"Gosong, Mbak!" teriak Nia saat melihat teflon yang digunakan untuk membuat kulit dadar gulung mengeluarkan asap.
"Eh... eh iya." Nirmala cepat mematikan kompor dan mengangkat kulit yang gosong. Satu sisinya sudah menghitam, Nirmala mendesah berat, dilihatnya jam sudah menunjukkan setengah tujuh pagi, dadar gulung sudah hampir setengah dari pesanan mereka buat. Dan belum bertambah lagi sejak tadi hampir sepuluh buah gosong tak bisa digunakan. Membuat kue bukan hanya perkara, menakar bahan sesuai resep dan mengerjakannya sesuai langkah-langkah yang tertulis, membuat kue disamping bakat dan kebiasaan juga memerlukan hati yang tenang dan fikiran yang fokus. "Mbak, apa sebaiknya aku saja yang menggoreng kulit dadar gulungnya, mbak yang bungkus."Nia menawarkan solusi, hanya menuangkan adonan yang telah dibuat Nirmala dalam teflon, meratakannya agar mereka memiliki ketebalan yang sama, sepertinya tidak sulit. "Nggak usah Nin kamu bantu bungkus saja sebentar lagi kamu juga harus ke pasar." "Mbak dari tadi ngelamun terus." Nia memandang kakaknya iba. "Aku mau libur dulu, Mbak capek." "Apa? kenapa tiba-tiba bagaimana dengan pelangganmu mereka bisa pindah ke orang lain kalau kamu libur." "Yaelah, Mbak kita bukan pegawai kantoran yang bekerja untuk orang, jadi kalau mau libur ya libur saja terserah kita." "Nia!" Nirmala memandang adiknya penuh peringatan. "Mbak baik-baik saja dan tidak akan melakukan hal yang merugikan diri sendiri kalau itu yang kamu cemaskan." "Iya baiklah... Nia berangkat jam delapan saja bantuin mbak buat kue," Nia mengangkat tangannya mencegah Nirmala protes lagi lalu melanjutkan "Jam segitu biasanya orderan datang mbak, jangan protes lagi. Nia juga sudah Wa Salwa kalau ada yang pesan kue kabari Nia." Salwa teman Nia di pasar usia yang sebaya dan lapak mereka yang berdekatan, membuat mereka cepat akrab, mereka sudah terbiasa menitipkan lapaknya jika ada urusan mendesak. "Baiklah, terserah setelah ini kamu sarapan dan siapkan dagangan." "Ok siap bos!" Nirmala bersiap kembali menuangkan adonan ke dalam teflon, bagaimanapun suasana hatinya pesanan harus dia selesaikan tepat waktu, dia tak mau membuat pelanggannya kapok memesan kue padanya hanya gara-gara kesalahan kecil, tidak mudah bagi mereka untuk membangun toko kue. Meski hanya lapak kecil di pasar, tapi bukan hal mudah untuk didapat. Beberapa tahun lalu setelah mendapat ijin sang ibu, mereka mulai usaha dengan berjualan di kantin sekolah Nia kala itu, hanya tiga puluh buah kue basah yang terdiri dari donat, dadar gulung dan kroket masing-masing 10 buah. "Kuenya laris anak-anak banyak yang suka," kata ibu kantin di hari pertama mereka berjualan. Dari situlah akhirnya kepercayaan diri Nirmala mulai tumbuh, tiap hari rutin dia membuat tiga puluh buah kue, belum berani banyak karena Nirmala juga harus bekerja di toko kue juga. Perjalanan mereka berdagang kue tidak selalu mulus banyak kendala yang harus mereka hadapi pernah suatu ketika datang pesanan 100 buah kue nagasari, sialnya pada hari kue itu akan diambil Nirmala jatuh sakit badannya panas, kepalanya seperti mau pecah saja, tapi pesanan tak mungkin dibatalkan. Akhirnya Nia nekat membuat kue tersebut dibawah arahan Nirmala. Nagasari memang berhasil dibuat sudah terbungkus rapi daun pisang, tapi saat baru diangkat dari kukusan tadi Nia mencicipinya satu, dan ternyata saat dibuka adonan tepungnya tidak mau pisah dengan daun pembungkus, entah dia sedang bertengkar dengan pisang di dalamnya atau apa, Nia tak tau. "Ah... mungkin saja itu masih panas," pikir Nia kala itu, dia tak mau membangunkan kakaknya yang baru saja minum obat dan tertidur pulas. "Bu, Nia Antar kue dulu ya," pamit Nia saat akan mengantar kue ke rumah pemesan, dengan sepeda mini merahnya Nia bersemangat untuk sampai ke rumah pemesan apalagi kue yang dia bawa kali ini hasil buatannya sendiri. Tapi keesokan harinya bu Dara yang memesan nagasari datang marah-marah sambil membawa lima bungkus nagasari yang tersisa, dia bilang kuenya terlalu lembek dan sudah basi. Dan meminta semua uangnya kembali meski tak