Share

Bab 5. Katanya Kamu Cantik!

Semalaman aku tidak bisa tidur.

Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. 

Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek,  semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi.

Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. 

Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai.

Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku.

Duh!

Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. 

Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas kakiku yang lain. Model untuk laki-laki dan ukuran yang besar kelihatan menonjol seperti mengatakan, "Hei!  Ini Jazil Ehsan. Yang akan enemanimu di sini."

Aku tersenyum dengan sendirinya,  rasa hangat menjalar di hati ini.

Sekarang, hidungku seakan masih mencium aromanya, bahkan telapak tanganku masih merasa, betapa kasar tangannya saat kami bersalaman. Juga masih lekat di ingatanku ketika aku berpegangan ketika berboncengan tadi.

Tak sadar, aku meremas tanganku sendiri. Mengingatnya kembali.

"Ada apa denganku? Kenapa aku seperti orang gila!" gumamku kesal, sambil menggelengkan kepala mengusir senyum laki-laki itu yang terlintas. 

Pikiranku berhenti, malah mulai berselancar dengan liar. Tak berhenti sekedar mengingat yang sudah terjadi. Namun membentuk bayangan dengan berbagai awalan kata: seandainya,  suatu saat, dan aku akan. Dia mulai meracuniku, bahkan dengan tanpa permisi memasuki mimpi yang sudah  memelukku dengan erat.

.

.

.

.

Huuuft ....

Gara-gara memikirkan sesuatu yang tidak jelas, sekarang aku kesiangan. 

Mataku bisa kupejamkan setelah salat Subuh yang hanya kebagian di waktu akhir. Akibatnya, sekarang hanya ada waktu satu jam untuk bersiap ke kantor. Persiapan kilat tanpa ada waktu untuk makan pagi, walaupun sekedar minum sereal.

Hari Jum'at, jam kerja setengah hari. Aku bisa melanjutkan tidurku sepulang kerja nanti.

Baju atasan bluse berwarna putih dan bawahan rok lebar di bawah lutut polkadot hitam dengan dasar warna putih. Aku ikat rambutku dengan polesan make up tipis. 

Sip! 

Persiapan kilat sudah selesai. Sekarang aku berangkat kerja.

Duh! Aku lupa, motor masih berada di kantor. Hari kemarin, Jazil langsung mengantarku pulang.  Lebih baik, aku coba tanya Ibu Kost yang bisanya menyewakan motor harian.

"Mbak Laras!"

Aku kaget mendengar suara yang menghantuiku dari semalam. Apa aku sedang bermimpi?

Dengan ragu, aku menoleh ke arah suara itu. Dia sudah di sini. Penampilannya lebih rapi dibandingkan kemarin. Menggunakan hem lengan pendek dan celana panjang kain berpotongan lebar. Lumayan.

"Pak Jazil! Kenapa ada di sini?" 

Dia sudah duduk manis di kursi yang ada di teras depan kamarku. Seperti hantu saja, tadi malam mengganggu pikiran, sekarang mengusik mata. Sejak kapan dia duduk di sini?

"Saya menjemputmu untuk menyelesaikan yang kita bicarakan kemarin." 

"Tapi, saya harus ke kantor untuk laporan. Untuk kunjungan berikutnya belum di jadwalkan. Bukankan kemarin sudah saya jelaskan?" ucapku sembari mengunci pintu kamar. 

"Saya sudah hubungi Pak Lartomo. Saya ke sini pun, setelah dia menyetuinya. Coba cek handphone, katanya dia sudah kasih info Mbak Laras."

Aduh iya. Pagi ini tidak sempat mengecek ponsel, karena waktunya mepet. Gara-gara hantu di depanku ini.

[Laras, langsung ke Jazil saja. Tidak usah ke kantor, hari ini hari pendek. Keburu waktunya habis]

"Jadi, saya harus ke sana sekarang?" 

"Iya!" jawabnya. Dia tersenyum lebar setelah aku mengangguk. Beginilah, nasib karyawan magang. Harus menurut apa kata senior. 

