Pernikahan toxic membuat Anita pada akhirnya membuat keputusan tegas, bahwa ia ingin bercerai dengan Hakam. Anita ingin perceraiannya dengan Hakam bisa secara baik-baik, tapi ternyata laki-laki itu justru bersikap kasar pada wanita yang 11 Tahun mendampinginya selama ini. Hakam berani menyakiti Anita, menghina dan merendahkan kekurangan yang dimiliki wanita itu, dia juga mengancam akan membunuh siapa saja yang berani mendekati Anita. Jujur saja, hal itu membuat Anita trauma dan menjadikan kisah hidupnya ini sebuah kesalahan yang kelam. Namun, pertemuan Anita dengan Evan yang tak disengaja menorehkan kisah baru. Kepolosan Anita dan sikap apa adanya wanita itu membuat Evan jatuh hati, dia tak peduli dengan status sosial, usia dan kasta. Meski mereka berdua begitu banyak perbedaan yang mencolok, Evan tetap menyayangi Anita dengan setulus hati dan ingin selalu menjadi pelindung wanita itu di sepanjang hidupnya. Cover by RedWolf Sumber from Pixels.com
view moreSuara mesin printer terdengar tengah dioperasikan, seorang Office Girl tersenyum kala semua berkas yang harus ia print sudah selesai. "Alhamdulillah, kerjaan bu Widi sudah selesai. Sekarang di mana dia, ya? Aku mau buru-buru pulang, udah jam lima," gumamnya seraya melirik jam dinding, lantas ia merapikan kertas-kertas di atas meja dan meletakannya di tempat terpisah dengan berkas-berkas lain.
Seorang wanita dengan pakaian kantornya yang rapi pun datang menghampiri meja kerjanya yang tadi ia tinggal. "Udah selesai ngeprintnya, Nit?" tanya wanita itu.Wanita yang bernama Anita itu menoleh pada sumber suara lalu segera berdiri dari kursi yang semula ia duduki. "Oh, sudah selesai, Bu Wid. Ini semua filenya sudah saya print." Wanita bernama Anita itu mejawab dengan santun dan sopan.Widi pun melihat hasil pekerjaan Office Girl yang suka sekali membantu pekerjaan karyawan lain di sini jika sedang sangat sibuk, seperti saat ini. Widi tadi tiba-tiba sakit perut, padahal sebelum pulang atasan memintanya memberikan lembar laporan.Beruntung ada Anita yang setidaknya bisa dan mau membantu, karena wanita itu rupanya senang sekali belajar hal baru di luar pekerjaannya sebagai OG. Anita juga orangnya gampang diajari, sekali dikasih tahu langsung paham dan bisa."Wah, makasih ya, Nit. Ini aku mau kasih ke pak Bambang dulu," timpal Widi."Sama-sama, Bu. Mm, Bu, kalau begitu saya pamit dulu, mau laporan ke mbak Sekar," kata Anita.Widi lalu melihat jam dinding dan langsung mengerti. "Oh, udah jam lima ya? Ya udah nanti hati-hati di jalan, Nit," pesan Widi, karena dia tahu OG satu ini tidak bisa pulang lewat jam lima.Anita tersenyum seraya mengangguk kecil. "Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu," pamit Anita seraya berlalu dan Widi pun mengangguk mempersilakan.Anita berjalan cepat menyusuri koridor-koridor kantor menuju pantry di mana Sekar berada. "Mbak Sekar," sapa Anita saat ia sampai di pantry dan benar Sekar yang menjabat menjadi kepala Office Girl senior ada di sana."Ya, Nit," jawab Sekar yang usianya sama seperti Widi, dia sudah bekerja sangat lama di kantor itu, sehingga dipercayai untuk menjadi kepala OG dan OB di sana. "Kamu mau pulang sekarang? Ya sudah buruan, takutnya keburu gelap," lanjutnya berkata.Sekar memang sudah tahu kendala Anita, selain Anita memiliki dua buah hati di rumah, Anita juga sudah jujur akan kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan berada di luar rumah pas hari sudah mulai gelap.Ya, Anita memiliki penyakit bawaan lahir, sejak kanak-kanak ia memiliki masalah rabun senja. Sehingga di saat hari mulai gelap, ruang gerak Anita terbatas tak seperti saat di siang hari.Sebenarnya bisa saja ia beraktivitas di malam hari, asalkan di dalam ruangan atau di tempat yang memiliki pencahayaan yang cukup layaknya di siang hari. Anita akan kesulitan beraktivitas di tempat gelap, bahkan dengan pencahayaan yang remang-remang saja dia sudah kewalahan.Berbeda pada mereka yang memiliki penglihatan normal, setidaknya mereka masih bisa beraktivitas dengan lancar di pencayaan yang minim, tapi tidak untuk Anita. Anita tidak tahu penyakit bawaannya ini bisa disembuhkan atau tidak, karena kakek dan neneknya tidak pernah membawanya ke dokter untuk berobat.Mungkin karena keadaan ekonomi yang tidak memadai membuat kakek dan nenek Anita hanya bisa mengupayakan pengobatan tradisional saja, tapi tidak pernah ada yang berhasil.Anita sangat bersyukur bisa diterima bekerja di kantor ini dengan bantuan Sekar, Anita bisa mendapatkan keringanan bisa pulang lebih awal membersamai karyawan kantor biasa pada umumnya yakni di jam 5 sore."Terima kasih banyak loh, Mbak Sekar. Mbak baik sekali kepada saya." Anita tampak terharu.Sekar pun tersenyum. "Aku bangga sama kamu loh, Nit. Kamu wanita yang tangguh, kamu orang yang berani, kamu juga baik hati dan pekerja keras. Kisahmu membuatku memahami, dan juga ingin membuktikan pada siapa pun kaum lelaki yang hanya bisanya menghina dan tidak menghargai ketulusan pasangan hanya karena pasangannya tak sempurna.Kamu memang harus bisa membuktikan pada suamimu itu kalau meski kamu tak senormal orang lain, tapi kamu mampu hidup tanpa dia. Bahkan kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia, karena kamu pantas bahagia, Nit." Sekar menepuk pundak Anita, membuat wanita itu semakin merasa diberi kekuatan kepercayaan diri untuk terus berjalan maju meniti masa depan.Anita sejujurnya tidak ingin memikirkan masalah percintaan lagi, karena sesungguhnya ia cukup merasa trauma dengan apa yang sudah ia alami sebelumnya.Ketulusannya, pengorbanannya, kebaikannya yang ia berikan sepenuh hati kepada Hakam--suaminya selama 11 tahun ternyata hanya dianggap bentuk kewajaran. Karena pada kenyataannya Hakam tidak pernah menganggap apa yang dilakukan Anita itu sebagai bentuk kasih sayang apalagi pengorbanan, melainkan dianggap karena Anita takut ditinggalkan oleh Hakam.Karena yang pria itu pikir, siapa yang mau menerima Anita? Wanita yang memiliki kelemahan, wanita yang tidak sempurna, wanita sederhana dari keluarga miskin. Kalau bukan Hakam yang mau jadi suaminya, siapa lagi?Tidak akan pernah ada laki-laki yang mau sama Anita, menerima apa adanya wanita itu seperti halnya Hakam yang begitu sudi mau menikahi Anita dengan segala kekurangannya.Sudah sepatutnya wanita itu berbakti padanya, mengabdi dengan separuh jiwanya, tanpa berhak meminta effort lebih dari Hakam yang merasa sudah sangat berjasa di dalam kehidupan seorang Anita yang terlahir tak sempurna.***Anita tampak keluar dari kantor bersama karyawan-karyawan lain yang juga akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Anita tampak terburu-buru menuruni anak tangga dan berjalan melewati halaman kantor yang berpaving untuk menuju pinggir jalan."Semoga angkotnya tidak lama, sehingga aku tidak sampai kemalaman sampai kontrakan," gumamnya seraya terus berjalan cepat untuk menunggu angkutan umum di sisi jalan sana.Namun, tanpa diduga tampak seorang pria berambut gondrong dengan kumis dan jenggot di wajahnya tampak tersenyum kala melihat Anita. Segera ia turun dari motor bebeknya dan berjalan dengan langkah lebar menuju Anita."Anita!" Panggilan seorang pria yang berpengawakan tak terlalu tinggi dengan penampilan yang tak terawat itu.Tentu saja Anita kaget kala mendengar suara yang begitu ia kenal di telinganya, wanita itu menoleh dan melebarkan kelopak mata kala melihat Hakam hendak menghampirinya. Merasa takut Anita segera berlari, tapi ia terlambat karena Hakam kini mencekal pergelangan tangannya."Mau lari ke mana kamu, hah?! Dasar istri kurang ajar! Tidak tahu diri! Berani kamu membawa anak-anak dan pergi ninggalin aku! Kamu pikir kamu ini siapa?!" Hakam dengan suara berapi-api memarahi Anita di depan umum.Beruntung tak ada orang kantor yang ia kenal, meski ada di beberapa dari mereka memperhatikan dirinya dan Hakam yang ribut seperti ini. "A Hakam, lepasin aku, A! Aku Malu, aku mau pulang." Anita berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kasar Hakam, tapi genggaman pria itu cukup kuat."Tidak bisa! Kamu harus ikut aku pulang ke rumah kita." Hakam dengan paksa menarik Anita menuju motor bututnya."Enggak, A! Aku enggak mau ikut kamu lagi! Aku udah mau cerai dari kamu, A!" pekik Anita seraya terus berusaha melepaskan diri.Mendengar lagi-lagi Anita berani mengucapkan kata cerai, membuat harga diri Hakam merasa terlukai. Pria itu berhenti berjalan dan berbalik badan.PLAK!Tamparan keras ia layangkan ke wajah Anita yang langsung menangis histeris, selama ini memang Hakam tak pernah kasar dan main tangan seperti ini. Ini yang pertama kalinya, dan Anita tak menyangka Hakam bisa melakukannya."Kamu pikir kamu ini begitu sempurna? Kamu ini hanya wanita yang terlahir cacat. Kenapa kamu tidak tahu diri, ada aku yang mau menerimamu apa adanya yang seperti ini!"Anita tidak membalas perkataan Hakam, wanita itu hanya menangis, menunduk seraya memegangi pipinya yang terasa panas. Sakit, tapi lebih sakit lagi rasa di dalam hatinya atas perkataan Hakam barusan.Hakam kembali memegang tangan Anita, tanpa aba-aba ia menariknya lagi hingga Anita yang sedang lemah langsung jatuh ke atas tanah berpaving itu. "Ah, Aa!" Anita menjerit kala merasakan sakit di lututnya.Namun, Hakam yang gelap mata tak peduli meski ia harus menyeret Anita agar segera sampai di dekat motornya. Kejadian itu dilihat oleh Evan Lee, pria tampan berpenampilan rapi itu terkejut saat melihat penganiyayaan di depan matanya.Anita tampak menghiba pada suaminya agar mau melepaskan. "A, sakit, A! Aku tak mau ikut pulang denganmu. Aaaahh!" jerit Anita."Kamu harus ikut!" Hakam terus menarik istrinya hingga menimbulkan beberapa luka lecet pada kaki wanita itu yang hanya mengenakan rok sepan hitam selutut.Namun, Hakam seperti tak punya hati, hingga terus memperlakukan istrinya seperti binatang, membuat Evan yang melihatnya merasa geram. "Hey, hentikan!"Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments