Kirani tidak membayangkan akan menjadi istri seorang Joniadi. Di dalam hati sama sekali tidak terbersit sedikit pun akan melepas masa lajang dengan pria lain selain Raka. Memang tidak mungkin sebab Raka sudah tidak ada di dunia ini. Hari pernikahan akhirnya tiba. Seluruh tamu undangan terlihat sangat bahagia bisa menjadi saksi pernikahan Kirani dan Joniadi. Proses akad dan resepsi berjalan lancar dan tanpa halangan.
"Aku beruntung bisa menjadi suami mu, Rani," ujar Adi menatap lekat wajah istri tercinta."Alhamdulillah, Mas." Rani melirik wajah suami lalu kembali menunduk.Perasaan hambar dirasakan seorang Rani. Sama sekali belum tumbuh perasaan cinta. Rasa sayang saja sama sekali tidak ada. Hanya permintaan dari Bapak yang membuat Rani terpaksa mau menikah dengan Joniadi."Ya Allah, aku menjalani pernikahan tanpa cinta. Aku harus bisa menumbuhkan benih-benih cinta ke Mas Adi. Dia sudah menjadi suami ku," batin Rani meremas gaun pernikahan yang bernuansa gold.Tamu masih silih berganti berdatangan untuk datang ke pernikahan. Terpancar wajah bahagia dari Bapak Rani. Menyambut tamu undangan dengan senyum sumringah dan tidak terlihat raut lelah yang menghiasi wajah Bapak.Tidak terasa waktu sudah memasuki senja dan sudah tidak terlihat lagi tamu yang datang. Bapak mengobrol dengan menantu di teras depan sambil menikmati teh hangat. Rani mengintip dari celah tirai ruang tamu."Kenapa tidak ikut bergabung dengan Bapak dan suami mu, Ran?""Oh iya, selamat ya Rani? Akhirnya kamu sekarang sudah menikah dan doakan agar aku segera menyusul." Lintang memeluk Rani dengan kecupan di pipi kanan dan kiri bergantian."Sini, Rani! Temani Adi dan Bapak duduk di sini!" Bapak melambaikan tangan menoleh ke belakang."Iya, Pak. Rani sama Lintang dulu ya, Pak." Rani berteriak dari ruang tamu lalu menunduk sangat dalam.Adi senyum sendiri sambil memainkan ponsel di tangan kiri. Bapak santai sekali mengobrol dengan Adi. Sesekali terdengar tawa Bapak yang membuat teduh hati Rani."Sampai kapan?" Terdengar pertanyaan yang sekejap membuat Rani mengernyitkan alis."Maksud kamu?""Ran, kamu sudah mempunyai suami. Aku tahu belum ada perasaan cinta untuk Mas Adi. Aku ingin kamu perlahan bisa mencintai dia. Kamu akan dosa besar jika cuek dan acuh sama Mas Adi," ujar Lintang membelai wajah Rani.Rani menghela napas panjang lalu mengembuskan perlahan. Dada terasa berat untuk bernapas. Pikiran tidak karuan dihantui rasa takut. Terbayang wajah Raka lalu berganti menjadi Adi.Lintang sangat paham dan seperti ikut merasakan semua yang dirasakan Rani. Hanya mampu sebatas memberikan nasihat yang terbaik untuk sahabat baik nya itu."Berat. Ini semua terasa sangat berat, Lin. Aku belum terlalu mengenal Mas Adi. Dia dari dulu sangat menggebu sekali mengejar aku. Sangat risih sekali rasa nya, Lin," terang Rani sambil menampakkan wajah risih dan geli."Semua sudah menjadi takdir Allah SWT. Orang yang mengejar cinta mu sudah menjadi suami mu. Kamu harus bisa mencintai Mas Adi agar terhindar dari dosa seorang istri pada suami, Ran," ucap Lintang penuh penekanan."Kamu sudah menjadi anak yang berbakti sama Bapak. Kamu menuruti perintah beliau untuk segera menikah. Sekarang tinggal berbakti sama suami mu," tambah Lintang.Lintang beranjak dari sofa lalu meraih pundak Rani. Mereka berpelukan cukup lama. Tangisan Rani tumpah di pelukan Lintang. Sebisa mungkin Lintang menahan air mata yang memenuhi kelopak mata