Dikhianati dan diceraikan suami, menjadi takdir yang harus dijalani Lilakanti Risniar, seorang pegawai WO dan Ibu dari Azrina Althafia. Pada suatu pesta, Lilakanti kembali bertemu dengan Baron Ardibanan, mantan suaminya yang datang bersama Calista, selingkuhannya. Lilakanti dihina Baron dan Calista. Namun, Farisyasa Kagendra tiba-tiba datang dan mengakui Lilakanti sebagai kekasihnya dan itu sangat mengejutkan Baron. Dia tidak memercayai hal itu dan berniat menyelidikinya. Lilakanti berterima kasih pada Farisyasa. Namun, pria itu justru menawarkan kesepakatan untuk meneruskan hubungan palsu mereka, agar bisa menghindari Sandra Nayyara, perempuan yang dijodohkan dengannya oleh sang ayah.
view more01
Ketukan palu hakim pengadilan agama Bandung yang menandakan bahwa sidang perceraian telah usai, membuat hati Lilakanti Risniar hancur berkeping-keping.
Perempuan berambut sebahu itu sekuat tenaga menahan tangisan yang hampir keluar. Dia menggigit bibir bawah sambil mempererat pegangan ke tangan Anita, sahabat karibnya.
Lilakanti berdiri dengan kaki yang sedikit goyah. Dia tetap berpegangan pada Anita yang menuntunnya menuju meja hakim dan menyalami pria berkumis tipis yang memandanginya dengan sorot mata prihatin. Kemudian Lilakanti dan Anita menyambangi tim kuasa hukum untuk berbincang sesaat.
Sementara pria yang berada tidak jauh dari tempat Lilakanti dan Anita berdiri, menyalami hakim dengan wajah semringah. Sekilas pria tersebut melirik Lilakanti, kemudian membalikkan tubuh dan jalan bersama pengacaranya ke luar ruang sidang.
Lilakanti menatap punggung Baron dengan hati yang sangat hancur. Pengabdiannya selama lima tahun lebih pernikahan ternyata tidak berarti apa-apa buat Baron. Bahkan, pria berusia tiga puluh tiga tahun tersebut seolah-olah tidak peduli dengan keberadaan perempuan yang sangat setia padanya.
"Mau langsung pulang atau gimana?" tanya Anita dengan suara pelan. Sebagai seorang sahabat yang sudah menemani Lilakanti dari masa SMU dulu, membuatnya sangat paham dengan kerapuhan hati sahabat baiknya tersebut.
"Aku ... mau ke kafe aja," jawab Lilakanti dengan lirih.
"Kamu yakin?"
Lilakanti mengangguk dengan lemah. Dia belum sanggup untuk pulang ke rumah dan berhadapan dengan anaknya, Azrina Althafia. Lilakanti takut dia akan menangis di hadapan sang putri, karena malaikat kecilnya itu tidak boleh mengetahui kehancuran hatinya.
Kedua perempuan tersebut berjalan sambil bergandengan tangan menuju tempat parkir. Mereka berhenti tepat di teras pengadilan agama dan memandangi seunit mobil sedan merah yang melintas. Sementara pengemudinya sama sekali tidak menghiraukan mereka.
"Boleh nggak kalau aku lemparin batu ke kepalanya?" tanya Anita sambil memelototi mobil milik Baron.
"Terus dia benjut, gitu, ya?" Lilakanti balas bertanya.
"Hu um, kalau perlu sekalian kucakar itu muka sok gantengnya!"
"Dia memang ganteng, Nit."
"Kamu masih aja muji-muji. Padahal dia udah nyakitin kamu," keluh Anita. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana sahabatnya itu bisa bertahan untuk sabar, padahal mantan suaminya tersebut telah menyakiti hati sedemikian rupa.
Lilakanti mengulaskan senyuman tipis. Dia mengalihkan pandangan dan mengajak Anita menuju mobilnya. Beberapa saat kemudian mobil sedan putih telah melaju menjauhi area parkir.
