Share

Bab 6

Penulis: Waterverri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-05 16:37:47

Fajar baru saja menyingsing ketika Maya melangkah keluar dari kamar. Blazer krem yang dulu pas kini menggantung longgar di tubuhnya yang semakin kurus, membuatnya tampak seperti anak kecil yang mencoba mengenakan pakaian ibunya. Dia melewati ruang kerja Irwan tanpa mengetuk - kebiasaan baru yang menyakitkan setelah pertengkaran hebat semalam.

Dari jendela dapur, Pak Karyo mengamati bagaimana Maya berjalan ke mobilnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bergerak pagi ini - lebih berat, seolah setiap langkah membutuhkan energi ekstra. BMW putih itu meluncur meninggalkan pekarangan, membawa serta keanggunan terakhir yang tersisa dari rumah mewah itu.

Pak Karyo menyelesaikan ritual paginya dengan pikiran berkecamuk. Dia mencuci piring-piring kotor yang semalam tidak disentuh siapapun, mengepel lantai marmer yang berkilau - rutinitas yang biasanya dia lakukan dengan pikiran kosong. Tapi pagi ini berbeda. Setiap gerakannya dipenuhi pertimbangan, setiap helaan napasnya membawa keraguan.

Jam menunjukkan pukul sembilan ketika dia akhirnya memberanikan diri mendekati ruang kerja Irwan. Suara keyboard terdengar dari dalam - ketukan frustrasi yang tidak berirama, diselingi helaan napas berat dan sesekali umpatan tertahan.

Pak Karyo berdiri di depan pintu kayu jati itu, tangannya terangkat ragu-ragu. Selama empat tahun mengabdi di rumah ini, dia telah menyaksikan pasangan ini dari dekat. Melihat bagaimana cinta mereka perlahan terkikis oleh ketidakhadiran tangis bayi. Mendengar isak Maya di malam-malam sunyi. Mengamati Irwan yang semakin sering mengurung diri.

"Permisi, Pak," dia mengetuk pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru AC. "Maaf ganggu..."

Hening. Hanya suara keyboard yang semakin brutal. Pak Karyo mengetuk sekali lagi, lebih keras.

"Masuk." Suara Irwan terdengar asing - serak dan pahit, seperti kopi dingin yang tersisa di cangkir-cangkir kotor di mejanya.

Ruangan itu berantakan - sangat tidak seperti Irwan yang biasanya rapi dan teratur. Berkas-berkas berserakan di lantai, beberapa bahkan tampak seperti habis diremas. Tiga cangkir kopi kosong berjejer di meja, noda hitam mengering di dasarnya. Dan di tengah kekacauan itu, Irwan duduk dengan mata sembab, kemeja yang sama seperti semalam kini kusut dan berbau keringat.

"Maaf, Pak..." Pak Karyo memulai dengan hati-hati, matanya menatap lantai - kebiasaan yang udah terpatri selama puluhan tahun kerja jadi pembantu. "Saya nggak bermaksud lancang. Tapi saya liat masalah Bapak sama Ibu..."

Irwan mengangkat wajahnya perlahan dari laptop. Matanya merah dan berkanntung, rambutnya berantakan seperti habis dijambak berkali-kali. Dia menatap Pak Karyo dengan pandangan kosong, seolah baru menyadari keberadaan pria yang telah mengurus rumahnya selama empat tahun ini.

Pak Karyo menelan ludah. Apa yang akan dia katakan bisa membuatnya dipecat atau lebih buruk lagi. Tapi melihat kehancuran di hadapannya, melihat bagaimana rumah tangga yang dulunya harmonis ini perlahan hancur... dia harus mencoba.

"Saya..." dia berdeham pelan, tangannya yang kasar menggenggam ujung kemejanya yang lusuh. "Saya punya lima anak di kampung, Pak. Semuanya sehat. Kalau Bapak izinkan..." Dia nggak nyelesaiin kalimatnya, tapi tatapan Irwan yang mendadak berubah tajam nunjukin bahwa majikannya paham betul apa yang dia tawarkan.

Keheningan yang menyusul terasa mencekam. Deru AC yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti dengung ancaman. Irwan menatap Pak Karyo lekat-lekat, seolah baru pertama kali melihat pria itu - pria sederhana yang selama ini membersihkan rumahnya, memasak makanannya, mencuci mobilnya.

Pak Karyo memang rajin dan atletis untuk usianya yang 54 tahun. Tubuhnya yang kekar hasil bertahun-tahun bekerja fisik tampak jelas di balik seragam lusuhnya. Tapi penampilannya jauh dari kata menarik - kulitnya gelap dan kasar oleh matahari, wajahnya bertahun-tahun terpanggang cuaca Jakarta, dan pendidikannya hanyal sampai SMP.

"Keluar." Suara Irwan terdengar dingin, tangannya mencengkeram pinggiran meja hingga buku-buku jarinya memutih.

"Tapi Pak-"

"KELUAR!" Irwan menggebrak meja, membuat cangkir-cangkir kopi kosong bergetar. Laptop di hadapannya nyaris terjatuh.

Pak Karyo mundur selangkah, tapi tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ada keteguhan dalam caranya berdiri yang tidak pernah Irwan lihat sebelumnya. "Maaf, Pak. Tapi saya nggak bisa diam aja lihat rumah tangga Bapak hancur seperti ini."

"Kamu..." Irwan bangkit dari kursinya, tubuhnya gemetar menahan amarah. "Berani-beraninya kamu... nawarin... buat ngehamilin istriku?"

"Bukan gitu, Pak," Pak Karyo tetap tenang, meski keringat mulai mengalir di pelipisnya. "Saya cuma pengen bantu. Saya lihat Bu Maya makin kurus. Saya sering denger Bu Maya nangis tiap malem. Dan Bapak..." dia melirik ruangan yang berantakan itu, "Bapak juga tersiksa."

"Kamu nggak tau apa-apa!" Irwan menyambar cangkir kopi terdekat, melemparnya ke dinding. Suara pecahan porselen memenuhi ruangan. "Kamu cuma pembantu! Berani-beraninya...."

"Ya, saya emang cuma pembantu," Pak Karyo motong, suaranya tetep rendah dan hormat tapi ada ketegasan di dalamnya, "Tapi justru karena itu saya nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan. Nggak ada status sosial, nggak ada nama baik keluarga. Yang saya punya cuma..." dia diem sebentar, "...bukti kalo saya bisa kasih apa yang Bapak sama Bu Maya pengen."

Irwan terduduk kembali di kursinya, tenaganya seolah tersedot habis. Kata-kata ayahnya tentang Om Hendra bergema di telinganya - 'bukan lelaki sejati'. Dan kini, pembantu rumah tangganya sendiri menawarkan untuk membuktikan bahwa dia, Irwan, memang bukan lelaki sejati.

"Pergi," bisik Irwan, suaranya pecah. "Sebelum aku telepon satpam kompleks."

Pak Karyo mengangguk pelan, berbalik menuju pintu. Tapi sebelum menutup pintu, dia berhenti sejenak. "Pak," katanya tanpa noleh, "saya udah anggep Bapak sama Bu Maya kayak keluarga sendiri. Tawaran saya tetep berlaku... kalo Bapak berubah pikiran."

Pintu tertutup dengan suara pelan, meninggalkan Irwan sendirian dengan pikirannya yang kacau. Di luar, dia bisa mendengar suara Pak Karyo mulai menyapu halaman - kembali ke rutinitas hariannya seolah percakapan tadi tidak pernah terjadi.

Irwan menatap kosong ke arah laptop, layarnya menampilkan spreadsheet yang sudah tidak dia mengerti lagi. Kata-kata Pak Karyo terus berputar di kepalanya. Lima anak. Semuanya sehat. Dan Maya... Maya yang semakin kurus, semakin putus asa...

Tangannya gemetar mengambil foto pernikahan dari laci - Maya dalam gaun Vera Wang putih yang anggun, tersenyum dengan bibir merah sempurna hasil riasan penata rias terkenal.

Enam tahun lalu, di ballroom hotel bintang lima, mereka berdansa di tengah decak kagum para tamu. Maya berbisik manja tentang empat anak yang akan mereka miliki, tentang nama-nama yang sudah dia siapkan.

Sekarang, Maya bahkan tidak sanggup melewati bagian perlengkapan bayi di mall tanpa bergegas pergi, matanya berkaca-kaca. Kamar bayi yang dia desain dengan interior designer ternama kini hanya menjadi museum kesedihan - boneka-boneka mahal berdebu, box bayi import masih terbungkus rapi.

Suara gesekan sapu Pak Karyo di halaman memecah lamunannya. Irwan berjalan ke jendela, mengamati pembantunya yang sedang bekerja di bawah terik matahari.

Keringat membuat kaos lusuhnya menempel di tubuh - memperlihatkan otot-otot kasar yang terbentuk dari kerja keras, bukan dari gym mahal seperti miliknya. Kulit Pak Karyo yang hitam legam penuh kerutan tampak mengkilap oleh peluh, kontras tajam dengan kulit putih terawat para eksekutif di lingkungan sosial mereka.

"Permisi, Pak." Suara serak Pak Karyo bikin Irwan kaget. Dia berbalik, ngeliat pembantunya berdiri di ambang pintu dengan ember dan kain pel. "Mau bersihin ruangan..."

Irwan mengangguk kaku, mundur ke sudut ruangan. Dari dekat, perbedaan mereka semakin mencolok. Pak Karyo dengan kemeja lusuh, celana katun belel, dan sandal jepit murahan - berdiri di ruang kerja mewah dengan furniture import dan lukisan-lukisan mahal.

Tapi pria sederhana inilah yang memiliki apa yang tidak dia miliki. Lima anak - bukti nyata kejantanan yang tidak bisa dibeli dengan semua uang dan status sosialnya. Irwan menatap tangan Pak Karyo yang sedang mengepel - tangan yang kasar dan hitam karena tak terawat, urat-urat menonjol seperti akar pohon tua. Tangan yang sama yang mungkin akan....

