06
Di luar dugaan Lilakanti, ternyata dirinya dan Azrina disambut Nazeem serta Rumaisha dengan ramah. Begitu pula dengan Elmeira, yang langsung mengajak Azrina bermain ayunan di halaman belakang.
Lilakanti yang sedang berada di ruang tengah, sekali-sekali akan memandangi putrinya yang terlihat senang di ayunan. Lilakanti turut tersenyum jika mendengar tawa Azrina yang sedang dicandai Elmeira.
"Jadi, saat kamu bercerai dulu, Azrina baru berumur 3 tahun?" tanya Nazeem sembari memerhatikan perempuan bergaun hijau muda di kursi seberang.
"Belum sampai 3 tahun, Pak. Sekitar 2 tahun 8 bulan," terang Lilakanti.
"Apa dia tidak merindukan papanya?"
"Saya rasa nggak. Karena saat kami masih bersama pun, papanya sibuk di luar rumah dan jarang punya waktu buat Azrina."
Nazeem tertegun sesaat. Dia melirik putra sulungnya yang tengah menunduk. "Maksudmu, mantan suami termasuk orang yang tidak perhatian?"
"Saya sebenarnya tidak mau membuka cerita lama, Pak. Tapi memang itu kenyataannya."
Nazeem mengangguk paham. "Bagi pria, memang sulit untuk fokus pada keluarga jika ada perempuan lain di hati."
Farisyasa mendengkus pelan. Dia tahu bila Nazeem menyindirnya. Farisyasa berpura-pura mengusap hidungnya yang sedikit berminyak, untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat rahasianya diungkit sang ayah.
Gema azan magrib berkumandang. Nazeem berdiri dan mengajak semua orang untuk menunaikan ibadah di musala, yang berada di sisi kiri ruang makan.
Lilakanti memanggil Azrina dan mengajak putrinya mengambil wudu di toilet bawah tangga. Kemudian keduanya bergabung dengan yang lainnya di musala.
Belasan menit berlalu, semua orang telah berpindah ke ruang makan. Andi dan asisten rumah bersantap di depan televisi, sembari mengasuh Azrina.
Tidak berselang lama Dharvan tiba dan segera menyambangi keluarganya. Seusai menyalami kedua orang tuanya dan Farisyasa dengan takzim, Dharvan menyalami Lilakanti seraya tersenyum.
Sepanjang acara bersantap, Lilakanti berbincang dengan Elmeira dan Rumaisha. Farisyasa tanpa sadar turut mengamati perempuan bermata besar, yang terlihat bersemangat saat menceritakan tentang pekerjaannya.
"Apa akan ada fashion show dalam waktu dekat, Teh?" tanya Elmeira.
"Ya, akhir bulan nanti," sahut Lilakanti.
"Aku pengen lihat."
"Boleh. Nanti kusiapkan undangannya."
"Ibu boleh datang juga?" sela Rumaisha.
"Tentu saja boleh," jawab Lilakanti.
"Ibu ngapain ikut? Enggak ada baju buat nenek-nenek," seloroh Dharvan.
"Ibu cuma ingin tahu seperti apa fashion show itu," terang Rumaisha. "Pasti beda dengan dengan zaman Ibu dulu," lanjutnya.
"Teknisnya hampir sama, Bu. Cuma sekarang jarang pakai panggung," ungkap Lilakanti.
"Peragawatinya jalan di mana?"
"Tetap di catwalk, tapi nggak ada panggung. Maksud saya, modelnya jalan di lantai. Hanya dikasih jarak dengan penonton."
Tawa ketiga orang di ruang tengah seketika mengejutkan Lilakanti dan yang lainnya. Mereka memerhatikan Andi, Azrina dan perempuan muda bernama Nisa, yang kembali tergelak karena tingkah lucu karakter film kartun.
"Mendengar tawa anak kecil, Ibu jadi ingat, waktu anak-anak masih bocah," tutur Rumaisha sambil mengamati Azrina. "Tingkah Faris, Dharvan dan Ira, lebih kacau daripada Azrina. Karena mereka berebut remote televisi," jelasnya seraya tersenyum.