indah nya."Iya, Lintang. Semua nasihat mu akan aku lakukan. Aku akan menjalankan kewajiban ku sebagai seorang istri. Terima kasih ya, Lintang? Semoga kamu juga cepat menemukan jodoh mu kembali." Rani memeluk erat tubuh Lintang yang mungil.Lintang berpamitan dengan Bapak Rani dan Adi dengan melempar senyuman. Berjalan pelan menuju halaman rumah. Rani duduk di samping Adi dengan senyuman manis ke arah Lintang. Adi terkesima menatap wajah Rani tanpa riasan pengantin. Sangat anggun dan aura kecantikan sangat terpancar."Ran, teman mu itu yang pernah kamu ceritakan dulu?" Adi menoleh ke Lintang yang sudah menaiki sepeda."Iya, Mas. Suami Lintang meninggal setahun yang lalu. Tapi, dia wanita yang tegar dan kuat. Berbeda dengan...""Sudah, Rani! Bapak, sangat bahagia sekali hari ini! Sangat bahagia! Bapak, gak mau kalau Rani atau Adi hari ini merasa sedih! Harus bahagia!" Bapak merangkul Adi dan Rani dengan haru bahagia.Adi melirik Rani dengan tatapan tajam tanpa senyuman. Sedangkan, Rani menunduk diam dan tanpa senyuman kembali teringat Raka.Sekilas ingatan Rani kembali terlempar ke masa sebelum menikah dengan Adi. Meremas kedua tangan seakan obrolan Bapak dan Adi tidak bisa ia dengar.Saat sore hari menjelang malam hati Rani tersentak untuk menceritakan semua yang terjadi ke Bapak. Tidak ingin menunda lagi karena yang terpikir hanya satu, kesehatan Bapak."Bapak, Rani mau cerita sesuatu," ujar Rani sambil menunduk dalam.Bapak mengangkat dua alis dengan lirikan penuh rasa penasaran. Ditatapnya putri tercinta dengan senyuman teduh seorang Bapak.Perasaan Rani kala itu sangat nyaman dan terasa begitu hangat. Tanpa sadar memeluk tubuh yang renta itu dengan erat. Bapak semakin penasaran dengan perubahan sikap Rani.Seperti memendam suatu masalah tapi berat untuk diceritakan. Tapi, seorang Ayah tidak akan menyerah sampai anaknya mau bercerita. Yang dimiliki Rani hanya Ayah. Ibu sudah lama meninggalkan mereka berdua."Bapak, Rani...""Rani, cerita saja! Bapak, siap mendengar. Apa ini menyangkut Adi?" Bapak menjurus pada poin masalah.Rani mengangguk cepat seraya meremas tas di atas kedua paha. Wajah Bapak menjadi sendu dalam sekejap. Seperti paham dengan apa yang akan dikatakan Rani."Iya, Bapak paham sekali. Rani, tidak ingin menikah dengan Adi. Cinta memang tidak bisa dipaksakan dan Bapak ini juga semakin tua, Rani." Bapak beranjak berdiri perlahan sembari memegang tongkat di tangan kanan.Rani turut beranjak berdiri menghampiri Bapak. Menatap wajah yang semakin tua itu dengan tatapan nanar dan sedih. Perlahan memegang kedua tangan Bapak."Pak, Rani dan Mas Adi sebentar lagi akan menikah." Rani tersenyum sambil sekuat tenaga menahan tetesan air mata."Apa?" Bapak terpaku tidak bergerak beberapa detik.Dalam hati sangat bahagia sekali melihat putri tercinta akan segera menikah. Rasa senang yang berlebihan membuat jantung Bapak kambuh lagi."Bapak! Sudah, istirahat saja! Rani, mau masak makanan malam dulu untuk Bapak. Ayo, masuk kamar!" Rani memapah Bapak sedikit demi sedikit menuju ke kamar."Rani! Kamu melamun? Bapak, dari tadi memanggil nama mu," kata Adi menepuk agak kencang pundak Rani."Iya? Ada apa, Mas?" Rani panik lalu menoleh ke Bapak."Rani, kamu kenapa? Aku ingin mengajak kamu ke Jakarta. Apakah kamu mau?" tanya Adi setengah ragu."Jakarta? Kenapa mendadak? Bapak tidak mungkin sendiri di sini," jawab Rani cemas.Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be