Share

Bukan Satpam, Tapi Bos!

“Ada apa ini, Gus?” Lelaki itu bertanya lagi.

“Mas William, saya nggak tahu bagaimana caranya menghentikan dia. Dari tadi wanita itu marah-marah sampai mukul-mukul pintu,” jawab Agus ketakutan.

Sesosok lelaki muda berkaca mata tengah menjatuhkan pandangan penuh amarah pada Ariadna. Lelaki dengan rambut cokelat gelap yang sempat dituduh sebagai satpam pagi ini.

Padahal, dia bos. Pemegang cabang RM. Padang Jaya di kota ini!

Dia adalah William Pratama. Lelaki muda berusia dua puluh tujuh tahun.

Di samping William, berdiri seorang wanita cantik bermata sipit berdarah Tionghoa. Namanya Tami, bos kedua setelah William. Tangan wanita itu dilipat di depan tubuhnya dengan wajah galak dan ketus.

“Perempuan nggak tahu diri! Sembarangan masuk ke lapak orang dan bikin keributan!” bentak Tami.

Ariadna langsung berjalan mendekati dua orang itu dengan May yang mengikuti dari belakang. Dia berdiri tegak di depan tubuh William dan Tami.

Kedua biji mata Ariadna melotot tajam hingga urat merah nampak di tepi bola matanya. Demikian dengan William.

"Hey, satpam! Mana bosmu? Kurang ajar! Udah aku duga kalian main kotor. Pantesan tadi pagi nggak mau bocorin trik kalian, ternyata cara mainnya pakai sabotase restoranku!" bentak Ariadna. Dia luapkan rasa kesal di dadanya.

William terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

"Aku rasa orang ini betulan gila. Kamu lihat sendiri kan, Tam? Kelakuannya kayak monyet kabur dari sangkar," olok William dengan santai.

Tami ikut tertawa. Sambil berucap, "Satpam katamu? Satpam dari mana? William ini bos RM. Padang Jaya! Dia yang mendirikan usaha ini! Bodoh! Sok tahu! Arogan! Gila! Dasar kera lepas dari kandang!" oloknya pula.

"Denger sendiri, 'kan? Aku yang punya tempat ini. Bukan satpam! Buka kupingmu lebar-lebar!" tambah William.

Sejenak Ariadna mematung tak percaya. Rupanya, sejak pagi dia sudah berurusan dengan pemilik rumah makan ini.

Karena telanjur buntung, tak perlu lagi memikirkan jabatan dan kehormatan. Siapa pun William, intinya dia sudah bermain kotor.

"Kalau ada masalah, ngomong! Dari pagi kamu udah bikin rusuh, lempar-lempar batu, sekarang juga rusuh. Gedor-gedor pintu. Maumu apa, sih?" tanya William tegas. Wajahnya tegang, kesal.

Tangan kanannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan bola kertas yang terbuat dari brosur promosi RM. Padang Jaya.

“Rusuh? Kamu bilang rusuh? Kamu yang bikin rusuh, Anjing!” bentak Ariadna sambil melemparkan bola kertas itu tepat di wajah William.

Gumpalan itu berakhir jatuh di dekat kaki Tami. Lemparan yang diberikan dengan sekuat tenaga, membuat semua orang tersentak hingga menutup mulut.

Tami langsung memungut bola kertas itu. Sedangkan William membenarkan posisi kaca mata bulatnya yang sedikit bergeser karena hantaman bola kertas dari tangan Ariadna.

“Aku nggak mau kasar sama perempuan! Oke? Jadi, jangan bikin emosiku terpancing. Dari tadi kamu nggak jelasin apa-apa! Kamu punya tata krama, 'kan? Kamu ada masalah apa sama usaha kami?” tanya William.

Tami membuka gumpalan kertas itu dan diserahkannya pada William. Laki-laki itu pun langsung menerima dan memeriksa apa yang tertulis di kertas itu.

“Ini kan brosur promosi rumah makanku. Apa salahnya kalau kami promosi ke orang-orang? Kamu marah-marah cuma gara-gara brosur ini?” tekan William. Dia memastikan.

Ariadna mengatur napasnya yang memburu. Emosi yang meledak-ledak membuat dadanya kembang kempis.

Bagaimana pun juga, dia harus meluapkan protes atas ketidakadilan yang dia dapatkan.

“Aku pengelola restoran The Filantropi. Restoran yang ada di seberang rumah makan ini!” jawab Ariadna.

Tami langsung menyahut, “Oooh, jadi kamu iri sama kami? Kamu merasa tersaingi karena kami pasang brosur promosi yang bagus? Hahaha! Kekanak-kanakan banget! Hey perempuan sinting! Kalau takut tersaingi, tingkatin kualitas restoranmu! Bukan malah ngamuk-ngamuk di tempat orang lain! Mentalmu terlalu bobrok untuk jadi bos restoran! Nggak pantes!”

“Diam kamu, jalang!” balas Ariadna.

"Kamu yang jalang!"

Ariadna melawan lagi, "Dasar siluman babi! Keparat! Pemakan uang haram! Kamu yang iri yang sama aku, makanya fitnah restoranku karena takut tersaingi, 'kan? Bodoh!"

"Kera liar! Ngamuk-ngamuk cuma karena brosur!" olok Tami.

Tangan Ariadna meraih topi hitam yang ada di tangan May. “Bukan brosur itu yang bikin aku marah! Tapi ... topi ini!” ucap Ariadna sembari melemparkan topi itu ke wajah Tami.

Pluk?

“Bajing–"

“Stop! Stop! Kalau kalian nggak tenang, aku telepon polisi sekarang juga!” William akhirnya bersuara. Dia geram melihat adu maki yang tak ada habisnya.

William melanjutkan kalimatnya, “Tolong jelasin sedetail mungkin apa masalah kamu. Aku nggak bakal tahu apa-apa kalau kamu cuma marah-marah nggak jelas dan lempar ini itu! Jelasin semuanya!” pintanya.

“Kamu betulan nggak tahu maksudku? Bisa-bisanya. Tadi kamu lewat depan Super Mall karena mau memantau anak buahmu, 'kan? Gaya-gayaan lewat, padahal punya niat busuk," tuduh si wanita berambut ikal.

William menggeleng ringan. Respon itu dibalas dengan kekehan tawa menyindir dari Ariadna.

“Aku nggak tahu kamu pura-pura dungu atau betulan dungu. Brosur yang aku bawa memang nggak ada masalahnya. Tapi, topi hitam bau ketombe itu yang bikin brosur promosimu jadi bermasalah. Jujur deh, kamu sengaja menyewa orang buat mengolok-olok restoranku, 'kan? Apa kamu setakut itu sama restoranku yang cantik dan elegan? Kamu takut kalah saing sampai menyewa promotor-promotor busuk yang nyebarin isu-isu nggak bener?" papar Ariadna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status