Lilakanti memandangi langit siang hari yang mendung, seakan-akan menggambarkan perasaannya saat itu.
Perempuan bermata cokelat tua, menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia melakukan hal itu berulang kali, berharap bisa sedikit membantu dirinya agar bisa lebih tenang.
Sepanjang perjalanan menuju kafe milik Anita, Lilakanti merenungi nasibnya. Dia menyesal telah memilih Baron untuk menjadi suami. Padahal kedua orang tuanya tidak menyetujui hal itu, karena Baron dinilai kurang sopan dan egois.
Lilakanti tidak menduga jika karakter Baron benar-benar buruk. Berbanding terbalik dengan arti namanya yang bagus. Selain itu, Lilakanti juga menyesal telah berbuat baik pada keluarga Baron. Padahal mereka tidak mengindahkannya yang dianggap sebagai perempuan miskin.
Hanya Deandre, Adik Baron yang bersikap baik padanya. Deandre pula yang rajin mengunjungi Azrina dan bermain dengannya. Sedangkan keluarga Baron yang lainnya mengabaikan Azrina.
Dulu, Lilakanti bertahan karena sangat mencintai Baron. Dia meyakini jika pria tersebut juga mencintainya. Namun, semuanya hancur, justru di saat karier Baron menanjak, hingga dipercaya bosnya untuk menjadi direktur operasional.
Lilakanti yang mendukung karier Baron, harus menerima kenyataan pahit. Suaminya kian sombong dan akhirnya berselingkuh dengan seorang model muda bernama Calista.
Setibanya di kafe kecil milik Anita, kedua perempuan itu turun dan bergegas masuk sambil menutupi kepala dengan tas agar tidak kehujanan.
"Tin, aku pesan menu yang biasa," ujar Anita pada Titin, asistennya yang bertugas sebagai kasir.
"Siap, Bos," jawab Titin. Dia mengalihkan pandangan ke Lilakanti. "Teteh mau pesan apa?" tanyanya.
"Aku nggak lapar," sahut Lilakanti.
"Pesenin aja menu kesukaannya. Dia akan makan. Kalau perlu ... kupaksa!" ancam Anita sembari menggusur tubuh sahabatnya ke meja terdekat.
"Aku beneran nggak lapar, Nit," tolak Lilakanti.
"Mau lapar atau nggak, kamu tetap harus makan. Bukan buatmu, tapi buat Azrina!" tegas Anita.
Lilakanti terdiam sesaat, saat itu dia harus mengakui bahwa ucapan Anita itu benar. Dia tidak boleh egois. Bila dia sakit, atau hancur, lalu bagaimana nasib Azrina kelak. Padahal hanya mereka berdua sekarang yang mesti berjuang hidup, tanpa Baron.
***
Waktu bergulir dengan kecepatan maksimal. Perlahan tetapi pasti, Lilakanti sudah bisa menata hati dan kehidupannya. Bersama Azrina, Lilakanti sangat menikmati masa-masa tenang dan membahagiakan.
Hari itu, keluarga besar Lilakanti tengah berbahagia. Harun, Adik sepupu Lilakanti telah mempersunting gadis pujaannya, Sherli Marlina. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan meriah di sebuah gedung pertemuan di kawasan Buah Batu.
Keluarga besar Lilakanti sangat bangga pada Harun yang berhasil menjadi salah satu pengawal andalan PBK, perusahaan jasa keamanan terkemuka di Indonesia.
Pesta pernikahan yang megah buat Harun dan Sherli, juga merupakan hadiah dari para petinggi PBK yang dikenal sebagai 7 Power Rangers. Yakni, Alvaro Gustav Baltissen, Yanuar Kaisar, Wirya Arudji Kartawinata, Zulfi Hamizhan, Yoga Pratama, Andri Kaushal dan Haryono Abisatya Putra Daryana.
Wedding organizer yang menjadi penanggung jawab acara tersebut adalah milik Mutiara Iryana dan Edelweiss Indira Kusuma. Mutiara merupakan istri dari Arkhan Maheswara. Sedangkan Edelweiss adalah istri Axelle Dante Adhitama.