"Aku ingat. Lagi asyik nonton kartun, ehh, tiba-tiba salurannya ganti jadi sepakbola," keluh Elmeira.
"Kamu harusnya nonton di atas, Dek," balas Dharvan.
"Enggak mau. Di atas sepi. Cuma aku, doang, yang nonton."
"Ada juga yang sering nemenin kamu."
"Siapa?"
"Embah yang di gudang."
Lilakanti meringis ketika melihat Elmeira memukuli lengan Dharvan dengan semangat. Farisyasa hanya melirik kedua adiknya yang memang sering bertengkar.
"Lila, sering-sering datang ke sini. Ibu senang ada Azrina. Rumah jadi nggak sepi lagi," pinta Rumaisha yang mengejutkan Lilakanti dan Farisyasa.
"Ehm, ya, Bu. InsyaAllah," ungkap Lilakanti. Dia tidak berani menolak permintaan perempuan tua berjilbab biru, karena tidak tega untuk mengecewakan Rumaisha.
Farisyasa melirik ayahnya yang sejak tadi hanya diam. Dia menduga jika Nazeem belum bisa menerima Lilakanti.
Farisyasa mengalihkan pandangan pada pacar sewaannya yang sedang mengusap bibir dengan tisu. Farisyasa spontan tersenyum saat tatapan keduanya bersirobok.
Lilakanti mengulum senyuman. Dia senang karena dramanya sebagai kekasih pura-pura, ternyata bisa diterima Rumaisha. Meskipun Nazeem belum seramah istrinya, tetapi Lilakanti sudah tenang, karena pria tua tersebut juga tetap bersikap biasa.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, ketika Andi menghentikan mobil sang bos di belakang seunit mobil sedan merah.
Lilakanti yang turun terlebih dahulu, mengernyitkan dahi karena mengenali mobil itu sebagai milik Baron.
Lilakanti memegangi tangan Azrina, kemudian keduanya jalan menuju rumah dengan diikuti Farisyasa dan Andi.
Sesuai dugaan Lilakanti, ternyata Baron memang telah berada di ruang tamu dan sedang berbincang dengan ayahnya.
Lilakanti menyalami Damhuri dengan takzim, kemudian dia meminta Azrina untuk menyalami Baron. Namun, gadis kecil itu menolak, dan justru duduk di pangkuan Farisyasa.
"Rina, salam dulu ke Papa," pinta Lilakanti.
Azrina bergeming, sebelum dia turun dari pangkuan Farisyasa dan jalan menuju ruangan dalam. Lilakanti mengeluh dalam hati, terutama setelah melihat raut wajah Baron yang masam.
"Mas sudah lama di sini?" tanya Lilakanti berbasa-basi, sesaat setelah Damhuri menyusul cucunya ke dalam.
"Sekitar setengah jam," jelas Baron. "Kamu, dari mana?" desaknya.
"Menemui orang tua Mas Farisyasa."
"Sampai malam begini?"
"Ini masih awal, Bung," sela Farisyasa. Dia tidak menyukai Baron yang menurutnya arogan.
"Enggak ada urusannya denganmu," tukas Baron. "Aku sedang bicara dengan Lila," lanjutnya.
"Ingat posisimu yang hanya mantan suami," ledek Farisyasa.
"Daripada kamu, nggak jelas statusnya."
"Aku calon suami Lilakanti."
"Ayahnya bilang, kalian cuma temenan."
"Ayah memang belum tahu tentang hubungan kami, karena Ayah baru pulang kemarin dari Banyuwangi," ungkap Lilakanti.
"Begitu? Tapi agak aneh. Masa Ayah nggak tahu kalau anaknya mau nikah," cibir Baron.
"Kami memang belum membicarakan hal detailnya pada Ayah. Ini, aku baru mau menerangkannya."
Baron tersenyum miring. "Bicara yang jujur, Lila. Aku tahu kalau kamu lagi bohong."
"Aku ngomong jujur pun, Mas nggak akan percaya. Seperti yang sudah-sudah. Apa pun yang keluar dari mulutku, selalu salah!"
