Share

Sosok Berpakaian Hitam

Tiba-tiba, dua pelupuk mata gadis berambut ikal itu diisi oleh air mata lagi.

“Aku stres, May! Rasanya udah mau gila mikirin restoranku!” sedu Ariadna. Tangisannya semakin dalam dan pilu. Sebelah tangannya mengusap wajah dengan maksud menghapus air mata. Namun, tangisannya justru semakin deras.

“Udah, udah, Ar. Kamu nggak sendirian, kok. Ada aku, ada Mas Daniel. Kita semua berjuang bersama-sama. Oke? Udah, udah. Yuk, kita main di arena bermain. Kita main capit boneka sampai sore. Gimana kalau nyanyi aja? Di Game Zone kan ada bilik karaoke, tuh. Mau?” tawar May. Dia peluk teman baiknya. Dielusnya punggung dan bahu Ariadna hingga perempuan itu sedikit tenang.

Di saat yang tak tepat seperti ini, tak sengaja pandangan mata Ariadna memandang ke arah jalan raya dan melihat mobil pick-up berisi stok bahan makanan yang melimpah.

Di bagian kursi depan, rupanya William yang menyetir dan Tami duduk di sampingnya.

"Huaaaaa! Mereka belanja banyak! Mereka bisa punya stok! Usaha mereka laris!" teriak Ariadna makin keras.

May kelimpungan mengendalikan temannya. Apalagi pandangan mata pengunjung supermarket jatuh ke arah mereka.

“Ah! Maaf, May. Aku jadi berlebihan begini,” kata Ariadna sambil mengusap air matanya dengan dua telapak tangan.

“Nggak apa-apa. Udah, ya. Kita happy-happy aja di dalam,” ajak May.

Ariadna menggandeng sebelah tangan May untuk berjalan menuju pintu utama supermarket.

Nampak di bagian depannya banyak sekali orang-orang dengan pakaian serba hitam. Celana, jaket, sepatu, topi, serta masker hitam yang menutupi setengah wajah.

Mereka membagikan brosur kepada pengunjung Super Mall yang berjalan melalui mereka. Sekitar sepuluh orang melakukan itu. Mereka berdiri berjajar menghentikan orang asing yang berlalu lalang demi menyampaikan promosinya.

“Ada promo apa, sih? Ada toko baru, ya?” tanya Ariadna begitu pandangannya menangkap sosok-sosok berpakaian hitam itu.

“Nggak tahu, Ar. Biasanya sih, konter handphone baru. Coba minta brosurnya satu. Kebetulan aku lagi nyari handphone baru yang harganya agak miring,” tukas May.

Langkah demi langkah mereka ambil untuk semakin dekat dengan para pemberi brosur itu. Beberapa pengunjung supermarket berhenti di depan orang berpakaian hitam untuk mendapatkan informasi lebih detail.

Awalnya, May dan Ariadna tidak dapat mendengar perbincangan mereka. Hingga akhirnya, jarak mereka yang hanya dua meter dari manusia serba hitam itu, berhasil membuat keduanya menangkap inti sari promosi itu.

“Silakan, Kak. Kami baru buka satu minggu, lho! Dijamin nggak akan nyesel. Kakak bisa ambil nasi sendiri. Dapat free minuman juga untuk pembelian di atas lima puluh ribu.”

“Wah! Ini beneran harganya cuma lima belas ribu?”

“Iya, Kak. Rasa lokal, kualitas internasional. Kakak pernah dengar kalau Rendang adalah makanan terenak di dunia? Nah, di tempat kami ada, lho! Beda sama restoran seberang yang kualitasnya nol besar. Harganya mahal dan rasanya nggak enak. Denger-denger, bahannya pakai bahan sisa dari pedagang emperan di pasar tradisional. Parah banget, ‘kan? Mendingan Kakak makan di sini. Sehat dan bersih!”

Sang penerima brosur menanggapi, ”Bahan sisa? Aduh! Ayah saya suka sekali makan di sana!”

“Mulai hari ini, jangan datang ke restoran itu lagi. Pasti nggak ada orang yang mau mempertaruhkan nyawanya demi memakan makanan hewan!” balas sang promotor itu lagi.

May dan Ariadna saling pandang. Mereka mencoba mendengarkan pembicaraan yang lainnya. Pembicaraan yang tentunya diawali oleh sang pemberi brosur.

“Ibu, silakan mampir di rumah makan kami. Rasanya nomor satu. Walaupun berseberangan sama restoran masakan barat, kita menang banyak karena pakai bahan premium. Beda sama restoran itu. Kotor, banyak binatang pengganggu, dan yang paling parah, pekerjanya tidak ramah. Mereka selalu memaksa minta uang tip dari para pengunjung. Kalau tidak memberi uang tip, pekerjanya marah-marah sampai membanting perabotan!” kata promotor lainnya.

Satu promotor bertubuh kecil yang berada di samping menambahkan, “Benar, Bu! Di sana bahan-bahannya banyak yang basi. Kami sendiri yang melihat pekerja mereka memasukkan stok bahan basi dari pintu belakang. Dasar restoran tidak beradab! Menjual makanan babi dengan harga mahal. Itu namanya penipuan. Mencari untung banyak tapi membunuh pembeli secara perlahan.”

“Hah! Masa sih, Mas? Untung saya belum pernah makan di restoran itu. Kebetulan pencernaan saya agak sensitif. Bisa-bisa, saya masuk rumah sakit karena keracunan!” jawab seorang wanita paruh baya.

Si promotor bertubuh kecil membalas, “Nah! Dari pada nanti ada masalah kesehatan, Ibu jangan sekali-sekali datang ke restoran itu. Demi kesehatan dan keselamatan juga, ‘kan?”

Kalimat bujukan yang dilontarkan orang-orang itu benar-benar tidak sopan. Bisa dibilang, upaya itu bukanlah sebuah promosi. Tapi, tuduhan dan hinaan kepada usaha orang lain.

“May, coba kamu minta satu brosurnya. Aku pengen tahu tempat apa yang sampai separah itu menjatuhkan usaha orang lain,” pinta Ariadna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status