Share

Kisahku 1 : Keputusan Mutlak A Hakam

Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.

Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.

Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.

Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bisa beraktivitas layaknya seperti orang normal pada umumnya.

Aku tak ingin berbohong, aku tak ingin menyembunyikan kenyataan bahwa aku memang tidak terlahir normal seperti orang lain. Namun, A Hakam berkata kalau dia mau menerima aku apa adanya dan aku pun merasa tersanjung atas ketulusan yang ia miliki untukku.

A Hakam dan keluarganya lantas datang ke rumah untuk lamaran dan membuat jadwal hari pernikahan yang jatuh pada tanggal 2 September 2012 kala itu. Aku bahagia, meski sejujurnya aku belum sepenuhnya jatuh cinta kepadanya.

Namun, aku sangat yakin kalau rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya bersama berjalannya waktu kebersamaan kami dalam bahtera rumah tangga. Lagi pula aku rasa A Hakam itu orang yang baik, meski aku tahu sebelum denganku dia itu suka sekali mabuk-mabukan, dia juga suka ugal-ugalan di jalan, cara berpakian dan penampilannya ya seperti pemuda urakan.

Akan tetapi, saat dia bersamaku, dia sudah membuktikan perubahan. A Hakam tidak lagi mabuk, tidak ugal-ugalan lagi di jalan, penampilannya juga sekarang agak mendingan. Dia juga mulai mencari pekerjaan, saat itu ia diajak kakaknya untuk kerja di Jakarta Utara.

Hubungan kami memang cukup lama, kita sudah lama kenal memang, tapi tidak ada status pacaran. Sejujurnya dia sudah mengutarakan cinta di saat aku masih sekolah SMP, tapi aku tolak. Karena aku tidak mau pacar-pacaran, lebih baik kami berteman saja dan dia pun setuju. Kami berteman, teman tapi mesra istrilahnya. Jika ada yang main ke rumahku cowok lain, pasti dia larang.

Di saat dia sedang ada di kota untuk bekerja A Hakam ini sudah menyuruh teman-teman sekampung untuk menjagaku dan teman-temannya itu solid banget sama dia. Sehingga tidak ada cowok lain yang berani mendekati aku, selain dia. Namun, aku masih punya satu teman cowok di sekolah. Dia namanya Asep, aku minta A Hakam tak usah cemburu, karena Asep hanyalah seorang teman.

A Hakam pun menurut, dia benar-benar tak mau membuat aku marah. Dia bahkan mau melakukan banyak hal demi aku. Jadi, salahkah aku jika aku menganggap A Hakam cinta mati sama aku?

***

Pernikahan pun tinggal menghitung minggu, tapi musibah bertubi-tubi terus berdatangan dari pihak keluarga A Hakam. Berawal dari atap rumah orang tua A Hakam yang runtuh kena angin puting beliung di bulan Maret, dan tak lama bapaknya A Hakam yang terserempet motor dan yang terakhir musibah terjadi menimpa A Hakam sendiri.

A Hakam didiagnosis terkena Sindrom Nefrotik atau yang disebut penyakit ginjal bocor. Di mana kondisi ini terjadi karena rusaknya fungsi penyaringan organ ginjal, sehingga kondisi ini menyebabkan tubuh mengeluarkan protein di dalam urine.

Gejala lain dari Sindrom Nefrotik ialah membengkaknya seluruh tubuh karena cairan yang tak dapat dikeluarkan lewat BAK. Inilah yang dialami A Hakam saat itu, saat-saat mendekati hari bahagia kami.

Emak dan Abah sempat memperingatkanku. "Nit, mendekati pernikahan keluarga pihak laki-laki selalu saja tertimpa musibah. Mungkin Allah memberi petunjuk, Nit. Kalau kamu sama Hakam itu tidak jodoh, seharusnya dibatalkan saja, Cu."

Namun, aku bingung. Saat itu aku hanya menunduk sedih. Aku memang belum mencintai A Hakam, tapi aku sangat sayang sama dia, aku juga sangat menghargai cintanya untukku. "Mak, aku hanya perempuan yang tak sempurna. A Hakam saja mau menerima aku apa adanya begini, Mak. Masa sih cuma karena A Hakam jatuh sakit aku memutuskan mundur? Nanti apa yang A Hakam pikirkan dan rasakan? Aku enggak mau nyakitin hati orang yang tulus mencintai aku, Mak."

"Tapi, Nit ... sakit ginjal itu termasuk penyakit berat. Pengobatannya tidak sebulan dua bulan, tapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ini bukan sakit batuk atau pilek, Nit. Emak khawatir kamu akan hidup sengsara jika menikah dengan orang sakit." Perkataan Emak ini diangguki oleh Abah.

Aku lagi-lagi menunduk sedih, aku juga cemas akan hal itu. Namun, perasaan tidak enak dan takut melukai hati orang lain membuatku dilema. Aku berusaha berpikir positif saja saat itu, kalau semua ini hanyalah ujian menjelang pernikahan.

"Aku enggak bisa mundur, Mak. Pernikahan tinggal dua minggu lagi. Aku tidak mungkin mengundurkan diri hanya karena A Hakam sakit, perasaannya pasti terluka nanti."

***

Malam hari setelah pembicaraanku bersama dengan Emak dan Abah, A Hakam datang ke rumah dengan membawa beberapa sample kartu undangan pernikahan. Dia menyuruhku memilih, kartu undangan yang seperti apa yang aku inginkan.

Karena aku sudah memahami kondisi keuangan A Hakam paska sakit dan pasti sudah mengeluarkan banyak uang untuk biyaya pengobatan, hingga aku pun memilih desain undangan yang sederhana saja. "Yang ini saja, A. Lebih simple, toh yang terpenting pesan di dalamnya bukan dari bagus jeleknya undangan," kataku kala itu.

A Hakam tersenyum dan mensetujui pendapatku. "Baiklah, kita pilih ini saja, aa paling mau cetak dua ratus undangan saja, Neng."

Aku mengangguk saja. "Terserah Aa."

Tak diduga Emak datang dari dapur, dia lantas ikut bergabung duduk di ruang tamu bersama kami. Firasatku Emak pasti ingin membahas soal penundaan pernikahan, iya penundaan bahasa halus dari pembatalan pernikahan.

"Hakam," sapa Emak pada A Hakam, dan laki-laki di sampingku ini menyalami Emak seraya tersenyum.

"Gimana kabarnya, Mak?" tanya A Hakam.

"Sehat, Hakam ... kamu sendiri gimana? Sudah sehat? Emak tidak bisa ikut jenguk kamu ke rumah sakit waktu itu, tahu sendiri keadaan nenek-nenek mah sudah repot," kata Emak sebagai pembukaan pembicaraan nanti.

A Hakam tampak tersenyum. "Tidak apa-apa, Mak. Hakam paham, kok."

Emak lantas melirik aku, aku tahu Emak ingin mengatakan soal tadi siang yang dibahas dan aku pun hanya pasrah seraya ingin tahu juga jawaban dari A Hakam bagaimana. "Hakam ... waktu pernikahan memang sudah dekat, tapi sepertinya keadaan kamu belum sepenuhnya pulih. Apakah sebaiknya ditunda saja tunggu kamu sembuh dulu."

Namun, A Hakam dengan tegas langsung menjawab. "Hakam tidak mau menunda lagi, Mak. Mau sakit atau tidak, pernikahan akan terjadi di waktu dan tempat yang sudah direncanakan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status