisa membuatnya dipecat atau lebih buruk lagi. Tapi melihat kehancuran di hadapannya, melihat bagaimana rumah tangga yang dulunya harmonis ini perlahan hancur... dia harus mencoba. "Saya..." dia berdeham pelan, tangannya yang kasar menggenggam ujung kemejanya yang lusuh. "Saya punya lima anak di kampung, Pak. Semuanya sehat. Kalau Bapak izinkan..." Dia nggak nyelesaiin kalimatnya, tapi tatapan Irwan yang mendadak berubah tajam nunjukin bahwa majikannya paham betul apa yang dia tawarkan. Keheningan yang menyusul terasa mencekam. Deru AC yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti dengung ancaman. Irwan menatap Pak Karyo lekat-lekat, seolah baru pertama kali melihat pria itu - pria sederhana yang selama ini membersihkan rumahnya, memasak makanannya, mencuci mobilnya. Pak Karyo memang rajin dan atletis untuk usianya yang 54 tahun. Tubuhnya yang kekar hasil bertahun-tahun bekerja fisik tampak jelas di balik seragam lusuhnya. Tapi penampilannya jauh dari kata menarik - kulitnya gelap dan kasar oleh matahari, wajahnya bertahun-tahun terpanggang cuaca Jakarta, dan pendidikannya hanyal sampai SMP. "Keluar." Suara Irwan terdengar dingin, tangannya mencengkeram pinggiran meja hingga buku-buku jarinya memutih. "Tapi Pak-" "KELUAR!" Irwan menggebrak meja, membuat cangkir-cangkir kopi kosong bergetar. Laptop di hadapannya nyaris terjatuh. Pak Karyo mundur selangkah, tapi tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ada keteguhan dalam caranya berdiri yang tidak pernah Irwan lihat sebelumnya. "Maaf, Pak. Tapi saya nggak bisa diam aja lihat rumah tangga Bapak hancur seperti ini." "Kamu..." Irwan bangkit dari kursinya, tubuhnya gemetar menahan amarah. "Berani-beraninya kamu... nawarin... buat ngehamilin istriku?" "Bukan gitu, Pak," Pak Karyo tetap tenang, meski keringat mulai mengalir di pelipisnya. "Saya cuma pengen bantu. Saya lihat Bu Maya makin kurus. Saya sering denger Bu Maya nangis tiap malem. Dan Bapak..." dia melirik ruangan yang berantakan itu, "Bapak juga tersiksa." "Kamu nggak tau apa-apa!" Irwan menyambar cangkir kopi terdekat, melemparnya ke dinding. Suara pecahan porselen memenuhi ruangan. "Kamu cuma pembantu! Berani-beraninya...." "Ya, saya emang cuma pembantu," Pak Karyo motong, suaranya tetep rendah dan hormat tapi ada ketegasan di dalamnya, "Tapi justru karena itu saya nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan. Nggak ada status sosial, nggak ada nama baik keluarga. Yang saya punya cuma..." dia diem sebentar, "...bukti kalo saya bisa kasih apa yang Bapak sama Bu Maya pengen." Irwan terduduk kembali di kursinya, tenaganya seolah tersedot habis. Kata-kata ayahnya tentang Om Hendra bergema di telinganya - 'bukan lelaki sejati'. Dan kini, pembantu rumah tangganya sendiri menawarkan untuk membuktikan bahwa dia, Irwan, memang bukan lelaki sejati. "Pergi," bisik Irwan, suaranya pecah. "Sebelum aku telepon satpam kompleks." Pak Karyo mengangguk pelan, berbalik menuju pintu. Tapi sebelum menutup pintu, dia berhenti sejenak. "Pak," katanya tanpa noleh, "saya udah anggep Bapak sama Bu Maya kayak keluarga sendiri. Tawaran saya tetep berlaku... kalo Bapak berubah pikiran." Pintu tertutup dengan suara pelan, meninggalkan Irwan sendirian dengan pikirannya yang kacau. Di luar, dia bisa mendengar suara Pak Karyo mulai menyapu halaman - kembali ke rutinitas hariannya seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi. Irwan menatap kosong ke arah laptop, layarnya menampilkan spreadsheet yang sudah tidak dia mengerti lagi. Kata-kata Pak Karyo terus berputar di kepalanya. Lima anak. Semuanya sehat. Dan Maya... Maya yang semakin kurus, semakin putus asa... Tangannya gemetar mengambil foto pernikahan dari laci - Maya dalam gaun Vera Wang putih yang anggun, tersenyum dengan bibir merah sempurna hasil riasan penata rias terkenal.Enam tahun lalu, di ballroom hotel bintang lima, mereka berdansa di tengah decak kagum para tamu. Maya berbisik manja tentang empat anak yang akan mereka miliki, tentang nama-nama yang sudah dia siapkan.
Sekarang, Maya bahkan tidak sanggup melewati bagian perlengkapan bayi di mall tanpa bergegas pergi, matanya berkaca-kaca. Kamar bayi yang dia desain dengan interior designer ternama kini hanya menjadi museum kesedihan - boneka-boneka mahal berdebu, box bayi import masih terbungkus rapi. Suara gesekan sapu Pak Karyo di halaman memecah lamunannya. Irwan berjalan ke jendela, mengamati pembantunya yang sedang bekerja di bawah terik matahari.Keringat membuat kaos lusuhnya menempel di tubuh - memperlihatkan otot-otot kasar yang terbentuk dari kerja keras, bukan dari gym mahal seperti miliknya. Kulit Pak Karyo yang hitam legam penuh kerutan tampak mengkilap oleh peluh, kontras tajam dengan kulit putih terawat para eksekutif di lingkungan sosial mereka.
"Permisi, Pak." Suara serak Pak Karyo bikin Irwan kaget. Dia berbalik, ngeliat pembantunya berdiri di ambang pintu dengan ember dan kain pel. "Mau bersihin ruangan..." Irwan mengangguk kaku, mundur ke sudut ruangan. Dari dekat, perbedaan mereka semakin mencolok. Pak Karyo dengan kemeja lusuh, celana katun belel, dan sandal jepit murahan - berdiri di ruang kerja mewah dengan furniture import dan lukisan-lukisan mahal. Tapi pria sederhana inilah yang memiliki apa yang tidak dia miliki. Lima anak - bukti nyata kejantanan yang tidak bisa dibeli dengan semua uang dan status sosialnya. Irwan menatap tangan Pak Karyo yang sedang mengepel - tangan yang kasar dan hitam karena tak terawat, urat-urat menonjol seperti akar pohon tua. Tangan yang sama yang mungkin akan.... Pikiran itu membuat perutnya bergolak. Maya yang anggun, yang biasa berdansa di pesta-pesta elit, yang kulitnya seputih porselen dan selembut sutra... harus menyerahkan diri pada pria seperti ini? Maya yang fasih berbahasa Inggris dan Mandarin, yang bisa membahas politik global dan pasar saham... berpasangan dengan pria yang bahkan tidak bisa membedakan fork dan spoon? Suara mobil di halaman mengalihkan perhatiannya. Maya turun dengan langkah gontai, blazer krem Burberry-nya yang mahal kini tampak kedodoran di tubuhnya yang kurus. Dia berjalan melewati Pak Karyo yang membungkuk hormat - pemandangan yang sudah ribuan kali Irwan lihat. Tapi kali ini berbeda. Mata Pak Karyo, yang biasanya selalu tertunduk hormat, kini mengikuti setiap langkah Maya dengan tatapan yang membuat Irwan merinding. Ada kelaparan di sana, hasrat primitif yang tidak tersembunyi. Seperti predator yang mengawasi mangsanya, menunggu saat yang tepat untuk.... Irwan menggeleng keras, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang mulai memenuhi kepalanya. Namun suara sapuan pel lantai dari Pak Karyo-gerakan mantap dan teratur-terus membawanya kembali pada kenyataan pahit: lelaki sederhana dengan tangan yang keras oleh kerja ini mungkin justru menjadi satu-satunya orang yang mampu memberikan apa yang Maya inginkan.Dua jam berlalu, dan Maya telah kehilangan hitungan berapa kali Pak Karyo membuatnya orgasme. Setiap kali ia berpikir sudah selesai, jemari Pak Karyo akan menyentuhnya lagi, membangkitkan gairah yang ia kira sudah terpuaskan. "Pak Karyo..." Maya mendesah lemah, tubuhnya masih bergetar dari orgasme terakhir. Keringat membasahi kulit putihnya, rambut yang biasanya rapi kini lepek menempel di dahi. "Udah... aku udah nggak kuat lagi..." Napasnya pendek-pendek. Tubuhnya seperti habis lari maraton, tapi masih mendamba sentuhan itu. Tangannya gemetar saat mencoba mendorong dada berotot Pak Karyo, tapi dorongannya lemah, seperti basa-basi. "Belum kok, Bu," Pak Karyo berbisik serak. Tangannya yang kasar mengelus wajah Maya dengan kelembutan yang kontradiktif, sebelum turun ke leher, lalu payudaranya yang masih sensitif. "Saya masih pengen Bu Maya." Otot-otot lengan Pak Karyo yang gelap bergerak di bawah kulitnya saat ia bergeser, menekan tubuh Maya lebih dalam ke kasur. Tidak ada tanda
Belum selesai dengan gelombang keduanya, Maya merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggantikan jari-jari Pak Karyo. Matanya terbuka lebar saat menyadari Pak Karyo telah bergerak turun, wajahnya kini berada di antara kakinya. "Oh!" Maya terkesiap saat lidah kasar Pak Karyo menyentuhnya. Sensasi itu begitu intens hingga tubuhnya otomatis mencoba menjauh, tapi tangan kuat Pak Karyo menahannya tetap di tempat. "Pak... apa yang... ahh..." Maya tak mampu berpikir jernih. Lidah Pak Karyo bergerak dengan terampil, mencari titik-titik yang membuat tubuhnya menggeliat. Tangannya refleks mencengkeram rambut Pak Karyo, mendorongnya lebih dalam. Pak Karyo bergumam pelan, vibrasi suaranya mengirim gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh Maya. Kedua tangan kekarnya kini mengangkat paha Maya, membuatnya semakin terbuka dan tak berdaya. "Pak... Kar... ahh..." Maya meracau. Seorang eksekutif yang terbiasa mendikte orang lain, kini tak mampu membentuk satu kalimat utuh. Otaknya seperti melel
Suara shower berhenti. Maya menahan napas, jantungnya berdegup kencang mendengar langkah-langkah berat mendekat. Pintu kamar mandi terbuka perlahan, mengeluarkan kepulan uap hangat yang beraroma sabun mahal. "Ahh...." Maya berbisik tanpa sadar. Pak Karyo berdiri di ambang pintu, handuk putih hotel melilit rendah di pinggangnya. Air mengalir dari rambutnya yang hitam pekat, menetes turun melewati dada bidangnya yang berotot, mengikuti lekuk-lekuk keras yang terbentuk dari bertahun-tahun kerja fisik. Setiap tetes air yang meluncur di kulit gelapnya yang mengkilap membuat Maya semakin sulit bernapas. "Bu..." Suara Pak Karyo terdengar dalam dan serak. Maya bisa melihat bagaimana otot-otot di lehernya bergerak saat ia menelan ludah. "Boleh saya mendekat?" Maya mengangguk lemah, tubuhnya gemetar. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh basah Pak Karyo memenuhi ruangan, membuat kepalanya pusing. Ini bukan lagi aroma pekerja kasar yang biasa ia hindari. Wajahnya yang tegas dengan rahang
Di lobby hotel, Irwan memesan kopi ketiga. Tangannya yang biasa mantap menandatangani kontrak miliaran kini gemetar mengaduk minuman yang belum ia sentuh. Matanya menatap kosong ke arah lift, membayangkan apa yang terjadi di lantai atas.Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma prosedur medis aja - masuk, lakukan, keluar. Kayak donor darah atau check-up rutin. Tapi kenapa sudah lewat setengah jam dan belum ada kabar dari Maya? Maya berdiri di depan pintu suite, tangannya gemetar saat memasukkan key card. Suara klik pelan mengonfirmasi pintu terbuka, dan ia melangkah masuk dengan lutut yang nyaris goyah. Pak Karyo sudah menunggu di dalam, berdiri canggung di dekat jendela. Maya nyaris tersedak melihat penampilannya - kemeja putih yang ia belikan dari butik langganannya malah membuat Pak Karyo tampak semakin tidak pantas berada di suite mewah ini. Kulitnya yang gelap tampak kontras dengan kemeja putih itu. Wajahnya yang kusam tak terawat, dengan kecanggungan khas orang kampung, mem
Maya menghabiskan waktu di laptopnya, membaca forum-forum kesuburan dan menghitung siklus seperti orang kesetanan. Irwan sibuk dengan pengacara kepercayaannya, menyusun perjanjian yang akan memastikan kerahasiaan rencana mereka. "Nih, draft terakhirnya," Irwan meletakkan map coklat di meja dapur suatu pagi. Maya sedang mengaduk kopinya dengan tatapan kosong, sementara Pak Karyo membereskan sisa sarapan dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Maya membuka map itu dengan jemari lentik yang biasa menandatangani kontrak-kontrak miliaran. Matanya yang terlatih menelusuri setiap klausa dengan teliti, berhenti pada pasal-pasal yang membuat alisnya terangkat. Kompensasi finansial yang ditawarkan - angka dengan deretan nol yang bahkan melebihi gaji lima tahun Pak Karyo. Tapi bukan itu yang bikin dia kaget. Larangan mutlak untuk mengungkapkan identitas kepada siapapun, termasuk keluarga dekat. Pelepasan hak total atas anak yang akan lahir. Denda yang bisa menghancurkan hidup jika ber
Malam itu, setelah Maya tertidur, Irwan duduk termenung di ruang kerjanya. Tawaran Pak Karyo terus berputar dalam benaknya seperti kaset rusak. Ia membuka ponselnya, menatap deretan chat yang tak terbalas.Dimas, teman kuliahnya yang dulu begitu dekat, kini hanya menampilkan "Last seen a long time ago". Sandra, istri Dimas, bahkan memblokir nomor Maya setelah mereka mengutarakan permintaan donor. Satu per satu, lingkaran sosial mereka menjauh. Matanya beralih ke foto pernikahan yang tergantung di dinding - Maya yang anggun dalam balutan gaun putih, tersenyum bahagia di sampingnya. Enam tahun yang lalu, ia bersumpah akan memberikan segalanya untuk wanita itu. Sekarang? Bahkan untuk meminta bantuan teman pun ia tidak bisa. Irwan membuka laci mejanya, mengeluarkan amplop coklat berisi hasil tes terakhirnya. Angka-angka yang tercetak di sana seolah mengejeknya - penurunan drastis yang membuat dokter menggeleng putus asa. Tangannya gemetar membaca ulang diagnosis itu untuk kesekian kalin