“Aku tidak mau, Bu! Rasanya tidak nyaman!”
Seorang gadis berambut merah menggerutu saat ibunya mencoba memasang perisai pelindung. Dia terus mengomel selama prosesnya. Sang ibu mendelik tajam.
“Diamlah! Perasaan Ibu tidak enak! Sepertinya, ada orang yang akan melukaimu.”
“Ah, itu cuma khayalan Ibu. Pasti karena mimpi anehku kemarin, ‘kan?” ketusnya.
Dia memang memimpikan hal aneh dua hari lalu. Seekor burung api yang indah terbang ke arahnya. Gadis itu awalnya takut dan berusaha lari, tetapi kakinya tak cukup kuat, hingga terjungkal. Burung api itu pun seperti merasuk ke tubuhnya. Anehnya, tidak ada rasa sakit ataupun terbakar sama sekali. Dia justru merasakan kehangatan yang nyaman.
“Mimpi itu bukan mimpi biasa, Anakku.” Suara sang ibu membuyarkan lamunan gadis berambut merah.
“Iya, Bu. Iya.”
“Kisah kesatria suci dan empat pengendali elemen legendaris bukan seked
Pangerah Heydar membuka mata perlahan. Dia mencabut pedang di hadapannya dengan yakin. Keputusan telah diambil. Sang pangeran lebih memilih memenuhi ambisi untuk berkuasa dibandingkan mendengarkan hati nurani. Bersamaan dengan tercabutnya pedang terkutuk dari segel penjaga, sisa-sisa serpihan jiwa kesatria suci legendaris juga perlahan memudar.“Keputusan yang buruk, Anakku .... Kuharap kamu masih bisa kembali sebelum terlambat.” Bisikan lembut mendenging di telinga Pangeran Heydar bersamaan dengan kerlipan cahaya yang semakin redup.Ada perasaan sedih yang tak bisa dijelaskan tiba-tiba bercokol di hati Pangeran Heydar. Namun, hal itu tidaklah lama. Tepat setelah pecahan jiwa kesatria suci menghilang, kabut hitam dari pedang terkutuk menyelimuti Pangeran Heydar. Rasa panas bergolak di sekujur tubuhnya. Amarah, dendam, ambisi, dan pikiran-pikiran buruk di alam bawah sadar seolah naik ke permukaan, meracuni jiwa yang semula murni.Pangeran Heydar terta
Rasa dingin menusuk membuat Gulzar Heer membuka mata perlahan. Langit malam dengan kerlipan bintang terlihat gemerlap. Gadis itu mencoba duduk sambil memijat kepala yang terasa berdenyut.Hal aneh dirasakannya. Tubuh terasa amat ringan. Dia pernah mengalami hal yang sama persis, tepatnya saat Ghumaysa memperlihatkan masa lalu Raja Atashanoush dan Ratu Daria.“Apa aku melihat masa lalu lagi?” gumam Gulzar Heer sembari mencoba menggenggam pasir yang didudukinya. Benar saja, butiran pasir itu tembus tak tersentuh.Dia menghela napas berat, lalu mencoba mengedarkan pandangan untuk mencari tahu tempat keberadaannya kini. Sejauh mata memandang, hanya gurun pasir yang terlihat. Gulzar Heer berdiri, lalu kembali memandangi langit, mencoba mencari petunjuk jalan dari rasi bintang.Baru saja Gulzar Heer hendak melangkah, suara kaki kuda terdengar di kejauhan. Tak ada tempat persembunyian di gurun pasir. Dia pun menghunus pedang, bersiap dengan kemungkin
"Api! Api!"Jeritan panik terdengar di seluruh penjuru. Si kumis tebal yang sudah siap menerkam gadis kecil mengurungkan niatnya. Dia terdiam berusaha menajamkan pendengaran."Api! Lari! Apinya menyebar! Cepat Lari!"Wajah si kumis tebal memucat. Tubuh tambunnya berkeringat karena hawa panas semakin terasa. Dia terpaku sejenak sebelum bergegas menuju pintu, bersiap membukanya untuk mengetahui dengan pasti keadaan di luar.Brak!Tubuh gemuk si kumis tebal terlempar. Ya, pintu itu tiba-tiba didobrak dari luar, sehingga tanpa sengaja membantingnya. Pemuda kekar dengan banyak bekas luka di wajah masuk ke kamar."Tuan! Api sudah menyebar ke mana-mana! Cepat tinggalkan tempat ini! Saya akan membantu Anda untuk membuka jalan!" seru pemuda itu.Si kumis tebal susah payah berdiri. Pemuda pengawalnya itu cepat-cepat membantu, meskipun langsung dimaki-maki."Berani sekali kamu memerintahku!""Tapi, Tuan, Anda harus segera kam
Bagian 38Dentingan memekakkan telinga saat ujung tombak Asytaria menghantam sesuatu. Gulzar Heer refleks menghunus pedang saat melihat wujud makhluk yang menerjang Asytaria. Seekor beruang berbulu biru dengan kuku sepanjang sebilah pedang tengah menggeram nyaring.Asytaria malah tersenyum senang.“Hmm ... buruan yang bagus,” gumamnya.Beruang itu menggeram lagi, lalu menerjang Asytaria dengan ganas. Gadis itu tentu tidak tinggal diam. Dia langsung melompat ke batang pohon. Gerakannya begitu gesit, hingga dalam waktu singkat sudah bertengger di dahan yang cukup tinggi.Gulzar Heer menyarungkan lagi pedangnya. Selain karena sadar tak akan bisa membantu, dia juga bisa memperkirakan kemampuan Asytaria. Gadis itu cukup seimbang untuk berhadapan dengan si beruang.“Pertarungan ini pasti akan menarik,” gumam Gulzar Heer sembari melompat ke salah satu pohon. Dia memutuskan untuk menjadi penonton saja.
"Ada apa, Bu?Asytaria melongok ke luar jendela. Sementara Varya masih mengamati batangan rumput di telapak tangannya. Dia tergagap saat ditepuk bahunya."Asy, apa yang kau lakukan? Kau membuat Ibu kaget!"Asytaria menyengir lebar."Maaf, Bu. Ibu kenapa melamun? Itu apa, Bu?" cecarnya sambil menunjuk Rumput Hylantra.Varya terlebih dulu masuk kembali melalui jendela. Lalu, dia mulai menjelaskan tentang batangan rumput di tangannya. Asytaria mengangguk-angguk sambil mengelus dagu."Hmm ... kalau rumput ini langka, siapa yang kurang kerjaan membuangnya di bawah jendela kita, Bu?"Sagha tergelak mendengar ucapan putrinya."Bukan membuang, Asy, tetapi memberikannya untuk kita.""Memberikan?" tanya Asytaria dan Varya kompak."Iya, memberikan.""Tapi, Sagha rumput ini sangat langka dan mahal jika dijual. Siapa yang begitu baik memberikannya secara cuma-cuma?" protes Varya.
Gulzar Heer melirik waspada. Terlebih, ketika gadis dari bangsa siluman mendekat ke arah Asytaria dan Ayzard. Wajahnya yang tadi terlihat bengis, berubah menjadi semanis madu."Kak Ayzard!" panggilnya dengan suara sedikit manja.Asytaria menghentikan aksi menggelitiknya. Dia melepaskan Ayzard. Perhatiannya kini beralih kepada gadis siluman berwajah manis itu.Ayzard terlihat sedikit kecewa. Dia diam-diam mendengkus, juga mendecakkan lidah. Keberadaan gadis dari ras yang sama dengannya itu tampaknya agak menganggu."Siapa gadis yang manis ini, Ayzard? Apa dia kenalanmu?"Suara riang Asytaria membuyarkan lamunan Ayzard. Sementara gadis siluman beruang tampak menunduk. Lesung pipi mendekik dalam di pipinya saat tersenyum malu-malu."Ck! Gadis ini pandai bersandiwara. Kuharap dia tidak membawa hal buruk," komentar Gulzar Heer yang masih menonton di dahan pohon terdekat.Sebagai kesatria berpengalaman, matanya hampir tak pernah
Bagian 41Suara berisik membuat Gulzar Heer membuka mata, tetapi dengan cepat menutupnya lagi. Dia seketika mendengkus. Wajah cantiknya memerah seperti tomat."Ck! Baru kekasih saja, kalian sudah melewati batas. Aku yang sudah bertunangan dengan Fay malah tidak bisa berciuman dengannya karena dia sangat pemalu," gerutu Gulzar Heer.Bagaimana dia tidak kesal? Baru berpindah tempat sudah harus menyaksikan adegan tak biasa. Gulzar Heer dihadapkan pada kemesraan Ayzard dan Asytaria yang tengah memadu kasih. Akhirnya, dia terus menutup mata dan berusaha menulikan telinga dalam waktu yang cukup lama."Aku mencintaimu, Ayzard," bisik Asytaria."Aku juga," balas Ayzard.Gulzar Heer perlahan membuka mata. Firasatnya mengatakan dua orang itu telah selesai dengan aktivitas mereka sebelumnya. Benar saja, Asytaria dan Ayzard hanya berpelukan di bawah selimut tebal.“Kapan aku bisa menikahimu, Asy?” gumam Ay
Bagian 42Ayzard terus berlari menembus hutan. Darah dari kakinya membentuk jejak-jejak mengerikan di tanah. Gulzar Heer mengikuti dengan malas. Sikapnya yang selalu tegas dalam menghadapi masalah, membuat kesalahpahaman beruntun sepasang kekasih itu terasa sangat konyol.Gulzar Heer memang sempat tidak peka dengan perasaan Pangeran Fayruza. Namun, ketika hubungan mereka terjalin, dia tak pernah membiarkan pertengkaran berlarut-larut. Setelah mendinginkan kepala beberapa saat, dia akan mengajak Pangeran Fayruza berbicara baik-baik untuk menyelesaikannya sampai tuntas. Sama halnya, jika ada hal tak disuka dari sang pangeran, dia akan langsung mengungkapkannya dengan jujur.“Asy! Tunggu!” Teriakan Ayzard membuyarkan lamunan Gulzar Heer.Punggung Asytaria sudah terlihat. Ayzard menambah kecepatan larinya. Tak lama kemudian, dia berhasil merengkuh tubuh sang kekasih ke dalam pelukan. Asytaria tersentak, lalu meronta.&ldquo