Home / Romansa / Kepincut Boss Ndeso / Bab 4. Ngeselin Tapi Perhatian

Share

Bab 4. Ngeselin Tapi Perhatian

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-09-10 12:53:24

Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut. 

Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut.

"Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.

Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya  biru-biru! nanti" 

"Hah? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.

Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!"

Dia terkekeh lagi.

"Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia.

Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini.

"It's OK! Aku tidak ngebut, tapi tetap pegangan, ya!" teriaknya sebelum melajukan motor.

Dasar modus! 

Walaupun kesal, kenapa aku seperti menikmatinya bahkan merasa nyaman bersamanya? Rasa canggung mulai menghilang, atau mungkin, ini karena aku belum mempunyai teman di kota ini? 

Dia memang terkesan ndesit, namun saat berbincang tadi, dia berbeda. Kelihatan sekali, bahwa dia seorang yang mempunyai pemikiran global. 

Aku tertarik dengan pemikiran yang tidak biasa.

****

Kami sudah tiba di tempatnya. Memasuki gerbang, ada seseorang yang tergopoh menghampiri kami. Mengambil alih sepeda motor trail yang mengerikan itu, untuk dibawa masuk.

"Itu, tempat kerja sampai ke belakang!" jelasnya menunjuk bangunan besar panjang ke belakang. Suara mesin pemotong kayu dan beberapa suara alat kayu seakan berlomba. Menunjukkan seberapa besar volume produksi. 

Dari sela-sela tanaman di pintu bangunan itu, menyembul beberapa kepala dan suara berisik. Begitu juga dari sisi lainnya.

"Kita ke kantor saja, jangan ke sana," ucapnya seraya memalingkan tubuhku dan menarik ke bangunan depan. Menutup tubuhku dengan badan besarnya dari pandangan mereka.

"Ada apa?" 

"Kamu mengganggu anak-anak."

"Anak kamu?" tanyaku menarik tubuh menjauh darinya. Dia malah tersenyum dan menarik tanganku kembali menaiki tangga di bangunan yang lebih tinggi ini.

"Aku menyebut karyawan, anak-anak. Bukankan tadi sudah aku bilang, aku ini masih lajang. Mereka penasaran saat tahu aku membawa wanita pulang," terangnya. 

"Kenapa?"

"Karena mereka pikir aku membawa calon bine'."

"Apa itu binik?"

"Sudahlah, kita ke kantor saja. Kamu duduk dulu. Bukankan kakimu sakit karena naik tangga? Tadi saya melihatmu berkali-kali memijit betis," ucapnya menghindar pertanyaanku. Dia menyodorkan sandal selop berukuran besar.

"Jangan menyiksa diri menggunakan sepatu seperti itu. Ini pakai sandalku dulu. Bawa saja pulang, aku punya banyak." 

Aku menatapnya, dia yang aneh ternyata juga perhatian. Senyuman di wajahku tercetak dengan sendirinya. Aku merasa tersanjung.

"Ini kantornya? Dimana karyawan admin dan akunting?" tanyaku mengedarkan pandangan. Bangunan dari kayu, mirip joglo tanpa dinding. Hanya satu dinding di bagian belakang saja. Berhias ukiran dengan warna mencolok, ini bedanya dengan joglo di solo, tempatku berasal.

Ada meja di sudut ruangan dengan komputer dan printer di sana. Kelihatan jarang tersentuh, debu tebal di atasnya yang menandakan hal ini. Di tengah ruangan, satu set meja kursi kayu dengan warna senada. 

"Di kantor tidak ada karyawan. Ini hanya tempatku menerima tamu dan pembeli," jawabnya di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, heran. Bagaimana mungkin, usaha sebesar ini tanpa ada karyawan admin. Pantas saja, komputer sampai berdebu.

"Manejemennya bagaimana? Catatan atau arsip?" tanyaku sambil berkeliling. 

Melihat beberapa folder file yang berantakan. Bahkan ada beberapa paku tusukan untuk nota sementara, penuh dengan tumpukan kertas. 

Aku menatap ke arahnya lagi. Meminta jawaban dari pertanyaanku tadi.

"Ya seperti ini saja. Tidak ada catetan atau manajemen. Aku menjalankan apa adanya. Saya juga heran, kenapa orang sibuk dengan catetan. Akhirnya mereka bangkrut, tanpa sempat berbuat apa. Lebih baik saya, jalan terus dan mendapatkan hasil."

Aku mengernyitkan dahi. Mungkin karena inilah, Mr Andrew memaksanya untuk mendatangi konsultan bisnis. 

Namun, bagaimana bisa dia sampai tahap sekarang ini tanpa manajemen? Terus, kalau dia tidak butuh manajemen karena sudah merasa cukup, kenapa datang ke tempat kami. Atau hanya memenuhi permintaan Mr, Andrew tanpa dia merasa membutuhkan jasa kami.

Sepertinya, aku salah mendapat client. 

Sekarang tambah lagi label buat dia. Ndesitman si bos aneh.

Ngeselin tapi perhatian.

Eh!

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 59. Anak Bumi

    "Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 58. Jalan di Pantai

    Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 57. Pengurai Kesal

    “Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 56. Kangen Adek

    "Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 55. Tetep Tidak Dipercaya

    Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 54. Salah Alamat

    Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status