Lilakanti bekerja sebagai staf di WO itu cabang Bandung, sejak setahun terakhir. Dia dulu pernah bekerja di perusahaan sejenis. Namun, seusai menikah, Baron memintanya berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga.
Harun menjadi penghubung Lilakanti hingga bisa menemui Mutiara dan Edelweiss untuk melamar pekerjaan. Lilakanti sangat bersyukur, di tengah carut-marut kehidupannya, ada orang yang mau mengulurkan tangan membantunya. Hingga Lilakanti bisa menghidupi dirinya dan Azrina dengan layak.
"Teh, bisa tolong antarkan ini ke meja bos PC?" pinta Hasna, Adik Harun sambil mengulurkan nampan penuh cangkir kopi dan teh.
"Bisa. Sini, Teteh yang nganterin," sahut Lilakanti sembari mengambil nampan dari sepupunya.
"Punten, ya, Teh Aku lagi repot di stand makanan."
"Enggak apa-apa. Teteh juga lagi nyantai. Kamu langsung kembali ke sana."
Hasna mengangguk mengiakan. Dia berbalik dan jalan cepat menuju tempat tugasnya. Sementara Lilakanti mengayunkan tungkai menuju tempat VIP khusus bos PG dan PC.
Lilakanti mengulaskan senyuman setibanya di tempat tujuan. Dia meletakkan nampan ke meja, kemudian menyajikan minuman buat kesepuluh orang tersebut.
Lilakanti tidak menyadari bila dirinya diperhatikan pria berjas biru tua di kursi sebelah kanan. Setelah menuntaskan tugas, Lilakanti berpamitan pada orang-orang tersebut dan segera menjauh.
Perempuan bersetelan kebaya abu-abu melenggang menuju stand minuman. Dia hendak mengambilkan sop buah buat putrinya, ketika satu suara yang sangat dikenalnya memanggil dari belakang.
Tubuh Lilakanti menegang. Dia mengerjap-ngerjapkan mata sambil menenangkan diri. Kemudian dia memutar badan untuk berhadapan dengan Baron dan Calista.
"Ternyata kamu memang tidak berubah. Dari dulu gemar sekali menjadi pembantu," ledek Baron.
"Kenapa memangnya? Ini pesta adikku. Sudah sewajarnya aku turut membantu," jawab Lilakanti sambil berusaha tetap tenang.
"Posisi ini memang pantas buatmu."
"Mungkin begitu, seenggaknya aku masih berguna buat orang lain. Bukan menjadi parasit."
"Justru kamu itu parasit. Selama menikah, kamu numpang hidup sama aku!"
"Kan, kamu yang memintaku berhenti kerja. Lagi pula, kalau memang tidak mau menafkahi, nggak usah nikah. Bikin repot orang aja."
"Kamu memang nggak tahu diuntung! Sudah bagus aku menjadikanmu istri dan memberimu hidup nyaman!"
"Justru itu yang sangat kusesali. Mengenal dan menikah denganmu. Dasar, Brengsek!"
"Sudahlah, Mas. Jangan bertengkar," sela Calista sambil mengusap lengan Baron. "Enggak perlu beradu mulut dengan sampah," cibirnya.
"Heh! Kamu bilang aku sampah? Lalu, pelakor dan perebut suami orang, itu namanya apa? Septic tank!" hardik Lilakanti. Dia benar-benar sudah tidak bisa bersabar menghadapi hinasn Calista.
"Mbak, harusnya kamu ngaca, deh. Lihatlah, penampilan kita beda jauh. Kamu nggak bisa mengurus diri. Makanya ditinggal suami, dan nggak laku lagi," hina Calista.
"Siapa bilang nggak laku? Aku bisa mendapatkan orang yang jauh lebih kaya dan tampan dibandingkan si brengsek ini!"
"Buktikan saja. Aku sama sekali tidak percaya kamu sanggup melakukan itu."
