Home / Historical / Keris Darah Candramaya / 8. Surat Yang Di Tukar

Share

8. Surat Yang Di Tukar

last update Last Updated: 2024-07-18 01:36:38

Puspita Sari pergi meninggalkan Kamaratih dengan kesal. Kebenciannya bertambah sampai mendarah daging bahkan sampai ke tulang sumsum.

Tujuannya sekarang adalah menuju kamar pribadi Adi Wijaya untuk melancarkan rencananya.

Wanita yang selalu mengenakan kain terbaik di negeri Harsa Loka, untuk menutupi tubuhnya yang ramping. Rambut berubannya tersanggul rapih dengan hiasan rambut yang terbuat dari emas. Membuatnya terlihat cantik dan muda, untuk usianya yang sudah setengah abad.

Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih.

"Wanita itu tak selugu yang aku kira, aku benar-benar tertipu. Sial!!!" Batin Puspita Sari, mengepalkan tangan cukup kuat, nafasnya masih terasa sesak seiring amarah yang masih belum meredam.

Walaupun Kamaratih adalah orang yang telah membawanya dan adiknya dari jalanan. Tapi memang hatinya yang hitam, bukannya membalas budi dan bersikap baik. Dia justru berusaha merebut apa yang Kamaratih miliki.

Dasar wanita dengki dan rakus.

Puspita Sari berjalan sambil bersenandung lirih, untuk mengembalikan suasana hatinya yang di rusak oleh Kamaratih.

Langkah Puspita Sari tertahan, saat mendengar ledakan kemarahan serta suara lemparan benda berjatuhan.

Puspita Sari menoleh ke segala arah, lorong yang dia lewati sangat sepi bahkan tampak seperti sengaja di kosongkan.

Malam ini juga terasa dingin.

Puspita Sari berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju suara gaduh itu berasal.

Dia bahkan sempat melepas gelang kaki agar tidak menimbulkan suara saat dia berjalan. Sekarang dia berada di depan pintu kamar pribadi Adi Wijaya, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

"Dana!" Batin Puspita Sari. Wanita itu tercengang, matanya seketika membulat lalu membekap mulutnya kuat-kuat. Saat melihat Adi Wijaya menghunuskan pedang ke leher Danadyaksa

Adiknya sedang berlutut dan terlihat menahan nafas dengan raut wajah ketakutan.

Di ruang itu bukan hanya Danadyaksa saja tapi ada Patih Bima Reksa.

Kepalanya terus berpikir, bagimana menyelamatkan adiknya.

Bagaimana dia bisa bertahan jika adiknya lenyap?

"Kenapa kalian melanggar titahku?" Tanya Adi Wijaya. Suaranya menggelegar membuat siapapun yang mendengar pasti ketakutan.

Danadyaksa tidak bisa berkutik, tubuhnya bergetar hebat. Apalagi ujung mata pedang sudah menggores lehernya karna tekanan kuat sang Raja. Jika dia salah bicara maka pembuluh darah di lehernya bisa putus dalam hitungan detik.

Tapi Raja butuh jawaban!

Bima Reksa memberanikan diri untuk membuka mulutnya, "Kami melakukan apa yang Gusti titahkan dalam surat yang Gusti berikan pada Tuan Arya Balaaditya."

"Kau bercanda, hah!!!" Dengan nada tinggi Adi Wijaya mengeram kesal, matanya merah dan melotot, bahkan dia menendang wajah Patihnya hingga tersungkur.

Bug!!

Bima Reksa meringis tapi tanpa menimbulkan suara, dia menahan rasa sakit yang dia dera kuat-kuat. Agar tidak membuat amarah Adi Wijaya semakin besar.

Danadyaksa tetap bergeming, keringat dingin bercucuran, lutut dan tangannya mulai lemas karna terlalu lama berlutut.

"Ini Gusti" ujar Bima Reksa lirih, sambil menyodorkan surat yang dia simpan di balik bajunya.

Adi Wijaya membuang pedangnya ke sembarang tempat, membuat Danadyaksa terduduk lemas.

Pria bengis itu mengambil nafas panjang, bersyukur karena masih hidup. Walaupun ada sedikit darah yang mengalir dari kulit leher. Tapi untungnya dia tidak kehilangan kepalanya.

Pria paruh baya itu duduk di sisi ranjang, lalu membuka surat dengan cukup kasar.

Matanya membulat dengan rahang mengatup saat membaca isi surat. Dia bahkan hampir tersedak saat sebuah peritah keji dengan tulisan tangannya sendiri.

Bahkan lengkap dengan stempel raja yang hanya dia yang pegang.

Dia merasa di fitnah!

"Kurang ajar! Ini memang tulisanku, tapi aku tidak pernah menulisnya. Siapa yang berani menukarnya. Bawa menantuku sekarang juga. Cepat!" Titah Adi Wijaya, suaranya memekik.

Danadyaksa dan Bima Reksa merangkak, bahkan kepala mereka sudah menyentuh kaki Adi Wijaya, dalam ketakutan mereka saling bertatapan.

"Beraninya dia menukar suratku!" Adi Wijaya menggeram lirih, lalu menatap dua orang yang sedang bersimpuh di kakinya dan berkata, "Bangkit atau kubunuh kalian!"

Bima Reksa dan Danadyaksa langsung bangkit dan menjaga jarak.

"Apapun yang terjadi aku tidak akan mati!" Batin Danadyaksa terduduk di lantai, tangannya mengepal kuat dengan kepala menunduk.

Sedangkan Bima Reksa dia hanya pasrah.

Sebelum dua pengawal itu keluar, Puspita Sari dengan lancang masuk ke dalam kamar Adi Wijaya. Tentu saja setelah mengatur suasana hatinya. Berjalan sambil berjinjit untuk menghindari pecahan guci keramik yang berserakan di lantai.

Adi Wijaya yang masih kesal langsung menatap Puspita Sari dengan tajam dan suara lantang dia berkata, "Ada apa?"

"Tidak Suamiku, aku kesini hanya khawatir dengan adikku. Maaf jika Puspa lancang!" Jawab Puspita Sari, dengan tersenyum tipis.

Puspa adalah nama panggilan kesayangan Adi Wijaya kepada Puspita Sari.

Adi Wijaya memutar matanya dengan jengah, istri keduanya pasti akan mengingatkannya akan janjinya dulu.

Aku tidak akan membunuh adikmu. Tapi, aku akan memotong tangan dan kakinya, jika dia berkhianat kepadaku!" Ucap Adi Wijaya, menyelipkan ancaman di akhir kalimat.

Puspita Sari tersenyum getir, hatinya cukup perih, "Jika dia bersalah penggal saja kepalanya, suamiku."

Dahi Adi Wijaya mengernyit, benarkah dengan apa yang wanita ini katakan? Dia cukup ragu, mengingat betapa sayangnya istri mudanya terhadap adiknya.

Danadyaksa menoleh dengan mulut menganga, mendengar kakaknya ingin menumbalkannya.

Tapi saat menatap sang kakak dan melihat senyum culas Puspita Sari dia cukup lega, wanita itu pintar dan lihai.

Beberapa saat kemudian dua pengawal telah membawa Arya Balaaditya, tangan dan kakinya di rantai, hiasan kepala sebagai tanda anggota kerajaan telah di lucuti. Begitu pula pakaian mewah yang biasa dia kenakan.

Kini hanya menggunakan kain lusuh yang melilit pinggangnya dan selembar kain panjang untuk menutupi bahu bidang pria berusia 35 tahun itu.

Arya Balaaditya bersimpuh dan memberi hormat, wajahnya cukup tenang mengingat besok dia akan di gantung di alau-alun.

Dengan tatapan dingin Adi Wijaya bertanya, "Apa kamu yang menukar suratku?"

"Surat? Bagaimana Ananda berani menukar surat itu Romo?" Jawab Arya Baladitya. Wajah tampannya terlihat bingung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keris Darah Candramaya   166. Arti Dari Kehidupan

    Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden

  • Keris Darah Candramaya   165. Pati Obong

    Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t

  • Keris Darah Candramaya   164. Hati seluas Samudra

    Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu

  • Keris Darah Candramaya   163. Wanita Picik

    Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci

  • Keris Darah Candramaya   162. Mantra Suci

    "Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja

  • Keris Darah Candramaya   161. Pertarungan Batin Candramaya

    Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat

  • Keris Darah Candramaya   160. Hanya Indrayana Yang Bisa

    Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu

  • Keris Darah Candramaya   159. Menunaikan Janji

    Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.

  • Keris Darah Candramaya   158. Adi Wijaya Wafat

    Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status