Anak tersebut mulai kesulitan mempertahankan pikiran sehatnya dengan kengerian mimpi buruk yang dialaminya. Lebih-lebih harus melihat ibunya mulai digerayangi oleh laki-laki yang tak dikenalnya. Pandangannya semakin kabur tak kuasa mengalami semua kengerian itu.
Lalu tiba-tiba saja, terlihat olehnya laki-laki itu berhenti seperti tak lagi berniat meneruskan keinginan untuk melampiaskan hawa nafsunya.
“Seperti yang kau katakan, sama sekali tidak ada kepuasan jika aku melakukannya seperti ini,” kata laki-laki itu, nampak menjauhi wanita tersebut.
Dia pun mulai berjalan menuju ke arah keris yang ditancapkannya ke lantai. Laki-laki itu memegang keris tersebut dan mulai memejamkan matanya sesaat. Tiba-tiba seisi ruangan mulai dijalari oleh daging-daging yang berdenyut-denyut.
Seisi rumah itu sekarang diliputi oleh daging berdenyut di segala sudutnya. Situasi mereka sekarang tak ubahnya seperti sedang berada di dalam perut iblis.
Ruangan mulai semakin gelap meski masih ada sedikit berkas cahaya masuk dari celah-celah di atap rumah. Seisi ruangan itu dipenuhi bau amis darah dan daging yang berlendir menutupi seluruh isi rumah.
Dari lantai muncul tentakel baru, menjalar merayapi tubuh wanita tersebut. Bagian ujungnya mulai memekar seperti muncul sebuah kelopak bunga. Bunga itu pun mulai mengeluarkan sejenis serbuk berwarna hijau.
“Aku masih bisa membuatmu ikut bergairah dengan rangsangan serbuk itu,” ujar laki-laki tersebut penuh nafsu. “Dan kita bisa saling menikmatinya bersama-sama,” lanjutnya diselingi tawa.
Namun tiba-tiba laki-laki tersebut kembali terdiam. Setelah itu dia nampak menggeleng-gelengkan kepala, seperti enggan meneruskan niatnya.
“Tidak, tidak!” ujarnya.
“Aku tidak akan membiarkanmu ikut merasakan kenikmatan itu,” lanjut sang laki-laki kembali menyeringai begitu sadis.Diapun segera kembali memegang keris tersebut, dan bunga itu pun langsung berhenti mengeluarkan serbuk aneh tersebut.
“Dasar iblis. Sedari dulu pikiranmu memang sudah tak waras. Kau terlalu lemah dan rendah, tak mampu mengendalikan tuntutan seonggok daging yang terselip di selangkanganmu itu,” bentak wanita tersebut yang sudah mulai terengah-engah karena kesulitan mempertahankan kesadarannya.
Seringai laki-laki tersebut langsung berubah menjadi raut wajah yang begitu bengis. Dia kembali memegangi gagang keris aneh yang masih tertancap di lantai. Setelah itu, beberapa sulur daging baru menyeruak dari bawah, menggerayangi tubuh mulus wanita tersebut.
Baju dan sarungnya dicabik-cabik hingga tak ada yang tersisa. Wanita itu mulai mengerang kesakitan dengan nafas yang semakin pendek bersahut-sahutan.
Tiba-tiba terdengar sesuatu dari atap rumah. Sesaat kemudian, seorang laki-laki misterius dengan jubah lusuh datang mendobrak atap rumah, langsung turun menebas laki-laki itu dengan sebilah pedang. Laki-laki itu pun mati seketika saat bilah pedang tersebut terhujam cukup dalam membelah kepalanya.
Meski begitu, sulur-sulur daging yang berlendir itu belum berhenti menggerayangi tubuh wanita tersebut. Sementara anak laki-lakinya sudah pingsan, dan sulur daging yang seperti mulut belut itu sudah sampai di lututnya, masih mencoba menelannya.
Laki-laki misterius yang baru datang itu langsung memotong pangkal dari sulur yang seperti mulut belut tersebut. Seketika, anak kecil itu terlepas dari lilitan yang menjeratnya, dan juga dari sulur yang hendak menelannya.
“Dasar laki-laki tak berguna, menggunakan benda yang sangat berharga seperti ini untuk hal murahan,” ujar laki-laki tersebut.
“Aku masih tak mengerti bagaimana senjata iblis seperti ini bisa jatuh ke tangan laki-laki seperti dia,” lanjutnya setelah mencabut paksa keris itu dari jeratan daging berdenyut di lantai itu.“Semoga aku masih sempat menghentikan semuanya.”
Sepertinya sosok misterius itu cukup mengenal keris tersebut. Dari pada memotong sulur-sulur daging yang begitu banyak menjerat dan memperkosa wanita itu satu persatu, dia lebih memilih mencabut kerisnya.
Begitu dia berhasil mencabutnya, sulur-sulur daging itu kembali menyusut dan tertarik ke lantai. Seisi rumah yang sudah bagaikan berada di dalam perut iblis itu mulai kembali berangsur normal. Daging-daging berdenyut yang menutupi semua areanya menyusut ke titik di mana keris tersebut sebelumnya tertancap.
Begitu juga dengan kelopak bunga bangkai raksasa yang menutupi seisi rumah tersebut dari luar, langsung berubah menjadi tanah dan berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, semua kembali hening dan kengerian itu pun hilang meski kondisi rumah tersebut juga sudah porak-poranda tak karuan.
Sayangnya, wanita itu sudah mati meregang nyawa dengan begitu tragisnya. Pria misterius yang baru datang tadi bahkan tak berani melihatnya terlalu lama.
“Sepertinya aku terlambat,” gumamnya.
Dia memalingkan wajahnya. Entah karena kasihan, atau sekadar tak ingin pemandangan tragis itu menghantui dan menghilangkan selera makannya.
Laki-laki itu terdiam cukup lama. Dia hanya fokus menatapi keris di tangannya, seperti terhipnotis sesaat dengan senjata aneh yang beriak dan bergelombang tersebut. Sesaat kemudian, dia menoleh ke arah pedangnya yang masih terhujam di kepala laki-laki yang baru saja dibunuhnya.
Laki-laki tersebut mencabut pedangnya dengan sadis, membuat isi kepala pria itu berserakan di lantai.
“Dasar bodoh. Kau bisa saja mendapatkan begitu banyak hal dengan keris ini,” ujarnya setelah menghentakkan pedangnya itu untuk membuang darah yang masih membasahi kedua sisinya.
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.