Share

Bab 4. Ngeselin Tapi Perhatian

Perut kenyang, pusing pun hilang. Entah pusingku karena lapar, atau karena ngebut naik motor. Aku tidak paham. Yang jelas, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan catatan tidak boleh mengebut. 

Tapi, saat diboncengnya, aku teringat percakapan memalukan dengannya saat meminta untuk tidak mengebut.

"Pak Jaz, tolong jangan ngebut lagi, ya. Saya tidak terbiasa," kataku berharap dia mengerti saat kami bersiap di atas motor.

Dia lalu tertawa menatapku. "Tenang saja, saya tidak akan mengebut. Saya takut perut saya  biru-biru! nanti" 

"Hah? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Kamu meremas perutku berkali-kali. Kalau tidak percaya, kau periksa dah!" ucapnya sembari akan menyingkap bajunya.

Cukup lama bagiku sebelum memproses semuanya. Untuk mencegah niatnya, aku pun segera berteriak, "Stop, Jaz!"

Dia terkekeh lagi.

"Maaf. Pak Jazil," ucapku setelah sadar bahwa aku hanya memanggilnya nama saja. Bahkan, sampai memegang tangan dia.

Pipiku menghangat, malu sekaligus ada desiran aneh di hati ini.

"It's OK! Aku tidak ngebut, tapi tetap pegangan, ya!" teriaknya sebelum melajukan motor.

Dasar modus! 

Walaupun kesal, kenapa aku seperti menikmatinya bahkan merasa nyaman bersamanya? Rasa canggung mulai menghilang, atau mungkin, ini karena aku belum mempunyai teman di kota ini? 

Dia memang terkesan ndesit, namun saat berbincang tadi, dia berbeda. Kelihatan sekali, bahwa dia seorang yang mempunyai pemikiran global. 

Aku tertarik dengan pemikiran yang tidak biasa.

****

Kami sudah tiba di tempatnya. Memasuki gerbang, ada seseorang yang tergopoh menghampiri kami. Mengambil alih sepeda motor trail yang mengerikan itu, untuk dibawa masuk.

"Itu, tempat kerja sampai ke belakang!" jelasnya menunjuk bangunan besar panjang ke belakang. Suara mesin pemotong kayu dan beberapa suara alat kayu seakan berlomba. Menunjukkan seberapa besar volume produksi. 

Dari sela-sela tanaman di pintu bangunan itu, menyembul beberapa kepala dan suara berisik. Begitu juga dari sisi lainnya.

"Kita ke kantor saja, jangan ke sana," ucapnya seraya memalingkan tubuhku dan menarik ke bangunan depan. Menutup tubuhku dengan badan besarnya dari pandangan mereka.

"Ada apa?" 

"Kamu mengganggu anak-anak."

"Anak kamu?" tanyaku menarik tubuh menjauh darinya. Dia malah tersenyum dan menarik tanganku kembali menaiki tangga di bangunan yang lebih tinggi ini.

"Aku menyebut karyawan, anak-anak. Bukankan tadi sudah aku bilang, aku ini masih lajang. Mereka penasaran saat tahu aku membawa wanita pulang," terangnya. 

"Kenapa?"

"Karena mereka pikir aku membawa calon bine'."

"Apa itu binik?"

"Sudahlah, kita ke kantor saja. Kamu duduk dulu. Bukankan kakimu sakit karena naik tangga? Tadi saya melihatmu berkali-kali memijit betis," ucapnya menghindar pertanyaanku. Dia menyodorkan sandal selop berukuran besar.

"Jangan menyiksa diri menggunakan sepatu seperti itu. Ini pakai sandalku dulu. Bawa saja pulang, aku punya banyak." 

Aku menatapnya, dia yang aneh ternyata juga perhatian. Senyuman di wajahku tercetak dengan sendirinya. Aku merasa tersanjung.

"Ini kantornya? Dimana karyawan admin dan akunting?" tanyaku mengedarkan pandangan. Bangunan dari kayu, mirip joglo tanpa dinding. Hanya satu dinding di bagian belakang saja. Berhias ukiran dengan warna mencolok, ini bedanya dengan joglo di solo, tempatku berasal.

Ada meja di sudut ruangan dengan komputer dan printer di sana. Kelihatan jarang tersentuh, debu tebal di atasnya yang menandakan hal ini. Di tengah ruangan, satu set meja kursi kayu dengan warna senada. 

"Di kantor tidak ada karyawan. Ini hanya tempatku menerima tamu dan pembeli," jawabnya di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, heran. Bagaimana mungkin, usaha sebesar ini tanpa ada karyawan admin. Pantas saja, komputer sampai berdebu.

"Manejemennya bagaimana? Catatan atau arsip?" tanyaku sambil berkeliling. 

Melihat beberapa folder file yang berantakan. Bahkan ada beberapa paku tusukan untuk nota sementara, penuh dengan tumpukan kertas. 

Aku menatap ke arahnya lagi. Meminta jawaban dari pertanyaanku tadi.

"Ya seperti ini saja. Tidak ada catetan atau manajemen. Aku menjalankan apa adanya. Saya juga heran, kenapa orang sibuk dengan catetan. Akhirnya mereka bangkrut, tanpa sempat berbuat apa. Lebih baik saya, jalan terus dan mendapatkan hasil."

Aku mengernyitkan dahi. Mungkin karena inilah, Mr Andrew memaksanya untuk mendatangi konsultan bisnis. 

Namun, bagaimana bisa dia sampai tahap sekarang ini tanpa manajemen? Terus, kalau dia tidak butuh manajemen karena sudah merasa cukup, kenapa datang ke tempat kami. Atau hanya memenuhi permintaan Mr, Andrew tanpa dia merasa membutuhkan jasa kami.

Sepertinya, aku salah mendapat client. 

Sekarang tambah lagi label buat dia. Ndesitman si bos aneh.

Ngeselin tapi perhatian.

Eh!

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status