Share

Aku Menyesal

Di luar tampak Hakam memarkir motor bebeknya tepat di depan pintu gerbang rumah Marni, pria itu segera turun dari kendaraan dan membuka gerbang dengan cukup tergesa-gesa. "Dia pasti ada di sini, aku cari dia di rumah kontrakannya tidak ada," gerutunya di sepanjang jalan menuju pintu.

Sesampainya di depan pintu Hakam menggedornya beberapa kali, sehingga membuat Anita yang mau cerita masalahnya dengan Hakam di kantor tadi pun urung. "Siapa itu, Bi? Kenapa kasar sekali mengetuk pintunya?" tanya Anita.

"Bibi juga tidak tahu, Nit. Nanti coba bibi buka dulu," timpal Marni seraya bangun dari duduknya.

"Bi Marni, buka pintunya!" teriak Hakam dari luar.

"Iya, sebentar!" seru Marni seraya memutar kunci dan Hakam segera mendorong pintu hingga Marni terkejut saat Hakam menerobos masuk. "Hakam!"

"Anita!" teriak Hakam melewati Marni dan segera memburu Anita yang sedang duduk di kursi.

"A Hakam?" Anita yang terkejut segera berdiri.

Hakam meraih tangan kanan Anita dan mencengkramnya membuat Anita seketika menjerit. "Siapa laki-laki di kantormu tadi? Pacar kamu? Berani kamu ya, Anita!" Anita menggeleng, dia mau menjelaskan, tapi Hakam tak memberi kesempatan. "Berani kamu bermain gila di saat kita belum resmi bercerai!"

PLAK!

"Hakam!" Marni menjerit saat melihat keponakannya ditampar begitu keras di hadapannya sendiri.

Namun, Hakam seolah gelap mata karena cemburu buta, pria itu menjambak rambut Anita dan membanting wanita itu ke lantai hingga kening wanita itu membentur keramik. "Ya Allah, Aa ...! Astagfirullah ...." jerit Anita, ia tak kuasa lagi menahan sakit hati atas perlakuan Hakam padanya.

"Ya Allah, Anita!" Marni segera memeluk keponakannya dan berusaha menghentikan Hakam yang ingin kembali main tangan. "Hentikan, Hakam! Kamu tidak berhak menyakiti Anita lagi, selama ini dia sudah sabar menghadapi sikapmu, Hakam! Menerima kamu apa adanya meski kamu tidak pernah menghargainya!"

"Bi Marni, selama ini aku tidak pernah main tangan pada dia!" tunjuk Hakam pada Anita yang hanya menangis dan tertunduk sedih. "Tapi dia tidak tahu diri! Harusnya dia bersyukur ada laki-laki yang mau menikahi wanita tidak sempurna seperti dia! Tidak akan ada laki-laki lain yang sudi menerima dia apa adanya sepertiku!"

"Subhannallah, Hakam! Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Hakam! Anita tak terlahir normal juga bukan kemauan dia, karena keadaan juga dia tidak pernah diobati. Harusnya kamu sebagai suami, kenapa tidak berupaya mengobati istrimu, beri dia makan-makanan bergizi. Bukannya malah kasih nafkah pas-pasan, terus banyak tingkah! Anita sudah ceritakan semuanya pada bibi, jadi bibi tahu selama 11 tahun ini Anita diperlakukan seperti apa olehmu.

Kamu memang tidak menyakiti fisiknya, tapi hati dan pikirannyalah yang kamu rusak, Hakam! Semuanya Anita berpikir sendiri, uang yang kamu beri padanya tidak cukup, dan Anita harus berusaha sendiri demi menutupinya, apa kamu tahu semua itu, hah?! Kamu tahu, tapi kamu tidak pernah menghargai dia. Kamu seolah keenakan dibantu Anita terus!

Terus, apa gunanya punya suami kalau apa-apa beli sendiri, apa-apa mikir sendiri? Apa gunanya?!"

Hakam terdiam mendengar amarah Marni pada dirinya, dia tak bisa menjawab apa-apa selain hanya menunjuk Anita dengan tatapan mata tajam. "Akan aku pastikan jika ada laki-laki yang mendekati kamu, akan aku bunuh dia! Kamu juga, kalian berdua akan aku bunuh!"

Mendengar hal itu Anita menangis histeris, tak menyangka kalau laki-laki yang hidup dengannya selama 11 tahun begitu tega mengancamnya. "Ya Allah, A! Ternyata kamu jahat, kamu sangat jahat, A!"

"Terserah!" Hakam mengibaskan tangan dan melangkah keluar rumah, menaiki kendaraannya lalu meninggalkan rumah Marni.

"Aku menyesal ... aku menyesal dulu mau menikah denganmu, A ... bahkan aku menyesal kenapa Allah mempertemukan aku denganmu ...." Air mata Anita tak dapat terbendung, bukan ini yang dia inginkan.

Dia hanya ingin berpisah secara baik-baik, dia pikir Hakam sudah tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai seorang suami kepada istri. Jujur saja Anita juga sudah kehilangan perasaan, perasaan sabar dan lain-lain, membuat rumah tangga mereka semakin tidak karu-karuan.

Wanita itu pikir mungkin lebih baik berpisah, karena dilanjutkan pun hanya menambah dosa, bukannya menambah pahala dan berkah. Namun, apa yang terjadi? Hakam malah bersikap demikian.

"Istigfar, Nit ... ada Zahra sama Zihan di kamar, tenangkan dirimu, Nak. Biarkan Hakam mau berkata apa, dia hanya bisa omong kosong seperti biasanya." Marni terus memeluk dan mengelus pundak Anita agar wanita itu bisa tenang.

Anita menghentikan tangisnya, bibinya benar kalau di dalam ada anak-anak. Bagaimana kalau mereka dengar? Dia tidak boleh menyesali takdir, karena Hakam, terlahir juga dua bidadari kecil yang tak pernah ia sesali kehadirannya.

"Lebih baik kamu mandi, terus makan, ya." Marni memegang kedua pundak Anita dan menuntun wanita itu ke belakang untuk mandi, tanpa kedua orang dewasa itu tahu kalau si Bungsu melihat semua adegan barusan.

Pintu kamar pun ditutup oleh bocah 5 tahun itu, lalu ia berlari ke atas tempat tidur menyusul sang Kakak yang sudah lebih dulu terlelap. "Ayah jahat!"

***

Anita baru saja selesai membersihkan diri, wanita itu keluar dari kamar mandi sudah dengan baju ganti milik bibinya. Rambutnya yang ikal terlihat basah, lebam di wajah wanita itu kini bertambah akibat serangan susulan.

Marni yang sedang menyiapkan makanan di atas meja pun melirik ke arah Anita. "Ayo duduk, makan dulu," pinta Marni.

Anita menggeleng pelan. "Aku enggak lapar, Bi. Mau langsung tidur aja," jawabnya lesu.

Marni mengerti apa yang dirasakan Anita, pastilah wanita itu sedang tidak nafsu makan akibat kejadian hari ini. "Tapi, Nit--"

"Aku ke kamar dulu, Bi. Mau nyusul anak-anak," sela Anita, membuat Marni pun tak dapat mencegah lagi, Anita memang butuh merenung.

Marni mengangguk dan membiarkan Anita berlalu, wanita itu pun masuk kamar dan melihat kedua putrinya sudah tertidur. Anita menutup pintu dan menghampiri ranjang, duduk di tepian dan menatap wajah-wajah polos mereka.

Sejujurnya bukan permusuhan yang ia ingin dengan Hakam, dia ingin berpisah tanpa harus putus silaturahmi. Ada Zahra dan Zihan di antara mereka, seharusnya hubungan kekeluargaan tetap terjalin baik. Namun, sangat disayangkan, Hakam tidak bisa diajak bicara.

"A Hakam, terima kasih banyak. Pada akhirnya kamu menunjukan sifat aslimu yang selama ini kamu tutupi dariku. Kini aku tahu bagaimana kamu, A. Kamu sabar itu karena aku selalu diam, diam dan diam. Buktinya saat ini, ketika aku bersikap tegas padamu, kamu mampu menyakiti aku, mencaci maki aku, menghina, merendahkan dan mengancamku.

Ternyata selama ini aku salah menilaimu, ternyata selama ini kamu tidak pernah mencintaiku secara tulus. Kini aku sadar, kalau aku hanya dimanfaatkan olehmu, kamu memanfaatkan kekurangan dan kelemahanku. Pantaslah, selama ini apa yang aku lakukan untukmu tak pernah kamu anggap.

Pantaslah, selama ini apa yang aku korbankan tak pernah kamu hargai. Ternyata semua itu kamu anggap wajar, ternyata kamu anggap aku pantas berkorban, mau menerima kekuranganmu, memahami keadaanmu, itu karena kamu anggap aku hanyalah wanita tak sempurna yang tidak pantas menuntut lebih darimu.

Kamu anggap diamku, ikhlasku, baikku padamu. Karena kamu berpikir aku takut ditinggalkan? Dan takut kalau tidak ada laki-laki lain yang bisa menerimaku apa adanya? Ya Allah ... ternyata serendah itu aku di matamu, A ...."

Anita menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan mencoba untuk meredam tangisnya agar tak terdengar anak-anak. Namun, tanpa ia duga ada sepasang tangan kecil yang melingkari lehernya dan memeluknya dari belakang. "Mama, jangan sedih ...."

Anita terkejut saat ternyata putri bungsunya bangun. "Loh ... kok cantiknya mama bangun, Nak?" tanya Anita seraya tersenyum lembut.

Mereka lalu saling pandang dengan tatapan sendu, Zihan mengulurkan tangan kanan dan menyentuh pipi Anita. "Mama ininya sudah sembuh?"

Anita pun segera memeluk putri kecilnya seraya menahan air mata. "Sembuh, dong ... mama kan kuat."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status