Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut.
Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut.
"Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.
Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya biru-biru! nanti""Hah? Kenapa?" tanyaku bingung.
"Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.
Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!"
Dia terkekeh lagi.
"Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia.
Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini.
"It's OK! Aku tidak ngebut, tapi tetap pegangan, ya!" teriaknya sebelum melajukan motor.
Dasar modus!
Walaupun kesal, kenapa aku seperti menikmatinya bahkan merasa nyaman bersamanya? Rasa canggung mulai menghilang, atau mungkin, ini karena aku belum mempunyai teman di kota ini?
Dia memang terkesan ndesit, namun saat berbincang tadi, dia berbeda. Kelihatan sekali, bahwa dia seorang yang mempunyai pemikiran global.
Aku tertarik dengan pemikiran yang tidak biasa.
****
Kami sudah tiba di tempatnya. Memasuki gerbang, ada seseorang yang tergopoh menghampiri kami. Mengambil alih sepeda motor trail yang mengerikan itu, untuk dibawa masuk.
"Itu, tempat kerja sampai ke belakang!" jelasnya menunjuk bangunan besar panjang ke belakang. Suara mesin pemotong kayu dan beberapa suara alat kayu seakan berlomba. Menunjukkan seberapa besar volume produksi.
Dari sela-sela tanaman di pintu bangunan itu, menyembul beberapa kepala dan suara berisik. Begitu juga dari sisi lainnya.
"Kita ke kantor saja, jangan ke sana," ucapnya seraya memalingkan tubuhku dan menarik ke bangunan depan. Menutup tubuhku dengan badan besarnya dari pandangan mereka.
"Ada apa?"
"Kamu mengganggu anak-anak."
"Anak kamu?" tanyaku menarik tubuh menjauh darinya. Dia malah tersenyum dan menarik tanganku kembali menaiki tangga di bangunan yang lebih tinggi ini.
"Aku menyebut karyawan, anak-anak. Bukankan tadi sudah aku bilang, aku ini masih lajang. Mereka penasaran saat tahu aku membawa wanita pulang," terangnya.
"Kenapa?"
"Karena mereka pikir aku membawa calon bine'."
"Apa itu binik?"
"Sudahlah, kita ke kantor saja. Kamu duduk dulu. Bukankan kakimu sakit karena naik tangga? Tadi saya melihatmu berkali-kali memijit betis," ucapnya menghindar pertanyaanku. Dia menyodorkan sandal selop berukuran besar.
"Jangan menyiksa diri menggunakan sepatu seperti itu. Ini pakai sandalku dulu. Bawa saja pulang, aku punya banyak."
Aku menatapnya, dia yang aneh ternyata juga perhatian. Senyuman di wajahku tercetak dengan sendirinya. Aku merasa tersanjung.
"Ini kantornya? Dimana karyawan admin dan akunting?" tanyaku mengedarkan pandangan. Bangunan dari kayu, mirip joglo tanpa dinding. Hanya satu dinding di bagian belakang saja. Berhias ukiran dengan warna mencolok, ini bedanya dengan joglo di solo, tempatku berasal.
Ada meja di sudut ruangan dengan komputer dan printer di sana. Kelihatan jarang tersentuh, debu tebal di atasnya yang menandakan hal ini. Di tengah ruangan, satu set meja kursi kayu dengan warna senada.
"Di kantor tidak ada karyawan. Ini hanya tempatku menerima tamu dan pembeli," jawabnya di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, heran. Bagaimana mungkin, usaha sebesar ini tanpa ada karyawan admin. Pantas saja, komputer sampai berdebu.
"Manejemennya bagaimana? Catatan atau arsip?" tanyaku sambil berkeliling.
Melihat beberapa folder file yang berantakan. Bahkan ada beberapa paku tusukan untuk nota sementara, penuh dengan tumpukan kertas.
Aku menatap ke arahnya lagi. Meminta jawaban dari pertanyaanku tadi.
"Ya seperti ini saja. Tidak ada catetan atau manajemen. Aku menjalankan apa adanya. Saya juga heran, kenapa orang sibuk dengan catetan. Akhirnya mereka bangkrut, tanpa sempat berbuat apa. Lebih baik saya, jalan terus dan mendapatkan hasil."
Aku mengernyitkan dahi. Mungkin karena inilah, Mr Andrew memaksanya untuk mendatangi konsultan bisnis.
Namun, bagaimana bisa dia sampai tahap sekarang ini tanpa manajemen? Terus, kalau dia tidak butuh manajemen karena sudah merasa cukup, kenapa datang ke tempat kami. Atau hanya memenuhi permintaan Mr, Andrew tanpa dia merasa membutuhkan jasa kami.
Sepertinya, aku salah mendapat client.
Sekarang tambah lagi label buat dia. Ndesitman si bos aneh.
Ngeselin tapi perhatian.
Eh!
*****
Semalaman aku tidak bisa tidur. Apalagi kalau bukan karena Jazil Ehsan. Dia seperti hantu yang muncul saat aku mencoba memejamkan mata. Banyak hal yang menggelitik hatiku. Dia seperti sosok dari habitat yang berbeda denganku. Aku berasal dari keluarga pengajar. Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan Nenek, Kakek, semuanya pengajar. Kami terbiasa hidup teratur, berpegangan dengan teori dan menekankan untuk berpendidikan tinggi. Sedangkan Jaz, dia berbeda sama sekali. Dia lebih suka jalan terlebih dahulu daripada disibukkan dengan rencana yang bepedoman dengan teori yang rumit. Bahkan, menurutnya sekolah tidak penting, yang hanya membuang waktu saja. Wah, kalau bilang seperti itu di keluargaku, bisa jadi dijewer ramai-ramai. Lo, kok pikiranku terlalu jauh. Membayangkan dia ada di tengah-tengah keluargaku. Duh! Dia itu unik, lucu, aneh, ngeselin dan pastinya, sekarang membuat mataku terjaga. Perhatian juga. Aku melirik sandal besar yang kuletakkan di rak sepatu. Berjajar bersama alas k
Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid. Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku. Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali. Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin. "Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku." Sempat kaget mendengar yang dia katakan. "Maksudnya?" "Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit a
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati. Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift. Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun. Dimanapun, uang bisa merubah aturan. Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja. Bahan pembicaraan sekarang tentang kar
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a