"E ... Saya ganti baju dulu," ucapku dengan menunjuk rok yang kupakai. Tidak lucu kalau naik motor trail menggunakan rok seperti ini.

"Tidak usah. Saya bawa mobil, kok. Kasihan kemarin naik motor, kamu kelihatan tersiksa."

Syukurlah, orang ini mengerti jeritan hatiku kemarin. Naik motor bersamanya harus mempunyai nyawa ganda.

"Bisa naik, kan?" tanyanya setelah membukakan pintu untukku. 

Aku menghela napas. Memang menggunakan mobil, tapi kenapa mobil seperti ini? Mobil jeep dengan roda besar, membuat aku diam sejenak sebelum masuk. Aku harus berusaha lebih, hanya sekadar untuk masuk mobil, apalagi dengan menggunakan rok seperti ini.

"Bisa?"

Huuft, orang satu ini apakah tidak bisa seperti orang kebanyakan saja, ya. 

Kemarin sepeda motor dengan bentuk seperti itu. Walaupun harganya selangit, tapi mengerikan. Tadi malam, aku iseng mencari informasi di internet.  Motor trail bergaya retro itu bernama Ducati Scramber, tipe Desert Sles yang diciptakan secara khusus agar memiliki kemampuan offroad lebih baik.

Harganya sekitar tiga ratus jutaan.

Gila! Itu seharga mobil.

Sekarang di depanku, mobil jeep yang kelihatan lumayan harganya, tetapi untuk masuk susah karena terlalu tinggi.

"Katanya tidak bisa pakai AC?" tanyaku saat aku merasa dingin di dalam mobil.

"Buat Mbak Laras, tidak apa-apa. Saya pakai jaket," jawabnya mengambil jaket dari bangku belakang. 

Aku tersenyum melihatnya. Jaket yang dikenakan begitu tebal, ada penutup kepala dengan bulu-bulu mencuat. Naik mobil ber AC saja, seperti naik gunung di Kutub seperti orang Eskimo.

"Dasar, Ndesitmen," gumanku dengan berpaling ke jendela menahan tawa.

Bagaimana kalau tidur, aku suka dengan dingin sedangkan dia tidak kuat dingin? Bisa bertengkar terus berebut remot AC.

'Ops! Maksudnya apa?'

*

Kami sudah tiba di tempatnya.  Memulai kerja dengan membenahi alur yang seharusnya. Pertama dari pengeluaran, yang ternyata lumayan besar. Tumpukan nota ada di depanku. Aku pun bingung, harus memulai dari mana. 

"Pak Jazil, saya coba susun dari tiga bulan terakhir, ya." 

"Terserah, saya tidak mengerti. Atur sajalah. Tapi, istirahat dulu saja. Kita makan kue dulu," ucapnya. 

Dia berdiri menyambut seseorang yang datang membawa nampan berisi minuman dan makanan. Wanita itu tersenyum kepadaku dan aku membalas dengan anggukan hormat.

"Kenalkan, ini Kakakku. Kak Nur, namanya," ucap Jazil mengenalkan kami. 

"Paserah asmanah?" 

Aku menatap Jazil, tidak tahu yang dimaksud Kakaknya.

"Kak Nur bertanya, namanya siapa?" jelasnya.

"Nama saya, Laras," jawabku menerima uluran tangannya.

Dia mengangguk tersenyum.

"Raddhin, Cong," ucapnya yang aku tangkap sebelum dia meninggalkan kami.

"Apa yang dibilang Kak Nur?" tanyaku penasaran. Kawatir diomongin seperti kemarin.

"Kak Nur bilang," ucapnya berhenti, kemudian menatapku lekat, "kamu cantik."

Spontan pipiku menghangat. Serasa dia sendiri yang mengucapkan, walaupun itu sekedar ulangan.

'Semoga helmku masih cukup, karena kepalaku sekarang membesar'

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status