Share

2. Noda Merah

Penulis: Nana Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-21 12:32:56

"Bapak, Rani boleh ikut saya ke Jakarta?" tanya Adi setengah tidak yakin.

"Boleh, tentu saja boleh. Rani, sudah menjadi istrimu. Kamu berhak atas Rani," sahut Bapak senang.

Rani ikut tersenyum lega mendengar perkataan Bapak. Adi sedikit meremas tangan Rani lalu melempar senyuman termanis nya untuk istri tercinta.

Rani menyusul suami ke dalam kamar. Berhenti di pinggir pintu saat melihat Adi sibuk menyiapkan baju, tas, dan lainnya. Tanpa sadar senyuman tipis mengembang di wajah ayu nya.

"Mas, biar Rani saja yang menyiapkan semua. Aku 'kan sudah jadi istri nya mas Adi. Lupa ya?" Rani sedikit cemberut mendekati suami.

"Aku gak mau merepotkan kamu, Rani. Kamu sudah capek menyiapkan semua. Seharian menyambut tamu dengan senyuman tidak lah mudah." Adi mencubit hidung Rani yang mancung.

Rani menggelengkan kepala dengan perasaan bahagia. Sedikit demi sedikit membantu menyiapkan kebutuhan suami untuk perjalanan ke Jakarta.

"Mas, soal tadi aku minta maaf, ya? Aku lelah sekali dan kamu juga pasti juga lelah. Aku tidak tega kalau harus merepotkan mu." Rani melirik suami sembari melipat baju.

"Rani, kita sama-sama lelah. Wajar kalau kamu masih ingat sama Raka. Tidak perlu minta maaf," sahut Adi menoleh ke istri nya sebentar.

Rani dan Adi sibuk menyiapkan baju, celana, peralatan yang dibawa ke Jakarta. Tanpa mereka sadari ada yang memerhatikan dengan wajah sedih, Bapak.

"Kamu sekarang sudah menikah, Ran. Bapak, juga sudah mempersiapkan mental dan fisik untuk sendiri tanpa kamu dari dulu," lirih Bapak di dekat pintu kamar.

***

"Bapak, Rani dan Mas Adi ke Jakarta dulu, ya? Bapak, hati-hati di rumah. Sudah ada makanan yang bisa tinggal dihangatkan saja. Rani, juga sudah pesan ke Bu Ratna buat..."

"Rani, stop! Bapak, ini bukan anak kecil. Kamu dan Adi tenang saja. Bapak, bisa sendiri di rumah." Bapak tersenyum memegang pundak Rani dan Adi.

Netra Rani dan Adi saling berpandangan sekejap lalu menunduk. Bapak mulai merasakan kalau anak dan mantu tidak tega meninggalkan di Solo sendiri.

"Sudah, cepat berangkat! Nanti keburu malam." Bapak mengecup kedua pipi Rani dan Adi secara bergantian.

Rani bergandengan dengan Adi menuju ke mobil. Baru beberapa langkah sudah menoleh ke belakang. Rani berusaha sebisa mungkin agar tidak meneteskan air mata. Adi merangkul istri nya dengan sedikit bisikan kata di telinga.

Rani mengangguk  dengan wajah sendu lalu berjalan lurus ke depan. Adi membuka kan pintu mobil untuk Rani dengan melambaikan tangan ke Bapak.

"Iya, Nak! Kalian hati-hari di jalan! Kalau sudah sampai di Jakarta hubungi Bapak!" Bapak berteriak agak kencang.

Air mata sudah tidak kuat lagi untuk ditahan. Perlahan menetes menyusuri wajah keriput paruh baya. Menurunkan tangan dengan helaan napas yang berat.

Melepas Rani adalah pilihan yang tidak mudah. Namun, jika tidak dilepas maka Rani tidak akan menemukan sosok suami yang kini ada di samping nya.

"Bu, Bapak sekarang sendiri. Tidak ada siapa-siapa lagi. Rani, sudah bahagia dengan suami nya. Bapak, juga ikut bahagia, Bu," lirih Bapak sambil menunduk sangat dalam. Tetesan air mata tidak berhenti mengiringi kepergian Rani ke Jakarta.

Selama perjalanan Rani hanya diam. Menangis karena tidak tega meninggalkan Bapak sendiri di Solo. Adi tidak berhenti mengelus punggung tangan Rani.

"Rani, besok malam kamu bisa pulang lagi. Saya antar ke bandara. Jarak Jakarta dan Solo 'kan tidak begitu jauh." Adi berusaha menghibur Rani. Wajah dipenuhi air mata kesedihan.

"Iya, Mas Adi. Rani, juga bimbang. Mas Adi di Jakarta, tetapi Bapak di Solo sendirian, Mas." Rani mengusap air mata dengan jari tangan.

Setelah menempuh perjalan yang jauh, Rani dan Adi sudah sampai di Jakarta. Adi membangunkan Rani perlahan.

"Sayang, kita sudah sampai." Adi meniup wajah istrinya masih lelap.

"Sudah sampai? Ini rumah nya?" Mata Rani terbelalak kaget. Melihat penampakan rumah yang besar dengan taman hijau di depan. Ada beberapa lampu untuk menerangi taman.

Pandangan Rani tidak hanya berhenti sampai di situ. Bertambah kaget lagi saat menoleh ke belakang ada pintu pagar tinggi dan besar. Adi memutar dagu Rani perlahan.

"Kamu kenapa? Ada yang aneh sama rumah kita?" Adi heran diselingi senyuman manis.

"Rumah kita? Rumah sebesar ini punya mas Adi?" Rani melongo dan tidak mengedipkan mata.

"Iya, Rani. Ini rumah ku sendiri. Sekarang menjadi rumah kita. Aku sudah kerja hampir sepuluh tahun. Wajar kalau aku mendapatkan semua ini." Adi merangkul Rani masuk ke dalam rumah.

Rani mendongak ke atas masih belum berhenti terpana. Rumah Adi sangat bagus dan mewah. Rani tidak menyangka kalau Adi di Jakarta sudah menjadi orang yang sukses.

"Mas, gak kesepian di rumah besar seperti ini?" tanya Rani heran.

"Mas, sudah terbiasa sendiri. Sekarang 'kan juga ada kamu." Adi mengunci pintu rumah lalu berjalan mendekati Rani.

"Iya, Mas. Rani, akan di sini menemani Mas Adi. Bapak, juga sudah tahu kalau kita sudah sampai di Jakarta." Rani duduk di kursi empuk berwarna silver.

Adi merangkul istrinya dengan erat. Kepala Rani bersandar di bahu Adi. Merasa sangat nyaman dan hangat sekali. Keduanya memejamkan mata.

***

"Rani, kasihan Bapak di rumah sendiri. Kamu menyusul ke sini seminggu sekali atau dua minggu sekali tidak masalah." Adi bersiap memakai pakaian kerja.

"Mas, terima kasih sudah sayang dan perhatian ke Bapak. Iya, Rani akan nurut sama Mas Adi. Rani, pulangnya sore nanti saja, ya? Nunggu Mas Adi pulang kerja." Rani merapikan dasi dan kerah baju Adi.

"Mas, nanti akan segera pulang. Kamu naik pesawat saja, ya? Maaf, aku tidak bisa mengantar sampai Solo pakai mobil," ujar Adi memeluk tubuh Rani.

Selama Adi di kantor, Rani sibuk membereskan rumah. Memasak makanan dan melakukan apa pun agar tidak bosan di rumah. Tanpa sadar sudah terdengar azan ashar.

Langkah Rani berhenti saat mendengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Segera bergegas keluar menyambut suami tersayang.

"Mas Adi, terima kasih? Melihat hati mu yang baik dan sayang sama Bapak membuat aku makin luluh. Kamu juga ternyata sayang sekali sama aku." Rani membatin dengan senyuman mengembang di wajah.

"Rani, semua sudah siap? Istri ku, cantik sekali." Adi mengecup kening Rani.

Rani membawakan tas suami lalu bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Adi mencium aroma masakan yang harum sekali.

"Ayo, makan! Aku sudah tidak sabar!" Adi beranjak berdiri lalu dihadang oleh Rani.

"Ganti baju dulu! Cuci tangan baru makan." Rani tersenyum hangat membantu suami melepas kemeja putih.

"Aku ambil baju dulu di dalam kamar." Adi menaiki tangga dengan langkah cepat. Tidak sabar menikmati masakan istri tercinta.

Rani tersenyum geli melihat tingkah suami lalu menunduk. Pandangan Rani teralihkan ke noda merah di kerah kemeja Adi.

"Apa ini?" Rani meraba bekas merah yang menempel di kerah pakaian Adi.

"Ini 'kan? Astagfirullah, tidak mungkin!" Rani tidak berhenti menggosok bekas merah itu dengan kasar.

Rani terduduk lemas di atas lantai. Tangan dan bibir Rani bergetar dengan wajah mendadak pucat. Memejamkan mata diiringi keringat dingin membasahi seluruh tubuh.

"Sayang, kamu kenapa menggigil? Kamu sakit?" tanya Adi panik berjalan cepat turun dari tangga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kerah Baju Bernoda Merah   60. Jarang Pulang

    Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel

  • Kerah Baju Bernoda Merah   59. Kenapa Berubah Lagi?

    Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb

  • Kerah Baju Bernoda Merah   58. Sebuah Pelukan

    "Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se

  • Kerah Baju Bernoda Merah   57. Masih Bertahan

    Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit

  • Kerah Baju Bernoda Merah   56. Masa Pendekatan

    Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam

  • Kerah Baju Bernoda Merah   55. Mulut Manis Citra

    Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be

  • Kerah Baju Bernoda Merah   54. Suami Kasar

    "Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me

  • Kerah Baju Bernoda Merah   53. Bujuk Rayu

    Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan

  • Kerah Baju Bernoda Merah   52. Susah Lepas

    Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status