Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid.
Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi.
Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku.
Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali.
Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin.
"Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku."
Sempat kaget mendengar yang dia katakan.
"Maksudnya?"
"Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit atau berhalangan, terus ganti orang. Saya belum tentu cocok. Makanya kamu penting untukku," jelasnya dengan mengusap-usap tengkuk.
"Oh, kirain," ucapku dengan tersenyum, yakin dia pasti berbohong.
*
Aku menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin tentang pengeluaran. Sekarang berganti tentang pemasukan. Ini data yang sensitif. Tidak semua client menunjukkan data yang sebenarnya.
Biasanya untuk yang keberatan, kami hanya memberikan form untuk diisi sendiri.
"Pak Jazil, untuk pemasukan bisa diisi sendiri," ucapku menunjuk layar komputer.
"Sekalian saja. Apa saja yang dibutuhkan. Saya adanya nota manual. Itu ada di laci sebelah kanan," ucapnya.
"Boleh?"
"Bolehlah!" jawabnya sambil berdiri dan berjalan kearah almari di belakangku. Ada brankas berukuran sedang di sana. Diambilnya beberapa buku kecil yang diikat dengan karet gelang.
"Ini buku tabungan. Mungkin kamu membutuhkan untuk data," ucapnya dengan meletakkan ikatan buku tabungan dari beberapa bank.
"Ini rekening dollar. Pembeli luar negeri saya kasih nomor rekening ini," terangnya lagi, memberiku setumpuk rekening koran.
"Boleh saya membacanya?"
"Bolehlah."
"Atau catatan rekapan saja, Pak," pintaku. Tidak enak rasanya, melihat data yang sensitif ini.
"Tidak ada catatan."
"Terus selama ini bagaimana cara mengecek? Lewat internet banking?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.
"Tidak. Saya tidak mempunyai internet bangking. Saya hanya mendapat kabar kalau sudah ditransfer dan mereka mengirimkan bukti. Ya sudah." Keningku berkerut saat mendengar keterangannya, segitu sederhana.
"Terus kalau ada yang menipu bagaimana? Memberikan bukti transfer palsu dan uang tidak masuk rekening?"
"Saya menggunakan manajemen Tuhan. Kalau ada yang menipu, kita iklaskan saja. Kita pasti mendapatkan gantinya," jawabnya santai.
Huuft!
Tidak ada yang bisa ucapkan atau tanya lagi. Mungkin kalau ada tembok di sampingku, aku akan membenturkan kepala.
"Ndesitman. Benar-benar dari alam SM," gumanku sambil berdesis mengurai kesal. Tidak ada makhluk seperti dia di zaman sekarang, adanya sebelum masehi. Seperti laki-laki ini.
Aku panjangkan kakiku. Meregangkan pegal yang menyengkeram tubuh belakangku.
Mumpung si Ndesitman tidak di sini. Dia memang begitu, sesekali pergi ke gudang belakang. Katanya mengecek kerjaan tukang. Kemudian, kembali menemaniku.
Aku beristirahat sejenak, melonggarkan otak dengan berselancar di internet. Kabar di beranda dipenuhi gosip artis dan isu penggelapan uang. Membosankan!
Aku membutuhkan makanan pelepas rasa penat. Ayam goreng dan burger di Mc Donald menghentikan jariku. Siang ini, enak menikmati menu ini dengan minuman soda dingin.
"Mau makan itu?" ucapnya tiba-tiba. Aku mendongakkan kepala, dia sudah berdiri di belakang sandaran kursi tempat aku duduk.
"Beli saja, nanti di kirim biar saya yang bayar di sini."
"Baiklah!" ucapku senang, "Bapak pilih yang mana?"
"Tidak. Saya tidak suka ayam seperti itu. Enakan ayam penyet. Pesan sana," perintahnya.
Setelah transaksi OK, sekarang tinggal menunggu kurir datang.
"Saya merasa, ayam seperti itu kurang matang. Makannya juga dengan saos, enakkan dengan sambal pedas yang dimasak sendiri. Makanan seperti itu cocok untuk anak-anak. Kenapa kamu menyukainya?"
"Dasar ndesitman!" ucapku keceplosan. Langsung aku menutup mulutku karena kaget.
Dia yang sebelumnya berdiri, menarik kursi dan diletakkan di sebelahku.
'Mati aku, jangan-jangan dia marah. Alamat nanti Pak Lartomo murka kepadaku dan berakhir dengan surat peringatan.'
Aku membuka mataku yang terpejam ngeri, bersiap menerima amarahnya.
Hlo, dia kok malah tersenyum? Senyum yang paling manis yang aku terima.
Dia duduk di sebelahku. Bahkan tangannya diletakkan di meja, dekat tanganku yang saling menangkup.
"Terserah kamu memberi julukan apa kepadaku. Superman, Batman, Ultraman atau Kingsman. Dengan memberiku julukan spesial, itu artinya aku sudah ada di hatimu," ucapannya membuatku kaget. Aku menoleh ke arahnya, dia menatapku tajam dengan raut wajah mulai serius.
Ternyata dia bisa ngegombal. Sok tahu hati orang, padahal iya sih. Ungkapannya kurang tepat. Dia tidak hanya di hati, tetapi juga di pikiran. Bahkan di mata, di hidung, di telinga dan di telapak tanganku. Semuanya, ada namanya.
"Me-memang mengerti artinya ndesitman?"
"Orang desa, kan? Desa adalah rumah untuk setiap orang. Begitu juga aku. Aku akan menjadi rumah untukmu."
Duh!
Apakah yang aku sangka ini benar. Dia mulai menyerang dengan rayuan gombal. Berniat untuk tidak sekedar menjadi rekan kerja?
Sukses! Dia berhasil membuat hati berbunga-bunga dan jantung ini berdetak lebih kencang.
Aku beranikan diri untuk menatapnya balik. Hati ini menghangat dan membuatku tersenyum membalasnya. Sesaat, kami saling pandang tanpa bicara.
"Pesanan makanan datang ...!" Suara kurir makanan pesananku tiba-tiba datang menghentikan aksi saling tatap kami.
Duh! Ganggu aja....
*****
Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati. Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift. Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun. Dimanapun, uang bisa merubah aturan. Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja. Bahan pembicaraan sekarang tentang kar
"Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b
Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m
"Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p
"Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t
Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a
"Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur, gitu?" Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang terlihat aneh ini."Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda."Di sinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang." Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah menjadi kelu."Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka me
Setelah matahari mulai naik, kami kembali dari pantai dan singgah di pinggir jalan. Ada payung besar warna pelangi menaungi penjual bubur yang menggunakan sepeda motor. Bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau."Kamu mau makan di sini?" tanyanya sambil menunjuk emper toko. Berderet ruko yang masuh tutup menunggu waktu. Kami duduk tak jauh dari tukang bubur yang sibuk melayani pembeli yang mayoritas, karyawan restoran atau hotel yang berangkat kerja. Maklumlah, ini memang di mulut jalan Legian. Jalan yang menjadi surga pejalan kaki untuk belanja atau sekedar menikmati keramaian wisata."Dulu sering aku duduk di sini, mencari nasi bungkus untuk sarapan. Sekalian mencari inspirasi. Lihat kendaraan yang lewat," ucapnya dengan menunjuk jalan. "Jalan ini dua arah, namun yang ramai hanya di satu sisi. Kenapa?" tanya Kak Jazil, menutup ucapannya dengan menyuap bubur kacang hijau kental."Itu ramai di satu sisi, karena waktunya berangkat kerja," jawabku sembari menikmati bubur campur. Aku