"Sstt. Tenang." Farisyasa menepuk-nepuk pelan punggung tangan Lilakanti.
"Susah nahan emosi kalau berhadapan dengan orang yang menyebalkan!" sungut Lilakanti sembari menatap tajam pada Baron.
"Percuma kamu marah-marah." Farisyasa mengusap punggung Lilakanti yang seketika terkesiap dan memandanginya. "Mending kamu masuk dan bilang ke Ayah, kalau aku mau bicara hal yang penting," ungkapnya yang dibalas anggukan perempuan tersebut.
Farisyasa dan Baron sama-sama memandangi hingga Lilakanti menghilang di balik dinding pembatas. Farisyasa mengalihkan pandangan pada pria berkemeja marun yang masih mengamati pintu tengah.
"Apa kamu masih mau bertamu?" tanya Farisyasa.
"Bukan urusanmu!" desis Baron.
"Jelas ini urusanku, karena rencanaku jadi terganggu."
Baron berdecih, lalu dia berdiri. "Kalau kamu berpikiran jernih, kamu pasti tidak mau menukahi Lila."
Farisyasa turut bangkit. "Kalau kamu waras, kamu pasti tidak akan menyia-nyiakan Lilakanti. Bahkan menceraikannya demi pacarmu yang matre itu," celanya.
"Jaga bicaramu!"
"Kamu yang harus sadar diri. Statusmu cuma mantan suami. Kamu juga masih pegawai. Sedangkan aku, owner perusahaan. Jelas level kita beda jauh!"
Baron hendak membantah, tetapi kemudian diurungkannya karena Damhuri telah muncul. Baron akhirnya menyalami lelaki tua, kemudian dia berlalu tanpa berpamitan pada Farisyasa.
60Jalinan masa terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu semua umat Islam di seluruh dunia. Farisyasa dan Lilakanti serta yang lainnya berangkat menuju gedung KBRI di pusat kota, dengan menggunakan tiga mobil SUV. Sesampainya di tempat tujuan, mereka turun dan bergabung dengan banyak orang, yang juga hendak menunaikan salat Ied. Azrina mengulaskan senyuman saat bertemu dengan beberapa bocah asal Indonesia, yang ikut bersama orang tua masing-masing. Puluhan menit terlewati, salat Iedul Fitri telah usai. Semua orang beranjak memasuki ruangan luas dan antre di beberapa meja prasmanan. Lilakanti mengambilkan makanan buat anaknya terlebih dahulu, kemudian dia mengambil opor, rendang dan sambal goreng kentang cukup banyak untuknya sendiri. Dia hanya menuangkan sedikit lontong ke piring. Kemudian Lilakanti meraih beberapa tusuk sate dan meletakkannya ke atas lontong. "Ma, yakin habis segitu banyak?" tanya Farisyasa, sesaat setelah Lilakanti menduduki kursi di sebelah kanannya.
59Hari berganti menjadi minggu. Farisyasa telah pulih dan beraktivitas seperti biasa. Namun, dia terpaksa tidak berpuasa, sampai kondisi perutnya benar-benar sembuh. Lilakanti tetap menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Dia tidak mau Azrina sendirian jika ditinggal bekerja. Gadis kecil tersebut juga masih cuti sekolah, supaya bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Pagi itu, Farisyasa baru selesai mandi ketika Lilakanti menerobos ke toilet. Pria bermata sipit, terkejut melihat istrinya yang tengah mengeluarkan isi perut ke kloset. Dengan sigap, Farisyasa memegangi Lilakanti dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memyambar selang shower kecil dan menyirami kloset hingga bersih. Setelahnya, Farisyasa menuntun Lilakanti ke kamar. Dia membantu menyelimuti perempuan tersebut yang mengeluh kedinginan. Farisyasa meraba dahi Lilakanti dan kaget karena kening istrinya panas. Pria yang hanya mengenakan handuk, mengambil termoteter dari laci untuk mengukur suhu tubuh Lilakanti.
58Jalinan waktu terus berputar. Tibalah saat membahagiakan bagi seluruh umat Islam di dunia. Bulan Ramadhan menjadi waktu yang paling pas untuk memperbanyak ibadah. Sekaligus melatih kesabaran diri. Bagi Farisyasa dan yang lainnya, berpuasa di tempat di mana Islam adalah agama minoritas, menjadi satu tantangan tersendiri. Sebab mereka harus ekstra keras memperluas kesabaran, bila kebetulan menyaksikan orang-orang yang tengah makan ataupun minum di siang hari. Bila bagi orang dewasa, berpuasa di negeri orang sudah berat. Hal itu menjadi ujian paling sulit yang harus dijalani Azrina. Meskipun di sekolahnya, sang kepala sekolah sudah meminta murid-murid lain untuk tidak bersantap di depan Azrina, tetapi masih ada saja yang melakukannya tanpa sengaja. Seperti hari itu, Azrina menggigit bibir bawah saat menyaksikan seorang temannya tengah meminum susu cokelat. Gadis kecil bersweter biru benar-benar haus, hingga akhirnya Azrina menangis. Sang guru yang bernama Michelle, segera membujuk
57Hari kedua di Quebec, Langdon mengajak rekan-rekannya mengunjungi keluarganya. Perjalanan hampir 30 menit itu usai, saat mereka tiba di pekarangan luas depan rumah besar berarsitektur khas Eropa. Lilakanti terperangah. Dia bahkan memegangi dinding dan pintu model klasik yang sangat disukainya, sembari bergumam sendiri. Kala kedua orang tua Langdon keluar untuk menyalami para tamu, Lilakanti langsung menerangkan kekagumannya akan bangunan itu. Percakapan dilanjutkan di ruang tamu yang terkesan hangat. Sekali lagi Lilakanti terpesona, dan dia sibuk mengamati cerobong asap model lama dengan detail batu bata merah ekspos. "Pa, bisa, nggak? Rumah kita dibikin kayak gini?" tanya Lilakanti setelah kembali duduk di sebelah kiri suaminya. "Bandung sudah panas. Nggak perlu bakaran," jawab Farisyasa. "Iya, nggak usah yang itu. Tapi, dindingnya Mama mau kayak gini." Farisyasa mengangkat alisnya. "Kalau renovasi total, nggak jauh dari 1 miliar, Ma." "Enggak perlu semua. Kamar kita, ruang
56Jumat pagi, seunit mobil SUV biru tua melaju di jalan raya menuju bandara Vancouver. Langdon, supervisor proyek yang berada di kursi samping kiri sopir, menerangkan berbagai hal tentang Quebec pada penumpang lainnya. Quebec adalah provinsi di timur laut Kanada, yang merupakan provinsi terbesar dari 10 provinsi di negara itu. Sebagian besar penduduknya tinggal di bagian selatan provinsi tersebut.Sebagai salah satu provinsi pendiri Kanada dan satu-satunya provinsi dengan mayoritas penduduk berbahasa Prancis, pemerintah provinsi Quebec memiliki kendali yang signifikan atas urusan-urusannya.Langdon yang orang tuanya bermukim di pinggir Kota Quebec, begitu antusias menerangkan kota kelahirannya. Sesampainya di bandara, semua orang turun. Andi, Ibrahim dan Maher bergegas menurunkan semua koper dan tas travel dari bagasi, kemudian mereka ikut menyalami sang sopir yang akan kembali ke tempat proyek. Langdon dan Farisyasa jalan berdampingan sambil menyeret koper masing-masing. Lilakant
55Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu merotasi hari hingga berganti ke minggu dan bulan. Musim dingin telah berakhir di Vancouver. Bunga-bunga bermekaran dengan indah untuk menyambut musim semi nan cerah. Lilakanti sudah memiliki teman-teman baru, yakni para penghuni apartemen tempatnya tinggal. Demikian pula dengan Azrina. Bahkan gadis kecil tersebut ikut bersekolah di kindegarten, yang letaknya tidak jauh dari bangunan apartemen. Selain berteman dengan penghuni, Lilakanti juga makin akrab dengan Thalita Pangestu, anak Tanvir Pangestu, sekaligus keponakan Linggha. Thalita dan Devi, sahabatnya, tengah menempuh pendidikan sarjana di tahun terakhir. Selain kuliah, keduanya juga menyambi kerja untuk mengelola kafe milik Falea, istri Benigno, yang dulu sempat menetap di Vancouver selama dua tahun.Lilakanti juga bekerja di kafe itu sebagai staf keuangan sekaligus kasir freelance. Waktu kerjanya dimulai dari jam 9 pagi hingga 3 sore.Lilakanti juga kian dekat dengan Rosemund al
54Penerbangan lebih dari 20 jam telah tuntas. Kelompok pimpinan Ibrahim keluar dari pintu kedatangan bandara Vancouver. Mereka disambut sopir bus sewaan, dan seorang staf dari Janitra Grup. Farisyasa menggendong Azrina yang masih mengantuk, memasuki bus kecil dan menempati kursi terdekat dengan pintu. Lilakanti menduduki kursi di samping kiri Azrina, sedangkan Farisyasa berpindah ke kursi depan. Setelah memastikan semua penumpang masuk dan barang-barang terangkut, Ibrahim menaiki bus dan menempati kursi di sebelah kiri Farisyasa. Sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Sang staf membagikan kotak kue, yang segera dinikmati para penumpang. "Mama, aku mau pegang salju," pinta Azrina sambil menunjuk ke luar kaca. "Nanti, nyampe di apartemen baru bisa pegang," jawab Lilakanti sembari merapikan rambut putrinya yang kusut. "Rambutnya dikepang aja, ya? Biar nggak berantakan," lanjutnya sambil memulai mengepang. "Mau minum susu." "Habis, Kak. Teh dulu, mau?" "Hu um." Azrina
53Sesuai janji, Baron tiba di hotel menjelang jam 9 pagi. Dia datang bersama Deandre, Erfinda dan Nohan, serta membawakan titipan buah tangan dari keluarganya di Bogor. Farisyasa menyambut semua tamunya dengan ramah. Dia menjamu mereka di restoran hotel, supaya lebih bebas berbincang. Kala Baron meminta waktu untuk bermain bersama Azrina, Lilakanti terpaksa mengiakan. Perempuan bermata besar terus mengamati mantan suaminya yang sedang menemani Azrina berenang bersama Erfinda. "Kamu temui Wirya di kantornya, Re. Tanya jelas-jelas tentang tawaran dari para komisaris CRYSTAL," tukas Farisyasa. "Aku, Kasyafani dan yang lainnya cuma nanam saham. Lainnya, HWZ-ZUB yang urus," lanjutnya. "HWZ-ZUB?" tanya Deandre. "Hendri, Wirya, Zein, Zulfi, Ubaid dan Bayu," terang Farisyasa yang menjadikan Deandre tersenyum. "Aku harus banyak menghafal singkatan nama para bos." "Yang penting-penting saja." Farisyasa terdiam sejenak, kemudian dia melanjutkan perkataan. "Aku nggak bisa pegang banyak pe
52Ruang rapat di lantai tiga kantor PG, siang itu terlihat ramai orang. Hampir semua anggota PG, PC dan PCD datang. Demikian pula staf ketiga perkumpulan itu, dan para pengawal muda PBK. Tio yang berdiri di podium, menyampaikan pidato yang cukup panjang mengenai berbagai kemajuan bisnis semua anggota perkumpulan tersebut. Selanjutnya, Tio memanggil belasan orang, yang segera maju ke depan. Para lelaki bersetelan jas hitam itu berdiri dan berbaris dengan rapi. Tatapan mereka arahkan pada khalayak yang juga memandangi mereka dengan saksama. "Teman-teman kita ini, adalah kloter pertama yang akan berangkat ke Kanada. Mereka akan menjadi pegawai beberapa proyek yang akan dimulai pengerjaannya bulan depan. Setelah musim dingin berakhir," ujar Tio. "Ethan yang mengantarkan teman-teman PG dan PC, akan tinggal di sana sampai tiga bulan mendatang. Ethan punya tugas khusus, yakni menghubungkan rekan-rekan kita dengan rekanan bisnis asli Kanada. Sekaligus membantu mereka untuk mempelajari ba