Share

Memanfaatkan Kesempatan

Melviano

Di luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.

Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.

Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?

Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.

“Masuk,” sahutku singkat.

“Pak Franky datang, Pak,” ujar Vidya setelah muncul di sela pintu.

“Suruh masuk.”

Sekarang aku berada di kantor pusat daerah Jenderal Sudirman. Beginilah keseharianku. Berjalan dari satu gedung ke gedung lain. Mengelola perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang, ditambah lagi dengan perusahaan startup yang baru dibangun satu tahun ini, membuat aku berpindah-pindah dan membagi waktu.

“Gimana? Udah ada kabar belum dari si Betty?” celetuk Franky begitu masuk ke ruangan.

Aku menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu.

“Sok jual mahal juga tuh cewek.” Franky duduk di sofa yang ada di tengah ruangan, lantas menaikkan sebelah kaki.

“Bikinkan kopi dua, Vid,” pintaku ketika Vidya masih berdiri di dekat pintu.

“Baik, Pak.” Gadis yang tidak lagi muda itu membungkukkan tubuh sebelum beranjak dari sana.

Ah, aku lupa bercerita kalau Vidya sampai sekarang belum menikah. Mungkin bekerja denganku membuatnya terlalu sibuk, sehingga tidak memiliki waktu berkencan. Sepertinya aku harus memberikan liburan agar ia bisa menikmati hidup dan mencari jodoh. Apalagi usianya sudah lebih dari tiga puluh tahun.

“Tahu ah, Frank. Pusing gue.” Aku mengembuskan napas singkat saat menyandarkan punggung di sofa single.

“Mungkin lo terlalu keras kali, jadinya dia nggak mau. Udah ilfil duluan kayaknya,” cetus Franky cekikikan.

“Sialan lo. Gue mana bisa lembut-lembut sama cewek.”

Franky menegakkan tubuh dan mematutku lama. Dia mengusap dagu sebentar.

“Lo itu banyak berubah sejak Kalila wafat, Mel.” Dia menatapku serius sekarang. “Kalau bukan sama gue, lo jarang tersenyum. Kaku banget itu muka. Jadi dingin juga sama cewek.”

Aku mengusap wajah, lalu mendesah. Apa yang dikatakan Franky benar, terlalu banyak perubahan dalam diriku sejak Kalila pergi.

“Melviano yang hangat udah nggak ada lagi. Melviano yang biasanya ramah dan berhati lembut, sekarang jadi kejam dan galak.” Franky mendesah pelan. “Lo nggak capek kayak gitu, Mel? Maksud gue menunjukkan sikap yang bukan lo banget.”

Aku menengadahkan kepala, sehingga netra ini melihat ke arah plafon. “Lo nggak kerja, Frank? Tumben jam segini udah keluyuran.”

Franky berdecak ketika pertanyaannya tidak dijawab. “Gue ngomong kayak gini karena peduli sama lo, Mel. Nggak sanggup lihat hidup lo berubah drastis.”

Kembali dialihkan pandangan kepada Frank yang menatapku sendu. Aku benci dikasihani seperti ini. Sungguh! Tapi tidak bisa marah juga kepada sahabatku itu.

“Coba lo hubungi Sasi,” sarannya kemudian.

“Trus?”

“Ceritakan sejujurnya dan bilang tentang ancaman Tante Fani.” Franky memajukan tubuh ke depan, lalu menumpu kedua tangan di atas paha. “Perempuan biasanya kalau udah menyinggung sosok Ibu, pasti luluh. Lo bilang ibunya udah lama meninggal, ‘kan?”

Aku mengangguk membenarkan.

Franky memantik jari, lalu menggoyang-goyangkan telunjuk. “Itu dia. Bakalan berhasil tuh.”

“Gitu ya?”

“Iya, Melviano. Udah buruan telepon gih sana. Turunkan ego lo dikit aja. Ingat, saat ini lo yang butuh bantuan dia. So, kalau perlu berlutut memohon di depannya.” Franky terkekeh di ujung kalimat.

“Kampret lo. Sahabat macam apa sih yang tertawa di atas penderitaan sahabatnya,” maki-ku kesal.

Sorry, habis gue tadi bayangin lo berlutut di depan si Betty,” ledek Franky tergelak lagi.

Belum sempat membalas perkataannya, sebuah panggilan masuk ke ponsel. Mata sipit ini melebar ketika melihat nama yang tertera pada layar, Sasikirana. Di saat yang bersamaan Vidya masuk membawakan dua cangkir kopi.

“Dia telepon, Frank,” seruku memperlihatkan layar ponsel.

“Apa gue bilang, dia cuma sok jual mahal. Buruan angkat.” Franky tampak antusias, lalu beranjak duduk di lengan sofa single ini.

Aku berdeham beberapa kali sebelum menggeser tombol hijau yang ada di layar.

“Ingat, jangan jutek,” bisik Franky yang berada tepat di samping kananku.

“Sore,” sapaku setelah menggeser tombol hijau.

“Halo, Pak,” balasnya dengan napas terdengar sesak.

“Kamu kenapa?” tanyaku spontan.

“Saya … butuh bantuan Bapak.”

Benar-benar gadis aneh. Harusnya aku yang butuh bantuan, bukan dia.

“Ada apa?”

“Bapak bisa datang ke rumah sakit Pasar Minggu sekarang?” Nada suaranya terdengar panik.