"Ada apa, Sayang?" tanya seorang pria yang telah berada di samping kiri Lilakanti. "Kenapa ribut-ribut? Lihat, kalian ditonton banyak orang," lanjutnya sambil memindai sekitar.
Lilakanti terkejut menyaksikan pria yang tadi diantarkan minuman olehnya, telah memanggilnya dengan sebutan sayang. Otak Lilakanti berputar cepat, hingga dia meyakini jika lelaki tersebut tengah berakting dan Lilakanti akan mengimbanginya.
"Ini, mantan suamiku dan septic tank. Maksudku, selingkuhannya," terang Lilakanti seraya memaksakan senyuman.
"Oh, yang kamu ceritakan itu, ya?" tanya pria berjas biru.
Lilakanti mengangguk mengiakan. Dia kaget ketika pria tersebut mengulurkan tangan kanannya pada Baron, yang sempat terdiam sesaat sebelum berjabatan.
"Perkenalkan, saya, Farisyasa Kagendra. Calon suaminya," ungkap pria berparas tampan seraya mengulaskan senyuman.
60Jalinan masa terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu semua umat Islam di seluruh dunia. Farisyasa dan Lilakanti serta yang lainnya berangkat menuju gedung KBRI di pusat kota, dengan menggunakan tiga mobil SUV. Sesampainya di tempat tujuan, mereka turun dan bergabung dengan banyak orang, yang juga hendak menunaikan salat Ied. Azrina mengulaskan senyuman saat bertemu dengan beberapa bocah asal Indonesia, yang ikut bersama orang tua masing-masing. Puluhan menit terlewati, salat Iedul Fitri telah usai. Semua orang beranjak memasuki ruangan luas dan antre di beberapa meja prasmanan. Lilakanti mengambilkan makanan buat anaknya terlebih dahulu, kemudian dia mengambil opor, rendang dan sambal goreng kentang cukup banyak untuknya sendiri. Dia hanya menuangkan sedikit lontong ke piring. Kemudian Lilakanti meraih beberapa tusuk sate dan meletakkannya ke atas lontong. "Ma, yakin habis segitu banyak?" tanya Farisyasa, sesaat setelah Lilakanti menduduki kursi di sebelah kanannya.
59Hari berganti menjadi minggu. Farisyasa telah pulih dan beraktivitas seperti biasa. Namun, dia terpaksa tidak berpuasa, sampai kondisi perutnya benar-benar sembuh. Lilakanti tetap menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Dia tidak mau Azrina sendirian jika ditinggal bekerja. Gadis kecil tersebut juga masih cuti sekolah, supaya bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Pagi itu, Farisyasa baru selesai mandi ketika Lilakanti menerobos ke toilet. Pria bermata sipit, terkejut melihat istrinya yang tengah mengeluarkan isi perut ke kloset. Dengan sigap, Farisyasa memegangi Lilakanti dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memyambar selang shower kecil dan menyirami kloset hingga bersih. Setelahnya, Farisyasa menuntun Lilakanti ke kamar. Dia membantu menyelimuti perempuan tersebut yang mengeluh kedinginan. Farisyasa meraba dahi Lilakanti dan kaget karena kening istrinya panas. Pria yang hanya mengenakan handuk, mengambil termoteter dari laci untuk mengukur suhu tubuh Lilakanti.
58Jalinan waktu terus berputar. Tibalah saat membahagiakan bagi seluruh umat Islam di dunia. Bulan Ramadhan menjadi waktu yang paling pas untuk memperbanyak ibadah. Sekaligus melatih kesabaran diri. Bagi Farisyasa dan yang lainnya, berpuasa di tempat di mana Islam adalah agama minoritas, menjadi satu tantangan tersendiri. Sebab mereka harus ekstra keras memperluas kesabaran, bila kebetulan menyaksikan orang-orang yang tengah makan ataupun minum di siang hari. Bila bagi orang dewasa, berpuasa di negeri orang sudah berat. Hal itu menjadi ujian paling sulit yang harus dijalani Azrina. Meskipun di sekolahnya, sang kepala sekolah sudah meminta murid-murid lain untuk tidak bersantap di depan Azrina, tetapi masih ada saja yang melakukannya tanpa sengaja. Seperti hari itu, Azrina menggigit bibir bawah saat menyaksikan seorang temannya tengah meminum susu cokelat. Gadis kecil bersweter biru benar-benar haus, hingga akhirnya Azrina menangis. Sang guru yang bernama Michelle, segera membujuk
57Hari kedua di Quebec, Langdon mengajak rekan-rekannya mengunjungi keluarganya. Perjalanan hampir 30 menit itu usai, saat mereka tiba di pekarangan luas depan rumah besar berarsitektur khas Eropa. Lilakanti terperangah. Dia bahkan memegangi dinding dan pintu model klasik yang sangat disukainya, sembari bergumam sendiri. Kala kedua orang tua Langdon keluar untuk menyalami para tamu, Lilakanti langsung menerangkan kekagumannya akan bangunan itu. Percakapan dilanjutkan di ruang tamu yang terkesan hangat. Sekali lagi Lilakanti terpesona, dan dia sibuk mengamati cerobong asap model lama dengan detail batu bata merah ekspos. "Pa, bisa, nggak? Rumah kita dibikin kayak gini?" tanya Lilakanti setelah kembali duduk di sebelah kiri suaminya. "Bandung sudah panas. Nggak perlu bakaran," jawab Farisyasa. "Iya, nggak usah yang itu. Tapi, dindingnya Mama mau kayak gini." Farisyasa mengangkat alisnya. "Kalau renovasi total, nggak jauh dari 1 miliar, Ma." "Enggak perlu semua. Kamar kita, ruang
56Jumat pagi, seunit mobil SUV biru tua melaju di jalan raya menuju bandara Vancouver. Langdon, supervisor proyek yang berada di kursi samping kiri sopir, menerangkan berbagai hal tentang Quebec pada penumpang lainnya. Quebec adalah provinsi di timur laut Kanada, yang merupakan provinsi terbesar dari 10 provinsi di negara itu. Sebagian besar penduduknya tinggal di bagian selatan provinsi tersebut.Sebagai salah satu provinsi pendiri Kanada dan satu-satunya provinsi dengan mayoritas penduduk berbahasa Prancis, pemerintah provinsi Quebec memiliki kendali yang signifikan atas urusan-urusannya.Langdon yang orang tuanya bermukim di pinggir Kota Quebec, begitu antusias menerangkan kota kelahirannya. Sesampainya di bandara, semua orang turun. Andi, Ibrahim dan Maher bergegas menurunkan semua koper dan tas travel dari bagasi, kemudian mereka ikut menyalami sang sopir yang akan kembali ke tempat proyek. Langdon dan Farisyasa jalan berdampingan sambil menyeret koper masing-masing. Lilakant
55Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu merotasi hari hingga berganti ke minggu dan bulan. Musim dingin telah berakhir di Vancouver. Bunga-bunga bermekaran dengan indah untuk menyambut musim semi nan cerah. Lilakanti sudah memiliki teman-teman baru, yakni para penghuni apartemen tempatnya tinggal. Demikian pula dengan Azrina. Bahkan gadis kecil tersebut ikut bersekolah di kindegarten, yang letaknya tidak jauh dari bangunan apartemen. Selain berteman dengan penghuni, Lilakanti juga makin akrab dengan Thalita Pangestu, anak Tanvir Pangestu, sekaligus keponakan Linggha. Thalita dan Devi, sahabatnya, tengah menempuh pendidikan sarjana di tahun terakhir. Selain kuliah, keduanya juga menyambi kerja untuk mengelola kafe milik Falea, istri Benigno, yang dulu sempat menetap di Vancouver selama dua tahun.Lilakanti juga bekerja di kafe itu sebagai staf keuangan sekaligus kasir freelance. Waktu kerjanya dimulai dari jam 9 pagi hingga 3 sore.Lilakanti juga kian dekat dengan Rosemund al
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments