Share

Bab 6. Aku Akan Menjadi Rumah Untukmu

Kemarin, aku dipulangkan sebelum waktu Jum'atan. Di zaman sekarang, masih ada pemuda yang meletakkan kesibukannya demi salat berjamaah di masjid.

Sempat aku menolak, dengan alasan bisa menyelesaikan sendiri tanpa dia temani. Targetku, ini harus selesai akhir minggu ini untuk merapikan administrasi saja. Karena masih banyak yang harus dibenahi. 

Jazil menolak tawaranku. Katanya, dia tidak tega apabila aku bekerja sendirian. Padahal, selama ini dia tidak mengerjakan apapun. Hanya menemani ngobrol sesekali, selebihnya diam duduk dan sesekali tertangkap sedang menatapku.

Karenanya, hari Sabtu yang seharusnya hari libur, aku harus datang kembali.

Seperti kemarin, dia menjemputku pagi-pagi. Aku sudah menolaknya, karena motorku sudah diantar Pak Satpam hari kemarin.

"Ini sudah kewajibanku untuk menjemputmu. Saya tidak mau ada apa-apa di jalan. Kamu begitu penting untukku."

Sempat kaget mendengar yang dia katakan.

"Maksudnya?"

"Iya, penting. Penting untuk pekerjaan. Kalau kamu sakit atau berhalangan, terus ganti orang. Saya belum tentu cocok. Makanya kamu penting untukku," jelasnya dengan mengusap-usap tengkuk. 

"Oh, kirain," ucapku dengan tersenyum, yakin dia pasti berbohong.

*

Aku menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin tentang pengeluaran. Sekarang berganti tentang pemasukan. Ini data yang sensitif. Tidak semua client menunjukkan data yang sebenarnya. 

Biasanya untuk yang keberatan, kami hanya memberikan form untuk diisi sendiri. 

"Pak Jazil, untuk pemasukan bisa diisi sendiri," ucapku menunjuk layar komputer. 

"Sekalian saja. Apa saja yang dibutuhkan. Saya adanya nota manual. Itu ada di laci sebelah kanan," ucapnya.

"Boleh?"

"Bolehlah!" jawabnya sambil berdiri dan berjalan kearah almari di belakangku. Ada brankas berukuran sedang di sana.  Diambilnya beberapa buku kecil yang diikat dengan karet gelang.

"Ini buku tabungan. Mungkin kamu membutuhkan untuk data," ucapnya dengan meletakkan ikatan buku tabungan dari beberapa bank. 

"Ini rekening dollar. Pembeli luar negeri saya kasih nomor rekening ini," terangnya lagi, memberiku setumpuk rekening koran.

"Boleh saya membacanya?" 

"Bolehlah."

"Atau catatan rekapan saja, Pak," pintaku. Tidak enak rasanya, melihat data yang sensitif ini.

"Tidak ada catatan."

"Terus selama ini bagaimana cara mengecek? Lewat internet banking?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.

"Tidak. Saya tidak mempunyai internet bangking. Saya hanya mendapat kabar kalau sudah ditransfer dan mereka mengirimkan bukti. Ya sudah."  Keningku berkerut saat mendengar keterangannya, segitu sederhana.

"Terus kalau ada yang menipu bagaimana? Memberikan bukti transfer palsu dan uang tidak masuk rekening?"

"Saya menggunakan manajemen Tuhan. Kalau ada yang menipu, kita iklaskan saja. Kita pasti mendapatkan gantinya," jawabnya santai.

Huuft!

Tidak ada yang bisa ucapkan atau tanya lagi. Mungkin kalau ada tembok di sampingku, aku akan membenturkan kepala.

"Ndesitman. Benar-benar dari alam SM," gumanku sambil berdesis mengurai kesal. Tidak ada makhluk seperti dia di zaman sekarang, adanya sebelum masehi. Seperti laki-laki ini.

Aku panjangkan kakiku. Meregangkan pegal yang menyengkeram tubuh belakangku. 

Mumpung si Ndesitman tidak di sini. Dia memang begitu, sesekali pergi ke gudang belakang. Katanya mengecek kerjaan tukang. Kemudian, kembali menemaniku.

Aku beristirahat sejenak, melonggarkan otak dengan berselancar di internet. Kabar di beranda dipenuhi gosip artis dan isu penggelapan uang. Membosankan!

Aku membutuhkan makanan pelepas rasa penat. Ayam goreng dan burger di Mc Donald menghentikan jariku. Siang ini, enak menikmati menu ini dengan minuman soda dingin. 

"Mau makan itu?" ucapnya tiba-tiba. Aku mendongakkan kepala, dia sudah berdiri di belakang sandaran kursi tempat aku duduk.

"Beli saja, nanti di kirim biar saya yang bayar di sini."

"Baiklah!" ucapku senang, "Bapak pilih yang mana?"

"Tidak. Saya tidak suka ayam seperti itu. Enakan ayam penyet. Pesan sana," perintahnya.

Setelah transaksi OK, sekarang tinggal menunggu kurir datang.

"Saya merasa, ayam seperti itu kurang matang. Makannya juga dengan saos, enakkan dengan sambal pedas yang dimasak sendiri. Makanan seperti itu cocok untuk anak-anak. Kenapa kamu menyukainya?" 

"Dasar ndesitman!" ucapku keceplosan. Langsung aku menutup mulutku karena kaget.

Dia yang sebelumnya berdiri, menarik kursi dan diletakkan di sebelahku.

'Mati aku, jangan-jangan dia marah. Alamat nanti Pak Lartomo murka kepadaku dan berakhir dengan surat peringatan.'

Aku membuka mataku yang terpejam ngeri, bersiap menerima amarahnya. 

Hlo, dia kok malah tersenyum? Senyum yang paling manis yang aku terima.

Dia duduk di sebelahku. Bahkan tangannya diletakkan di meja, dekat tanganku yang saling menangkup.

"Terserah kamu memberi julukan apa kepadaku. Superman, Batman, Ultraman atau Kingsman. Dengan memberiku julukan spesial, itu artinya aku sudah ada di hatimu," ucapannya membuatku kaget. Aku menoleh ke arahnya, dia menatapku tajam dengan raut wajah mulai serius.

Ternyata dia bisa ngegombal. Sok tahu hati orang, padahal iya sih. Ungkapannya kurang tepat. Dia tidak hanya di hati, tetapi juga di pikiran. Bahkan di mata, di hidung, di telinga dan di telapak tanganku. Semuanya, ada namanya.

"Me-memang mengerti artinya ndesitman?"

"Orang desa, kan? Desa adalah rumah untuk setiap orang. Begitu juga aku. Aku akan menjadi rumah untukmu."

Duh!

Apakah yang aku sangka ini benar. Dia mulai menyerang dengan rayuan gombal. Berniat untuk tidak sekedar menjadi rekan kerja?

Sukses! Dia berhasil membuat hati berbunga-bunga dan jantung ini berdetak lebih kencang. 

Aku beranikan diri untuk menatapnya balik. Hati ini menghangat dan membuatku tersenyum membalasnya. Sesaat, kami saling pandang tanpa bicara.

"Pesanan makanan datang ...!" Suara kurir makanan pesananku tiba-tiba datang menghentikan aksi saling tatap kami.

Duh! Ganggu aja....

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status