“Rumah sakit?”

“Iya, RSUD Pasar Minggu.”

“Ngapain?”

“Nanti saya ceritakan, Pak. Penting banget. Urgent!” desaknya tidak sabar.

Aku mendesah pelan. “Ya sudah, kamu sekarang ada di bagian mana?”

“Kandungan, Pak.”

“Kandungan?” Aku melongo ketika mengalihkan pandangan kepada Frank.

Kedua alis Franky nyaris beradu saking bingungnya.

“Dia hamil?” bisik Franky.

Aku menggelengkan kepala, menandakan tidak tahu.

“Ya udah, sepuluh menit lagi saya sampai di sana.”

“Makasih banyak ya, Pak,” ucapnya sebelum panggilan berakhir.

“Mampus lo, Mel. Dia hamil terus minta bantuan lo buat jadi ayah janinnya.” Franky berdecak berkali-kali. “Hebat juga tuh si Betty. Siapa sih yang mau hamilin cewek kayak dia?”

Aku langsung berdiri tanpa menghiraukan celotehan Franky. Ketika akan berjalan menuju meja untuk mengambil jas, netra ini melihat Vidya masih mematung tak jauh dari tempatku duduk tadi.

“Kamu ngapain di sana? Balik kerja lagi. Saya mau ke luar sebentar,” kataku mengerling ke arah pintu.

Seperti biasa, Vidya membungkukkan tubuh sebelum keluar dari ruangan.

“Lo mau jadi ayah dari anak yang bukan darah daging lo, Mel?” celoteh Franky lagi.

“Jangan berpikiran aneh-aneh deh, Frank.”

“Trus ngapain coba si Betty di sana sekarang?”

Aku mengangkat bahu. “Jawabannya akan ketemu kalau kita udah di sana. Lo mau ikut nggak?”

“Ikut dong. Lumayan dapat tontonan gratis,” candanya tidak lucu.

“Ke sana pake mobil lo aja.”

“Siap,” sahutnya ketika kami berjalan beriringan menuju lift.

Selang sepuluh menit kemudian, mobil BMW tipe sedan yang dikendarai Franky memasuki pelataran parkir RSUD Pasar Minggu. Setelah memarkir kendaraan roda empat itu, kami segera memasuki gedung rumah sakit dan mencari keberadaan bagian kebidanan.

Tanpa susah-susah mencari, aku bisa langsung melihat seorang gadis berambut keriting yang terikat ke atas. Wajahnya dihiasi kacamata tebal. Pakaian yang dikenakan sangat kuno, celana kulot longgar dan blus katun. Franky benar, Sasi memang mirip dengan Betty tanpa poni dan kawat gigi.

Dia tersenyum lebar ketika melihat kedatanganku di sana. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, hanya senyum dan deret gigi putih itu yang menarik dari dirinya. Harus diakui, Sasi memiliki senyum yang cukup … manis.

“Syukurlah Bapak datang tepat waktu,” cicit Sasi dengan wajah masih terlihat panik.

“Ada apa ini?” Aku masih penasaran.

Dia malah menarik tanganku memasuki ruang pemeriksaan bagian kebidanan. Kutinggalkan Franky sendirian di luar.

“Di dalam sana ada orang yang butuh pertolongan Bapak,” ujar Sasi saat kami berada di depan pintu ruang bersalin.

“Mbak Nisa mau melahirkan dan harus segera dioperasi, karena ketuban pecah dan bayinya dililit tali pusar,” jelasnya lagi.

Aku mulai paham, tapi ….

“Apa hubungannya dengan saya?”

“Mbak Nisa, anak dari karyawan yang mengabdikan diri sebagai petugas parkiran basemen di gedung milik keluarga Bapak.” Dia menarik napas mencoba menenangkan diri. “Mbak Nisa nggak punya uang untuk biaya persalinan. Sebenarnya ada sih, Pak. Uang polis asuransi ayahnya, tapi proses pencairannya terlalu lama dan nggak bisa sekarang.”

“Lalu?” Aku mulai menangkap ke mana arah pembicaraannya.

“Bisa nggak Bapak bantu dulu talangin biaya persalinannya? Nanti diganti kalau dana asuransi udah cair.” Dia melihatku dengan tatapan memohon.

Wah! Tidak disangka gadis ini memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Dia kembali meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. “Please, Pak. Cuma Bapak yang bisa bantu. Anggap aja bantu karyawan yang udah lama kerja di perusahaan Bapak.”

Aku melihat kepada tautan tangan kami berdua. Ada sebuah rasa yang tidak dimengerti hinggap di dalam diri ini. Selain itu, aku juga merasakan damai dan tenang.

Netraku ini memandang lekat paras Sasi yang sama sekali tidak menarik, meski hidungnya mungil dan mancung. Tampak ketulusan dari pancaran mata hitam lebar miliknya.

“Oke. Saya akan bantu, tapi dengan satu syarat.”

“Apapun akan saya lakukan, Pak.” Nada suaranya terdengar pasrah.

Kalian dengar dia berkata akan melakukan apapun? Inilah kesempatan emas, agar dia mau menolongku.

“Kamu harus menyetujui permintaan saya sebelumnya. Gimana?” tanyaku tersenyum miring.

“Hah?” Mata lebarnya membulat, seiringan dengan bibir yang ternganga.

Bersambung....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
duh, Sashi.. kena jebakan betmen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status