mengerti kenapa kue sudah hampir tak bersisa. "Maaf, mbak gara-gara Nia nggak bisa buat kue kita jadi rugi." "Sudah, Nia nggak papa mungkin kita disuruh istirahat dulu tidak jualan." "Tapi, Mbak uang kita untuk modal sudah tidak ada," Nia berkata lirih dipandangnya sang kakak dengan penuh rasa bersalah Nirmala memang memberikan semua uang bu Dara, uang yang akan mereka gunakan untuk modal berjualan besok. "Kita jualan lagi setelah Mbak gajian, tiga hari kita libur kamu kasih tahu ibu kantin ya biar nggak nunggu." Nia hanya mengangguk pasrah. "Sudah sana berangkat nanti telat sudah pamit ibu belum?" Sejak saat itu Nia tak mau membuat kue dia selalu takut kue buatannya akan merusak citra usaha mereka, meski Nirmala berkali-kali meyakinkan bahwa tidak semua orang berhasil membuat kue untuk pertama kali, bahkan banyak yang gagal sampai berkali-kali tapi pada akhirnya bisa juga membuat kue yang enak. Jam sudah separuh jalan menuju angka tujuh tak ada waktu lagi untuk bergalau ria, kulit dadar gulung harus sudah siap Nia yang bertugas menggulung sudah menunggunya dari tadi. Ayo semangat!! "Mbak bihunnya sudah aku tiriskan, tinggal dibuat adonan." "Iya ini dadar gulungnya tinggal dikit." Nirmala menggoreng kulit dadar gulung terakhir lalu memberikannya pada Nia. "Bentar mbak aku selesaikan gulung ini dulu setelah ini aku bantu masukin bahannya." Ember besar sudah disiapkan Nirmala, bihun telah direndam air panas, "nanasnya udah diblender belum, Nin?" "Oh iya belum mbak, blendernya kemarin bau hangus kayaknya ada yang konslet, nggak papa buat blender nanas?" "Jangan deh, bawa ke tukang service dulu, ya sudah kamu lanjutin bungkus sama kemas yang sudah jadi nanasnya biar aku parut saja." "Hah emang bisa, Mbak buat jus nanas dengan diparut?" "Ya bisalah jaman dulu belum ada blender ya diparut atau ditumbuk, lalu disaring ambil airnya jadi jus." Nirmala segera memotong nanas menjadi empat bagian ada empat buah yang harus dia parut karena dia akan membuat empat resep, memang sedikit memakan waktu tapi mau bagaimana lagi. "Sudah selesai Nin bungkusnya bantu potong-potong bihunnya mbak saring ini dulu." Sigap setelah jus nanas siap Nirmala memasukkan dalam ember besar mencampur bihun yang sudah direndam dan dipotong Nia tadi lalu jus nanas yang telah ia buat. "Masukin gulanya Nin biar mbak aduk," kata Nirmala setelah dia mencampur tepung agar-agar, tepung tapioka, vanili dan sedikit garam. "Ok." Setelah tercampur rata. Dibaginya menjadi tiga bagian ya adonan tersebut akan diwarnai dengan pewarna makanan tentu saja. Merah, kuning dan hijau kayak lampu lalu lintas. Setelah tercampur rata baru dikukus dalam dandang besar. “Sudah Nin kamu mandi dulu sana ini sudah selesai semua.” “Ok, Mbak Gita tadi telpon mbak suruh telpon balik katanya?” “Ada apa, Nin kenapa pakai telpon segala biasanya juga langsung kesini.” “Nggak tahu, kayaknya Caca deh yang mau ngomong.” Caca, anak kakak sepupu mereka yang baru berumur tiga tahun sangat dekat dengan Nirmala dan caca juga sangat suka makan kue buatan Nirmala. “Ya deh aku telpon … sana mandi.” Nirmala sudah menghubungi nomor Gita, dengan panggilan vidio dan diangkat pada dering ketiga, terlihat wajah Gita sedang menyuapi Caca di teras rumah. “Halo, te…..” “Ya, Ca kenapa?” “Te, Caca bental lagi ulang tahun, itu yang ada banyak olang, bikinin tue ya te.” “Boleh.” “Nanti Caca kesitu milih tue sama mama te jangan pelgi-pelgi ya tunggu Caca.” “Ok, sayang.” “Dadah te salammikum.” “Waalaikum salam.” Nirmala tertawa Caca dan kelucuannya selalu bisa mengembalikan mood Nirmala. Ada saja tingkah polah anak itu yang membuat gemas. “Sudah, Mbak telpon mbak Gitanya?”Nia muncul dari pintu samping sudah segar sehabis mandi. “Sudah barusan.” “Ada apa mbak?” “Apa lagi si Caca minta buatin kue.” “Dasar monster kue.” Nirmala tertawa mendengar julukan Nia. Tapi tawa Nirmala harus terhenti saat telpon di tangannya berbunyi lagi. Hanya sederet nomer belum tersimpan, tapi Nirmala tau betul nomer siapa itu. Kenapa lagi dia telpon?“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam