Beranda / Romansa / Kepincut Boss Ndeso / Bab 5. Katanya Kamu Cantik!

Share

Bab 5. Katanya Kamu Cantik!

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-10 12:54:39

Semalaman aku tidak bisa tidur.

Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. 

Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek,  semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi.

Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. 

Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai.

Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku.

Duh!

Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. 

Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas kakiku yang lain. Model untuk laki-laki dan ukuran yang besar kelihatan menonjol seperti mengatakan, "Hei!  Ini Jazil Ehsan. Yang akan enemanimu di sini."

Aku tersenyum dengan sendirinya,  rasa hangat menjalar di hati ini.

Sekarang, hidungku seakan masih mencium aromanya, bahkan telapak tanganku masih merasa, betapa kasar tangannya saat kami bersalaman. Juga masih lekat di ingatanku ketika aku berpegangan ketika berboncengan tadi.

Tak sadar, aku meremas tanganku sendiri. Mengingatnya kembali.

"Ada apa denganku? Kenapa aku seperti orang gila!" gumamku kesal, sambil menggelengkan kepala mengusir senyum laki-laki itu yang terlintas. 

Pikiranku berhenti, malah mulai berselancar dengan liar. Tak berhenti sekedar mengingat yang sudah terjadi. Namun membentuk bayangan dengan berbagai awalan kata: seandainya,  suatu saat, dan aku akan. Dia mulai meracuniku, bahkan dengan tanpa permisi memasuki mimpi yang sudah  memelukku dengan erat.

.

.

.

.

Huuuft ....

Gara-gara memikirkan sesuatu yang tidak jelas, sekarang aku kesiangan. 

Mataku bisa kupejamkan setelah salat Subuh yang hanya kebagian di waktu akhir. Akibatnya, sekarang hanya ada waktu satu jam untuk bersiap ke kantor. Persiapan kilat tanpa ada waktu untuk makan pagi, walaupun sekedar minum sereal.

Hari Jum'at, jam kerja setengah hari. Aku bisa melanjutkan tidurku sepulang kerja nanti.

Baju atasan bluse berwarna putih dan bawahan rok lebar di bawah lutut polkadot hitam dengan dasar warna putih. Aku ikat rambutku dengan polesan make up tipis. 

Sip! 

Persiapan kilat sudah selesai. Sekarang aku berangkat kerja.

Duh! Aku lupa, motor masih berada di kantor. Hari kemarin, Jazil langsung mengantarku pulang.  Lebih baik, aku coba tanya Ibu Kost yang bisanya menyewakan motor harian.

"Mbak Laras!"

Aku kaget mendengar suara yang menghantuiku dari semalam. Apa aku sedang bermimpi?

Dengan ragu, aku menoleh ke arah suara itu. Dia sudah di sini. Penampilannya lebih rapi dibandingkan kemarin. Menggunakan hem lengan pendek dan celana panjang kain berpotongan lebar. Lumayan.

"Pak Jazil! Kenapa ada di sini?" 

Dia sudah duduk manis di kursi yang ada di teras depan kamarku. Seperti hantu saja, tadi malam mengganggu pikiran, sekarang mengusik mata. Sejak kapan dia duduk di sini?

"Saya menjemputmu untuk menyelesaikan yang kita bicarakan kemarin." 

"Tapi, saya harus ke kantor untuk laporan. Untuk kunjungan berikutnya belum di jadwalkan. Bukankan kemarin sudah saya jelaskan?" ucapku sembari mengunci pintu kamar. 

"Saya sudah hubungi Pak Lartomo. Saya ke sini pun, setelah dia menyetuinya. Coba cek handphone, katanya dia sudah kasih info Mbak Laras."

Aduh iya. Pagi ini tidak sempat mengecek ponsel, karena waktunya mepet. Gara-gara hantu di depanku ini.

[Laras, langsung ke Jazil saja. Tidak usah ke kantor, hari ini hari pendek. Keburu waktunya habis]

"Jadi, saya harus ke sana sekarang?" 

"Iya!" jawabnya. Dia tersenyum lebar setelah aku mengangguk. Beginilah, nasib karyawan magang. Harus menurut apa kata senior. 

"E ... Saya ganti baju dulu," ucapku dengan menunjuk rok yang kupakai. Tidak lucu kalau naik motor trail menggunakan rok seperti ini.

"Tidak usah. Saya bawa mobil, kok. Kasihan kemarin naik motor, kamu kelihatan tersiksa."

Syukurlah, orang ini mengerti jeritan hatiku kemarin. Naik motor bersamanya harus mempunyai nyawa ganda.

"Bisa naik, kan?" tanyanya setelah membukakan pintu untukku. 

Aku menghela napas. Memang menggunakan mobil, tapi kenapa mobil seperti ini? Mobil jeep dengan roda besar, membuat aku diam sejenak sebelum masuk. Aku harus berusaha lebih, hanya sekadar untuk masuk mobil, apalagi dengan menggunakan rok seperti ini.

"Bisa?"

Huuft, orang satu ini apakah tidak bisa seperti orang kebanyakan saja, ya. 

Kemarin sepeda motor dengan bentuk seperti itu. Walaupun harganya selangit, tapi mengerikan. Tadi malam, aku iseng mencari informasi di internet.  Motor trail bergaya retro itu bernama Ducati Scramber, tipe Desert Sles yang diciptakan secara khusus agar memiliki kemampuan offroad lebih baik.

Harganya sekitar tiga ratus jutaan.

Gila! Itu seharga mobil.

Sekarang di depanku, mobil jeep yang kelihatan lumayan harganya, tetapi untuk masuk susah karena terlalu tinggi.

"Katanya tidak bisa pakai AC?" tanyaku saat aku merasa dingin di dalam mobil.

"Buat Mbak Laras, tidak apa-apa. Saya pakai jaket," jawabnya mengambil jaket dari bangku belakang. 

Aku tersenyum melihatnya. Jaket yang dikenakan begitu tebal, ada penutup kepala dengan bulu-bulu mencuat. Naik mobil ber AC saja, seperti naik gunung di Kutub seperti orang Eskimo.

"Dasar, Ndesitmen," gumanku dengan berpaling ke jendela menahan tawa.

Bagaimana kalau tidur, aku suka dengan dingin sedangkan dia tidak kuat dingin? Bisa bertengkar terus berebut remot AC.

'Ops! Maksudnya apa?'

*

Kami sudah tiba di tempatnya.  Memulai kerja dengan membenahi alur yang seharusnya. Pertama dari pengeluaran, yang ternyata lumayan besar. Tumpukan nota ada di depanku. Aku pun bingung, harus memulai dari mana. 

"Pak Jazil, saya coba susun dari tiga bulan terakhir, ya." 

"Terserah, saya tidak mengerti. Atur sajalah. Tapi, istirahat dulu saja. Kita makan kue dulu," ucapnya. 

Dia berdiri menyambut seseorang yang datang membawa nampan berisi minuman dan makanan. Wanita itu tersenyum kepadaku dan aku membalas dengan anggukan hormat.

"Kenalkan, ini Kakakku. Kak Nur, namanya," ucap Jazil mengenalkan kami. 

"Paserah asmanah?" 

Aku menatap Jazil, tidak tahu yang dimaksud Kakaknya.

"Kak Nur bertanya, namanya siapa?" jelasnya.

"Nama saya, Laras," jawabku menerima uluran tangannya.

Dia mengangguk tersenyum.

"Raddhin, Cong," ucapnya yang aku tangkap sebelum dia meninggalkan kami.

"Apa yang dibilang Kak Nur?" tanyaku penasaran. Kawatir diomongin seperti kemarin.

"Kak Nur bilang," ucapnya berhenti, kemudian menatapku lekat, "kamu cantik."

Spontan pipiku menghangat. Serasa dia sendiri yang mengucapkan, walaupun itu sekedar ulangan.

'Semoga helmku masih cukup, karena kepalaku sekarang membesar'

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 59. Anak Bumi

    "Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 58. Jalan di Pantai

    Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 57. Pengurai Kesal

    “Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 56. Kangen Adek

    "Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 55. Tetep Tidak Dipercaya

    Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 54. Salah Alamat

    Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 53. Tamu Ibu Kota

    Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 52. Aku Ingin Selamanya

    "Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 51. Kunjungan yang Tak Diharapkan

    Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status