Share

Permintaan Mama

Melviano

Pagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.

Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.

“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.

Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”

“Aku janji akan lakukan apa aja agar Mama bahagia, tapi jangan minta aku menikah. Apalagi menikah dengan wanita yang asal usulnya nggak jelas,” sambungku beralasan.

Sebenarnya itu salah satu alasan. Mana mungkin aku menikah dengan perempuan asing? Bagaimana karakternya saja aku tidak tahu. Yang diketahui hanyalah, dia sedikit gila.

“Mama hanya bahagia dengan melihat kamu menikah lagi, Nak. Kalila sudah bahagia di alam sana. Sekarang giliran kamu untuk bahagia.”

Terasa belaian lembut tangan yang sudah mulai keriput itu di pinggir wajah ini.

“Dengan menikah, berita ini bisa diatasi. Kamu juga tidak mau menutup mulut media dengan uang.”

Tentu saja aku tidak mau menyumpal mereka dengan uang, agar mau diam. Itu sama saja membenarkan berita bohong yang beredar.

“Atau kamu benar-benar ingin melihat Mama mati?” Mama menatapku serius sekarang.

Aku menggelengkan kepala cepat. “Jangan kayak gini, Ma. Aku nggak bisa hidup sendirian di dunia.”

“Makanya menikah, Vian,” geram Mama mulai kesal. “Mama sudah tua. Bisa pergi sewaktu-waktu. Kalau kamu sudah punya istri lagi, Mama jadi tenang tinggalkan kamu sendiri.”

Kepala ini tertunduk mendengar perkataan Mama. Apa yang harus kulakukan untuk mewujudkan keinginannya ini? Aku juga tidak ingin beliau terlalu larut memikirkan berita yang beredar.

Sesaat kemudian, kepala ini mengangguk pelan. “Oke. Aku akan lakukan sesuai permintaan Mama. Aku akan cari siapa perempuan itu.”

Terdengar embusan napas lega dari sela bibir Mama.

“Tapi sebelum menikah, aku harus cari tahu dulu asal usulnya. Aku nggak mau nikah dengan wanita sembarangan,” ujarku lagi.

Mama mengangguk dengan senyum mengambang. “Mama akan terima siapapun dia, tidak peduli dengan status sosialnya. Asal perempuan baik-baik.”

“Nanti aku kabari kalau udah ketemu ya, Ma.” Aku memberi kecupan di kening Mama sebelum berdiri. “Sekarang aku mau kerja dulu.”

Setelah berpamitan, kaki ini bergerak menuju pintu keluar rumah. Vidya telah menunggu di depan pintu seperti biasa.

“Hubungi HRD Liburan.com dan carikan informasi pribadi tentang Sasikirana segera! Saya mau berkasnya udah ada di ruang CEO Liburan.com sebelum makan siang,” kataku kepada Vidya.

“Maaf, buat apa, Pak?” Vidya menatap bingung.

“Saya hanya ingin kamu serahkan berkasnya Vidya,” tegasku sebelum melangkah memasuki mobil.

Vidya tidak lagi mengajukan pertanyaan dan memilih diam saat berada di dalam mobil.

“Dia udah kasih nomor ponselnya sama kamu?”

“Siapa, Pak?”

“Sasikirana. Ya ampun, Vidya. Kamu udah sepuluh tahun ikut saya. Apa pernah saya mengalihkan pembicaraan sebelum topik pembahasan pertama selesai?” geramku tertahan.

Vidya menggelengkan kepala. “Maaf, Pak. Waktu bertemu kemarin itu, Sasikirana tidak memberikan apa-apa kepada saya.”

Aku membuang napas kesal. Bisa-bisanya gadis itu tidak menuruti permintaanku. Huh!

***

“Ini biodata Sasikirana lengkap dengan latar belakangnya, seperti permintaan Bapak tadi,” kata Vidya menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat kepadaku.

“Oke, thanks. Kamu boleh keluar. Nanti saya panggil lagi,” ucapku mengibaskan tangan.

Setelah sekretarisku meninggalkan ruangan, tangan ini segera bergerak mengeluarkan dua lembar kertas yang diberikan HRD. Netra ini membaca biodata Sasikirana dengan cermat. Ternyata dia bukan asli Jakarta, melainkan perantauan. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan hidup sebatang kara.

Usianya terpaut sepuluh tahun di bawahku, baru menginjak 25 tahun dua bulan yang lalu. Dilihat dari moto hidup yang dituliskan pada daftar riwayat hidup, sepertinya dia tipe orang yang giat bekerja. Not bad.

Sejauh ini tidak ada kontroversi yang dibuat di kantor, bahkan di perusahaan sebelumnya. Dia hanya pernah diberhentikan, karena sering tertidur saat bekerja. Background-nya cukup bersih, meski hanya menamatkan pendidikan sampai sekolah menengah atas.

“Pantesan dia takut banget dipecat.” Aku tertawa geli saat ingat bagaimana raut wajahnya, karena takut dipecat.

Aku segera meraih gagang telepon dan menghubungi Vidya. “Suruh Sasi temui saya di sini,” perintahku singkat.

“Baik, Pak,” sahut Vidya terdengar tidak bersemangat.

Ada apa dengan sekretarisku itu? Ah, mungkin lagi PMS (Pra Menstruasi).

Aku tidak pernah menyangka akan mengikuti saran konyol Franky. Dia berkata perempuan seperti Sasi tidak mungkin menolak permintaanku, karena membutuhkan pekerjaan.

“Kalau nggak mau, tinggal ancam aja, Mel,” saran Franky dua hari yang lalu.

Sahabatku memang gila. Bisa-bisanya memberikan saran seperti itu.

Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Hanya media yang tahu bagaimana wajah wanita sinting itu, jadi aku hanya mencari orang dengan postur tubuh yang mirip.

Dering telepon membuyarkan lamunanku. “Ya, bagaimana?”

“Sasi sekarang sedang short break, Pak. Lima belas menit lagi baru bisa naik,” balas Vidya.

Aku membuang napas pendek. “Suruh segera ke atas kalau udah balik.”

“Baik, Pak.”

Sambungan telepon langsung terputus setelah Vidya mengucapkan dua kata terakhir. Ada apa dengan wanita itu? Akhir-akhir ini emosinya tidak stabil.

Baru saja ingin menyandarkan punggung di kursi, ponselku berdering.

“Gimana kabar lo, Mel?” Terdengar suara Franky di ujung sana.

“Lebih buruk dari yang lo bayangkan,” cicitku malas.

“Tante Fani masih suruh lo kawin?” Dia tergelak keras membuatku ingin memakinya.

“Sialan. Senang banget lihat sohib lo menderita kayak gini.”

“Udah sih. Nikah aja sama siapa itu? Si Betty.” Begitulah Franky menyebut nama Sasi. Dia memilih memanggilnya Betty daripada Sasi.

Kali ini napas lesu meluncur begitu saja dari sela bibir.

“Jangan bilang lo—” Franky sengaja menggantung kalimatnya.

“Puas lo sekarang?”

“Jadi lo nurutin permintaan Tante Fani?”

“Terpaksa.”

Dia kembali tertawa keras, membuat gendang telingaku sakit.

“Sama si Betty?”

“Siapa lagi? Mau cari ke mana perempuan itu?”

“Mampus lo, Mel.” Napasnya jadi sesak karena tertawa. “Gue turut berduka ya. Nggak kebayang tiap hari lihatin muka si Betty waktu bangun tidur.”

Aku menelan ludah mendengar perkataan Franky. Sial! Dia benar. Jika sudah menikah, wajah Sasi yang akan kulihat saat bangun dari tidur. Setiap hari. Kami tidak mungkin tidur terpisah, karena Mama pasti marah.

“Lo nggak usah khawatir, Mel. Zaman canggih sekarang gampang kok. Tinggal operasi plastik aja. Gue punya kenalan dokter bedah plastik di Korea. Artis-artis banyak tuh pake jasanya. Hasilnya jadi lebih natural," celoteh Franky membuatku semakin kesal.

“Udah deh. Berhenti ledekin gue. Makin stress nih lama-lama,” gerutuku.

“Jangan stress dong, Mel. Nikmati aja.” Dia cekikikan lagi. “Jangan lupa call gue kalau butuh nomor dokter bedahnya.”

Baru saja ingin membalas perkataan Franky, terdengar pintu diketuk.

“Nanti gue telepon lagi ya. Kayaknya dia udah datang.”

“Siapa?”

“Sasi, Frank.”

“Oh, calon bini lo,” ledeknya lagi.

“Sialan,” pungkasku mengakhiri panggilan.

Aku menegakkan punggung dan membetulkan posisi jas yang sebenarnya tidak kenapa-napa.

“Masuk,” sahutku mengeraskan suara.

Tak lama Vidya muncul di sela pintu.

“Sasi sudah di sini, Pak,” katanya dengan wajah lesu.

“Suruh masuk!”

Vidya bergeser sedikit ke kanan, agar wanita bertubuh mungil itu bisa masuk.

Tampak raut cemas di wajah yang tertutup kacamata besar itu. Kedua tangannya bertautan erat di depan tubuh. Aku melihatnya dari atas hingga bawah, kemudian mendesah. Penampilan Sasi benar-benar jauh dari kata menarik. Franky benar, dia terlihat seperti Betty yang tidak memiliki poni dan mengenakan kawat gigi. Aku pernah menonton telenovela itu dulu, menemani Franky pulang kuliah.

“Duduk,” suruhku mengerling ke kursi yang ada di seberang meja.

Dengan melangkah takut, gadis itu duduk di sana.

Aku mengalihkan pandangan kepada Vidya yang masih bergeming di tempat tadi. Kedua alis naik ke atas saat tangan kiri melakukan gerakan mengusir.

“Mau tunggu apa lagi?” tanyaku ketika Vidya masih diam.

“Maaf, Pak.” Vidya membungkukkan sedikit tubuh ke depan, lalu keluar dari ruangan.

Suasana hening ketika aku memikirkan bagaimana cara menyampaikan maksud dan tujuan ia dipanggil ke sini. Mendadak otak tidak bisa berpikir jernih sekarang.

Sasi menundukkan kepala, tidak berani melihat ke arahku. Dia seperti takut jika saja aku menyinggung kinerjanya tiga hari yang lalu. Lebih tepatnya, khawatir dipecat dari perusahaan. Dasar perempuan naif, jika dipecat buat apa aku memanggilnya ke sini? Tinggal meminta HRD, semua beres.

“Tenang, saya nggak akan pecat kamu,” desisku menenangkan.

Dia menegakkan kepala dan melihatku dengan tatapan tidak percaya.

“Saya nggak akan pecat kamu, asal—” Kalimatku berhenti ketika memikirkan pilihan kata yang akan disampaikan.

Sasi masih menatapku dengan sorot mata bingung. Pasti menunggu kalimat yang akan diucapkan berikutnya.

“Asal … kamu … kamu mau menikah dengan saya.”

Sialan. Apa lo baru aja melamarnya?

Bola mata hitam besar itu semakin melebar di balik kacamata tebal. Bibir mungilnya sedikit menganga sehingga terlihat susunan gigi putih, bersih dan rapi. Paling tidak, itulah bagian menarik dari gadis itu secara fisik.

Bersambung....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
boddy shaming banget ke Sasi wkwk gatau aja dia bidadari nyungsep lumpur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status