Semalaman aku tidak bisa tidur.
Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata.
Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi.
Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali.
Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai.
Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku.
Duh!
Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga.
Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas kakiku yang lain. Model untuk laki-laki dan ukuran yang besar kelihatan menonjol seperti mengatakan, "Hei! Ini Jazil Ehsan. Yang akan enemanimu di sini."
Aku tersenyum dengan sendirinya, rasa hangat menjalar di hati ini.
Sekarang, hidungku seakan masih mencium aromanya, bahkan telapak tanganku masih merasa, betapa kasar tangannya saat kami bersalaman. Juga masih lekat di ingatanku ketika aku berpegangan ketika berboncengan tadi.
Tak sadar, aku meremas tanganku sendiri. Mengingatnya kembali.
"Ada apa denganku? Kenapa aku seperti orang gila!" gumamku kesal, sambil menggelengkan kepala mengusir senyum laki-laki itu yang terlintas.
Pikiranku berhenti, malah mulai berselancar dengan liar. Tak berhenti sekedar mengingat yang sudah terjadi. Namun membentuk bayangan dengan berbagai awalan kata: seandainya, suatu saat, dan aku akan. Dia mulai meracuniku, bahkan dengan tanpa permisi memasuki mimpi yang sudah memelukku dengan erat.
.
.
.
.
Huuuft ....
Gara-gara memikirkan sesuatu yang tidak jelas, sekarang aku kesiangan.
Mataku bisa kupejamkan setelah salat Subuh yang hanya kebagian di waktu akhir. Akibatnya, sekarang hanya ada waktu satu jam untuk bersiap ke kantor. Persiapan kilat tanpa ada waktu untuk makan pagi, walaupun sekedar minum sereal.
Hari Jum'at, jam kerja setengah hari. Aku bisa melanjutkan tidurku sepulang kerja nanti.
Baju atasan bluse berwarna putih dan bawahan rok lebar di bawah lutut polkadot hitam dengan dasar warna putih. Aku ikat rambutku dengan polesan make up tipis.
Sip!
Persiapan kilat sudah selesai. Sekarang aku berangkat kerja.
Duh! Aku lupa, motor masih berada di kantor. Hari kemarin, Jazil langsung mengantarku pulang. Lebih baik, aku coba tanya Ibu Kost yang bisanya menyewakan motor harian.
"Mbak Laras!"
Aku kaget mendengar suara yang menghantuiku dari semalam. Apa aku sedang bermimpi?
Dengan ragu, aku menoleh ke arah suara itu. Dia sudah di sini. Penampilannya lebih rapi dibandingkan kemarin. Menggunakan hem lengan pendek dan celana panjang kain berpotongan lebar. Lumayan.
"Pak Jazil! Kenapa ada di sini?"
Dia sudah duduk manis di kursi yang ada di teras depan kamarku. Seperti hantu saja, tadi malam mengganggu pikiran, sekarang mengusik mata. Sejak kapan dia duduk di sini?
"Saya menjemputmu untuk menyelesaikan yang kita bicarakan kemarin."
"Tapi, saya harus ke kantor untuk laporan. Untuk kunjungan berikutnya belum di jadwalkan. Bukankan kemarin sudah saya jelaskan?" ucapku sembari mengunci pintu kamar.
"Saya sudah hubungi Pak Lartomo. Saya ke sini pun, setelah dia menyetuinya. Coba cek handphone, katanya dia sudah kasih info Mbak Laras."
Aduh iya. Pagi ini tidak sempat mengecek ponsel, karena waktunya mepet. Gara-gara hantu di depanku ini.
[Laras, langsung ke Jazil saja. Tidak usah ke kantor, hari ini hari pendek. Keburu waktunya habis]
"Jadi, saya harus ke sana sekarang?"
"Iya!" jawabnya. Dia tersenyum lebar setelah aku mengangguk. Beginilah, nasib karyawan magang. Harus menurut apa kata senior.
"E ... Saya ganti baju dulu," ucapku dengan menunjuk rok yang kupakai. Tidak lucu kalau naik motor trail menggunakan rok seperti ini.
