Sasikirana
Apa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?
Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?
“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.
Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.
“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano semakin membuatku bingung.
“Minta tolong gimana, Pak?”
Kenapa dia jadi kayak orang kebingungan gini sih? Ini beneran Pak Melviano pengusaha hebat itu, ‘kan? Bukan orang yang mirip dengannya?
Belum sempat si Om Pak Melviano ini menjawab pertanyaan yang diajukan tadi. Aku dikagetkan dengan kehadiran roh wanita yang selalu membuntutinya. Tumben telat, biasanya sudah berdiri di samping pria itu.
Ketika Pak Melviano berpikir, aku memilih fokus melihat roh yang berdiri di sampingnya. Tidak ada tatapan sinis yang dilayangkan kepadaku. Wanita cantik tapi pucat itu melihatku dengan tatapan seperti … cemburu?
“Begini, Sasi. Beberapa hari yang lalu saya terkena masalah.”
Pak Melviano mulai bercerita. Sepertinya sih mau ceritakan kejadian kami terjebak di dalam kamar hotel, berujung dengan pemberitaan media.
“Karena saya butuh bantuan kamu, jadi saya jelaskan agar nggak ada salah paham. Oke?”
Aku mengangguk cepat.
“Jadi tiga hari yang lalu, saya terbangun di sebuah kamar hotel bersama dengan seorang wanita.” Dia diam sesaat. “Saya bersumpah tidak tahu kenapa bisa berada di sana. Tiba-tiba pagi harinya ada banyak wartawan berada di sana dan mengambil foto kami sedang di atas tempat tidur.”
Aku menatapnya malas, karena nggak mau mengingat lagi kejadian itu. Kenapa sih diingatkan lagi? Baru tadi pagi bertekad untuk melupakannya.
Bisa berhenti nggak sih, Pak? Saya tahu persis apa yang terjadi. So, to the point aja, gerutuku dalam hati.
“Kamu pasti udah tahu berita tentang saya, ‘kan?”
Aku menganggukkan kepala lesu.
Tahu persis, karena saya juga ada di berita itu.
“Berita itu bikin Mama saya terganggu. Beliau minta saya cari wanita tersebut.”
Mampus. Apa dia curiga kalau aku wanita yang bersama dengannya?
“Saya benar-benar nggak tahu siapa wanita itu. Tapi Mama masih paksa saya untuk cari, kemudian menikahinya jika udah ketemu.”
Aku menelan ludah mendengarkan kalimat yang dikatakan Pak Melviano. Mata ini berkedip pelan mengamati wajahnya yang masih saja kaku dengan tatapan dingin mata sipit itu.
“Kamu tahu saya ini seorang duda, ‘kan? Istri saya udah meninggal lima tahun yang lalu,” lirihnya dengan suara terdengar pilu di ujung kalimat.
Kalimat terakhir membuatku terkejut, lantas mengalihkan pandangan kepada roh perempuan yang ada di sampingnya. Sekarang aku tahu siapa yang selalu membuntuti Pak Melviano. Dia adalah roh istrinya yang sudah meninggal.
Dia mendengkus pelan. “Karena itulah Mama ingin saya menikah lagi dengan perempuan itu.”
Aku menegakkan tubuh yang tadi tertunduk lemah. “Sebentar, Pak. Hubungannya dengan saya apa ya?” tanyaku pura-pura nggak tahu.
“Ada.”
“Tapi saya bukan perempuan yang bersama Bapak,” kataku berbohong.
“Saya tahu.” Pak Melviano terdiam.
Shit! Jangan sampai dia ingat dengan perawakan tubuhku waktu itu.
“Tapi kalian memiliki postur tubuh yang sama,” sambungnya setelah hening sebentar.
What the hell! Ini sama saja mau ngaku atau nggak ngaku, tetap masuk di kubangan yang sama.
Nggak, Sasi. Jangan bilang kalau perempuan itu adalah elo. Bisa runyam. Nanti lo bisa dituduh menjebaknya, karena tahu dia pemilik perusahaan tempat lo bekerja. Lebih baik tutup mulut, batinku lagi.
“Trus kalau sama gimana, Pak?” Aku mulai gelisah.
“Kamu harus bantu saya,” cetusnya.
“Caranya?”
“Menikah dengan saya.”
“What?” seruku nyaris memekik. “Ini nggak bisa, Pak. Saya nggak ada hubungannya dengan kejadian itu. Kenapa harus saya yang bantuin Bapak?”
“Karena kamu punya kemiripan dengan wanita itu. Maksud saya bukan wajah, kalian berbeda. Tapi postur tubuh dan suara kamu mirip dengannya.”
Mampus. Dia bisa menemukan kemiripan penampilanku sekarang dengan yang asli.
“Kamu nggak harus menjawab sekarang. Saya akan kasih kamu waktu berpikir sampai besok.” Pak Melviano kini melihatku dengan tatapan tajam. “Saya harap kamu membantu saya, kalau tidak ….”
“Kalau tidak?” ujarku saat kalimatnya tergantung.
“Kamu akan saya pecat di perusahaan ini dan nggak akan bisa bekerja di perusahaan manapun di negeri ini.”
Darah seakan susut di tubuh ini ketika mendengar ancaman yang dilontarkannya. Kejam banget pria satu ini. Kalau nggak mau nikah, aku nggak bakalan bisa kerja di mana-mana lagi. Shit! Dasar manusia nggak berperasaan.
“Sebaliknya, jika kamu mau. Saya akan berikan apapun yang kamu minta. Kamu akan hidup dalam kemewahan, tanpa pusing memikirkan biaya kosan dan makan sehari-hari,” lanjutnya lagi dengan tatapan mengintimidasi.
“Saya bukan cewek matre, Pak,” ungkapku mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Jangan ditanya lagi gimana ekspresi almarhumah istri Pak Melviano sekarang? Aku nggak mau cerita, bisa-bisa kalian takut.
“Tapi kamu takut kehilangan pekerjaan, jadi nggak bisa menafkahi diri kamu sendiri.”
Aku membuang napas kesal. Rasanya ingin menonjok wajah kakunya itu. Andai dia bukan atasanku, sudah sejak tadi wajahnya memar oleh tangan ini.
“Saya ingin nikah sama orang yang dicintai, Pak.” Aku kembali beralasan.
Dia malah berdecak sambil memangku tangan di depan dada. Perlahan kepalanya menggeleng pelan.
“Coba kamu bayangkan berapa banyak gadis yang mau menikah dengan saya? Tapi saya malah memilih kamu. Seharusnya kamu beruntung dapat jackpot.”
Ya Tuhan, ini orang tingkat kepercayaan dirinya tinggi banget sih.
Setelah menarik napas singkat, aku langsung berdiri.
“Mau ke mana? Kita belum selesai bicara.”
“Kerja lagi, Pak. Kayaknya lagi rame.”
“Sini dulu ponsel kamu,” tuturnya menadahkan tangan.
“Buat apa?”
“Kamu simpan nomor ponsel saya, jadi kalau berubah pikiran langsung call saya aja.”
Aku menggeleng tegas.
Dia malah melebarkan mata sipitnya itu, membuat nyali ciut. Jauh di lubuk hati, aku takut kehilangan pekerjaan ini. Selama bekerja di banyak perusahaan, baru sekarang bertemu perusahaan yang kerjaannya enak walau kadang diomeli pelanggan. Lagian mana ada perusahaan yang mau menerimaku dengan penampilan kayak gini? Belum lagi ancamannya barusan, nggak akan bisa kerja di kantor manapun.
Dalam hitungan detik, ponselku sudah berpindah tangan. Aku hanya bisa pasrah ketika melihat jari Pak Melviano menari di layar sentuh gadget pipih itu. Beberapa saat kemudian dia menempelkan benda itu ke telinga.
‘Pulsa kartu Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan.’ Sayup-sayup terdengar suara operator berbicara.
Pak Melviano tertawa singkat dengan sebelah sudut bibir terangkat. “Buat beli pulsa aja kamu nggak bisa.”
“Akhir bulan, Pak. Harus hemat-hemat,” kilahku beralasan. Lagian untuk apa memiliki pulsa? Nggak ada yang mau ditelepon juga, selain Anindira.
Dia menyerahkan lagi ponsel milikku, kemudian menyodorkan ponselnya.
“Simpan nomor kamu di ponsel saya,” suruhnya mengerling ke arah gadget yang ada di tanganku.
Aku menarik napas singkat, lalu memasukkan nomorku. Setelahnya ponsel mahal itu sudah kembali lagi kepada pemiliknya.
“Pikirkan dulu malam ini. Besok saya tunggu kabar dari kamu.”
Aku hanya diam sambil melihatnya dengan bibir mengerucut.
“Saya permisi dulu, Pak. Mau kerja lagi,” pungkasku melirik kepada roh istri Pak Melviano yang menatap cemburu. Aku juga bisa melihat amarah di sorot matanya, membuatku bergidik.
Bersambung....
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m
SasikiranaAir mata yang dikeluarkan ternyata nggak mempan. Pak Om Melviano tetap kekeh dengan keinginannya. Jujur sih, nggak habis pikir kenapa dia mau menikah denganku padahal penampilan sekarang nggak cantik-cantik banget. Heran.“Tunggu apa lagi? Udah selesai makan, ‘kan?” tanya Pak Om dengan wajah jutek plus dingin.Aku perlahan menganggukkan kepala. Bingung juga dengan diri ini, kenapa nggak bisa garang sama dia? Apa jiwa leadership-nya yang kental, jadinya aku pasrah menuruti keinginannya?Dia mau jadi laki lo, Sas, keluh batinku merana.Aku memukul pelan kepala, sebagai wujud prihatin terh
MelvianoHari ini terasa melelahkan sekali. Coba bayangkan, aku menunggu telepon dari Sasi sejak pagi tapi baru dihubungi menjelang sore. Dia menelepon bukan karena ingin memberikan jawaban, namun meminta pertolongan. Perdebatan pun menghiasi pertemuan kami hari ini, hingga akhirnya ia menuruti kemauanku untuk menikah.Entah apa yang cocok menamai pernikahan kami. Pernikahan dadakan? Pernikahan kontrak? Atau pernikahan tanpa cinta? Aku pun tidak tahu. Yang kutahu hanyalah, membahagiakan Mama. Barangkali dengan menikah lagi, hati beliau akan damai dan tentram.“Mama mana, Bi?” tanyaku kepada Bibi Soraya ketika berada di lantai dasar.“Ada di kamar, Ko. Mau Bibi panggilkan?”Asisten Rumah Tangga, supir dan orang-orang yang be
Sasikirana Akhirnya bisa merebahkan tubuh di kasur yang terasa sangat empuk, setelah berjibaku memindahkan barang dari kosan. Untungnya sih nggak banyak, jadi badan nggak sampai remuk. Syukurnya lagi, ada yang bantu angkat-angkat juga jadinya nggak terlalu capek. “Jam berapa sih dijemput?” tanya Anin yang membantuku sejak tadi malam. “Sorean sih, jam 16.00,” jawabku masih menikmati tempat tidur yang luas dan empuk ini. Si Om benar-benar kaya. Apartemen ini saja mewah banget. Kamarnya ada tiga dan berukuran besar. Alat-alat elektronik juga canggih-canggih. Mesin cuci otomatis, kompor pun sama bisa di-setting otomatis, belum lagi yang lainnya. “Gila ya, calon
MelvianoAku memandang netra hitam lebar itu lekat. Baru disadari bahwa Sasi mengenakan softlens. Apa sebelum-sebelumnya dia juga memakai benda itu? Aku tidak terlalu memerhatikan, karena kacamata yang sedikit tebal itu sangat mengganggu.Di saat bersamaan, aku merasakan sesuatu mengeras di bawah sana ketika tubuh kami berdekatan. Sial! Ada apa denganku? Kenapa tubuh ini harus beraksi di saat yang tidak tepat? Untuk pertama kali setelah lima tahun, bagian diriku ‘hidup’ ketika bersama wanita.“Pak?” lirih Sasi dengan raut wajah tegang dihiasi semburat merah.Aku langsung melepaskan tangannya dan mundur satu langkah ke belakang. “Kita pergi sekarang,” kataku bergegas menuj
SasikiranaHah? Menikah dua minggu lagi? Belum sempat rasa gugup ini hilang, aku dibuat kaget lagi dengan permintaan dari Ibu Fani, Mama Pak Melviano. Beliau lagi bercanda, ‘kan?“Mama jangan bercanda. Nggak mungkin kami menikah secepat itu,” protes Pak Melviano mewakili isi kepalaku.Aku hanya diam, menutup rapat bibir ini. Biarkan Pak Melviano yang berpendapat, karena diri ini nggak memiliki hak untuk melakukannya.“Mama tidak sedang bercanda, Vian.”Oh, jadi panggilannya Vian, bukan Mel. Haha!“Mama pikir sah-sah saja kalian menikah dalam waktu dekat. Nanti tinggal diberitakan di media kalau kalian berdua sudah lama saling kenal dan memang berencana menikah,&rdquo