Pikiran itu membuat perutnya bergolak. Maya yang anggun, yang biasa berdansa di pesta-pesta elit, yang kulitnya seputih porselen dan selembut sutra... harus menyerahkan diri pada pria seperti ini? Maya yang fasih berbahasa Inggris dan Mandarin, yang bisa membahas politik global dan pasar saham... berpasangan dengan pria yang bahkan tidak bisa membedakan fork dan spoon?

Suara mobil di halaman mengalihkan perhatiannya. Maya turun dengan langkah gontai, blazer krem Burberry-nya yang mahal kini tampak kedodoran di tubuhnya yang kurus. Dia berjalan melewati Pak Karyo yang membungkuk hormat - pemandangan yang sudah ribuan kali Irwan lihat. Tapi kali ini berbeda.

Mata Pak Karyo, yang biasanya selalu tertunduk hormat, kini mengikuti setiap langkah Maya dengan tatapan yang membuat Irwan merinding. Ada kelaparan di sana, hasrat primitif yang tidak tersembunyi. Seperti predator yang mengawasi mangsanya, menunggu saat yang tepat untuk....

Irwan menggeleng keras, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang mulai memenuhi kepalanya. Namun suara sapuan pel lantai dari Pak Karyo-gerakan mantap dan teratur-terus membawanya kembali pada kenyataan pahit: lelaki sederhana dengan tangan yang keras oleh kerja ini mungkin justru menjadi satu-satunya orang yang mampu memberikan apa yang Maya inginkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 197

    Karyo merasa bola kembarnya mulai menegang. Desahan kasar keluar dari mulutnya saat Ratih mengubah tekniknya, mengisap kuat lalu melonggarkan, menciptakan sensasi vakum yang hampir membuat Karyo gila.Dheweke ngerti persis kapan kudu ngisep banter, kapan kudu dolanan nggawe ilat. (Dia tahu persis kapan harus menghisap kuat, kapan harus bermain dengan lidah) Karyo menggeram, pinggulnya bergerak naik tanpa sadar, menyodok mulut Ratih dengan kasar. Kapan kudu nyerot karo ngemut. (Kapan harus menghisap dan mengulum.)Ratih mendesah dengan kontol Karyo masih di mulutnya, getaran suaranya mengirim sensasi nikmat ke seluruh tubuh Karyo. Matanya yang berair menatap wajah Karyo, tampak menikmati dominasi suaminya.Isohe nggawe aku crooot nang jero cangkeme mung limang menit. (Bisa membuatku keluar di dalam mulutnya hanya lima menit.) Karyo mencengkeram seprai di bawahnya dengan satu tangan, tangan lainnya m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 196

    Karyo memperlambat gerakannya, menikmati ekspresi wajah Ratih yang memerah. Meski Maya telah belajar banyak selama seminggu bersamanya, tetap ada batasan yang tidak bisa dilewati. Maya adalah majikannya, wanita terpelajar dengan sikap yang selalu terjaga.Aku mung duwe wektu seminggu kanggo nglatihe. (Aku hanya punya waktu seminggu untuk melatihnya) pikir Karyo, tangannya menelusuri sisi tubuh Ratih dari pinggul hingga ke samping payudaranya. Ratih menggeliat merasakan sentuhan itu, jari-jari kakinya menekuk karena sensasi yang dia rasakan.Ngajari cara nganggo lambe lan ilate kanggo nggawe wong lanang seneng. (Mengajari cara menggunakan bibir dan lidahnya untuk membuat laki-laki senang) lanjut pikiran Karyo. Dia menunduk, mencium bibir Ratih dengan lapar, lidahnya menerobos masuk, meniru gerakan tubuhnya di bawah.Ratih membalas ciumannya dengan sama laparnya, tangannya mencengkeram rambut Karyo. Setelah m

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 195

    Malam semakin larut ketika tubuh mereka masih bergulat dalam tarian purba yang tak kenal lelah. Satu jam sudah berlalu sejak mereka memulai, namun Karyo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Peluh membasahi tubuh keduanya, mengilap tertimpa cahaya temaram lampu kamar yang kekuningan. Derit ranjang kayu menjadi musik pengiring gerakan tubuh mereka yang semakin lama semakin cepat. Ratih mendesah keras ketika Karyo mengubah posisi untuk kesekian kalinya, mengangkat kakinya hingga bertumpu di bahu suaminya."Ahhhh... Mas... penak tenan..." (Ahhhh... Mas... enak sekali...) Ratih mengerang, kepalanya terlempar ke belakang, matanya terpejam erat merasakan penetrasi yang lebih dalam dari posisi baru ini. Tubuhnya yang telanjang berkilau oleh keringat, payudaranya yang besar bergoyang mengikuti irama hujaman Karyo. Karyo tersenyum puas melihat istrinya begitu menikmati permainan mereka, wajahnya yang biasanya tenang kini memerah dan dipenuhi ekspre

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 194

    Hujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 193

    Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.

  • Keperkasaan Tukang Kebon   Bab 192

    Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status