"Tidak usah. Saya bawa mobil, kok. Kasihan kemarin naik motor, kamu kelihatan tersiksa."
Syukurlah, orang ini mengerti jeritan hatiku kemarin. Naik motor bersamanya harus mempunyai nyawa ganda.
"Bisa naik, kan?" tanyanya setelah membukakan pintu untukku.
Aku menghela napas. Memang menggunakan mobil, tapi kenapa mobil seperti ini? Mobil jeep dengan roda besar, membuat aku diam sejenak sebelum masuk. Aku harus berusaha lebih, hanya sekadar untuk masuk mobil, apalagi dengan menggunakan rok seperti ini.
"Bisa?"
Huuft, orang satu ini apakah tidak bisa seperti orang kebanyakan saja, ya.
Kemarin sepeda motor dengan bentuk seperti itu. Walaupun harganya selangit, tapi mengerikan. Tadi malam, aku iseng mencari informasi di internet. Motor trail bergaya retro itu bernama Ducati Scramber, tipe Desert Sles yang diciptakan secara khusus agar memiliki kemampuan offroad lebih baik.
Harganya sekitar tiga ratus jutaan.
Gila! Itu seharga mobil.
Sekarang di depanku, mobil jeep yang kelihatan lumayan harganya, tetapi untuk masuk susah karena terlalu tinggi.
"Katanya tidak bisa pakai AC?" tanyaku saat aku merasa dingin di dalam mobil.
"Buat Mbak Laras, tidak apa-apa. Saya pakai jaket," jawabnya mengambil jaket dari bangku belakang.
Aku tersenyum melihatnya. Jaket yang dikenakan begitu tebal, ada penutup kepala dengan bulu-bulu mencuat. Naik mobil ber AC saja, seperti naik gunung di Kutub seperti orang Eskimo.
"Dasar, Ndesitmen," gumanku dengan berpaling ke jendela menahan tawa.
Bagaimana kalau tidur, aku suka dengan dingin sedangkan dia tidak kuat dingin? Bisa bertengkar terus berebut remot AC.
'Ops! Maksudnya apa?'
*
Kami sudah tiba di tempatnya. Memulai kerja dengan membenahi alur yang seharusnya. Pertama dari pengeluaran, yang ternyata lumayan besar. Tumpukan nota ada di depanku. Aku pun bingung, harus memulai dari mana.
"Pak Jazil, saya coba susun dari tiga bulan terakhir, ya."
"Terserah, saya tidak mengerti. Atur sajalah. Tapi, istirahat dulu saja. Kita makan kue dulu," ucapnya.
Dia berdiri menyambut seseorang yang datang membawa nampan berisi minuman dan makanan. Wanita itu tersenyum kepadaku dan aku membalas dengan anggukan hormat.
"Kenalkan, ini Kakakku. Kak Nur, namanya," ucap Jazil mengenalkan kami.
"Paserah asmanah?"
Aku menatap Jazil, tidak tahu yang dimaksud Kakaknya.
"Kak Nur bertanya, namanya siapa?" jelasnya.
"Nama saya, Laras," jawabku menerima uluran tangannya.
Dia mengangguk tersenyum.
"Raddhin, Cong," ucapnya yang aku tangkap sebelum dia meninggalkan kami.
"Apa yang dibilang Kak Nur?" tanyaku penasaran. Kawatir diomongin seperti kemarin.
"Kak Nur bilang," ucapnya berhenti, kemudian menatapku lekat, "kamu cantik."
Spontan pipiku menghangat. Serasa dia sendiri yang mengucapkan, walaupun itu sekedar ulangan.
'Semoga helmku masih cukup, karena kepalaku sekarang membesar'
****
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid. Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku. Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali. Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin. "Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku." Sempat kaget mendengar yang dia katakan. "Maksudnya?" "Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit a
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati. Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift. Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun. Dimanapun, uang bisa merubah aturan. Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja. Bahan pembicaraan sekarang tentang kar
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a
"Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur, gitu?" Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang terlihat aneh ini."Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda."Di sinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang." Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah menjadi kelu."Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka me