Share

Mengejar Cahaya

Sementara Anita di dalam angkot benar-benar bingung dan gugup, ini kali pertama ia berada jauh di luar rumah di saat hari sudah gelap begini. Dia sudah tak kenal jalanan, meski sejak tadi ia terus menatap ke arah luar dia tidak tahu ini sudah sampai mana.

Saat itu ia melihat mini market, sehingga ia bisa membaca tulisan besar yang terlihat terang. Seketika ia menghela napas lega ternyata pemberhentiannya belum terlewat. Iya, dia ingat kalau pemberhentiannya masih di depan, jadi lebih baik mungkin ia bilang sekarang sama supir. "Bang, Gang Ampera berhenti, ya!" pintanya, meski ia tahu masih agak jauh, tapi lebih baik ia bilang sekarang supaya tak terlewat jika ia tak bisa melihat tempat pemberhentiannya sendiri.

"Oke, Mbak. Masih ada di depan, Mbak," sahut si Supir.

"Iya, Pak. Enggak apa-apa," jawab Anita.

Saat ini Anita hanya harap-harap cemas, di dalam angkot pun ia sudah tak bisa melihat jelas wajah-wajah penumpang lain. Wanita itu tak peduli, ia hanya terus fokus ke luar dan berdoa semoga ia bisa selamat sampai rumah saudaranya nanti.

"Bang Bang, kiri!" Seorang penumpang berseru dan mobil pun berhenti. Dua orang turun, menyisakan Anita dengan tiga penumpang lain.

Angkot kembali melaju, tak lama penumpang lain berseru. Angkot kembali berhenti dan menurunkan seorang penumpang, setelah itu kembali melaju.

Anita terlihat gelisah, ia terus memperhatikan ke luar dan rasanya tak mengenali jalanan yang di lalui ini. "Bang, jangan lupa Gang Ampera, ya!"

"Santai, Mbak. Saya masih ingat, kok," sahut Supir, sementara Anita mengangguk saja.

Tak lama angkot perlahan berhenti tepat pada suatu gang, terlihat papan nama gang yang di atasnya terdapat lampu jalan berwarna kuning 'Gang Ampera'. "Nah, Mbak. Ini udah sampai," kata si Supir.

Anita menatap ke luar mencoba mengenali lokasi, dan benar ini tempat pemberhentiannya. Anita segera turun dan memberikan ongkos seperti biasa. "Makasih ya, Bang," katanya ramah dan penuh rasa syukur karena ia pada akhirnya lebih dekat dengan rumah.

"Sama-sama, Mbak," jawab Supir lantas kembali menjalankan kendaraannya meninggalkan Anita.

Anita melangkah dengan hati-hati memasuki gang, bersyukur di beberapa titik terdapat lampu-lampu jalan berwarna kuning sehingga ia masih bisa berjalan dengan baik. Anita cukup hafal dengan jalan ini, karena setiap hari ia melaluinya dengan jalan kaki sebelum ia ke jalan besar untuk mencari angkutan umum.

Hati Anita was-was kala ia akan melewati salah satu rumah yang lampunya belum dinyalakan, begitu juga lampu jalannya sepertinya mati. Segera ia mengambil ponsel dan menyalakan senter, sayang jarak cahaya senter pendek saja, tapi lumayan membantu setidaknya ia takan tersandung atau terperosok jika ada apa-apa di jalan.

"Ya Allah, lindungi hamba sampai di rumah bibi," gumam Anita.

Dia terus berjalan melewati gelap, meski kakinya sempat nyasar-nyasar terlalu sisi dan sempat hampir jatuh ke selokan yang ada di sisi jalan gang. Jujur saja jantungnya berdebar. "Ya Allah, aku harus berhati-hati," gumamnya lagi, seraya memegangi dadanya yang berdebar, Anita hampir saja menangis karena sungguh ia kepayahan dalam keadaan seperti ini.

"Syukurlah, itu pertigaannya, sebentar lagi sampai di rumah bibi," ucapnya lagi bermonolog.

Saat ia melihat cahaya lampu jalan di depan, langkahnya ia percepat seolah tengah mengejar sesuatu. Ya, Anita sedang mengejar cahaya, seperti itulah istilahnya.

"Alhamdulillah," ungkapnya lagi penuh rasa syukur kala ia sampai di pertigaan dan berbelok kiri.

Gelap, lagi-lagi ia menemukan jalan gelap yang membuat hati Anita kesal. Mungkin bagi orang lain ini hal sepele, tapi bagi Anita ini seperti perjuangan tersendiri. Beruntung, terdengar suara motor dari belakang.

Tentu saja cahaya lampu sen motor itu bisa menerangi jalan, Anita tanpa pikir lama segera berjalan cepat menuju rumah saudaranya dengan lampu motor orang lain yang mengiringinya.

Sampai, Anita kini sampai di depan pagar rumah sang Bibi di saat motor melewatinya. Anita menghela napas lega, dan segea membuka pintu gerbang rumah saudaranya.

Rumah bibinya juga tak terang benderang seperti rumah kontrakannya yang sengaja ia pasang lampu neon di depan rumah dan si setiap ruangan. Sehingga Anita kembali mengarahkan senternya ke jalan yang akan ia lalui menuju pintu.

Anita mengetuk pintu rumah itu sebanyak tiga kali, membuat orang yang di dalam segera menoleh. "Nah, itu mungkin mama kalian, biar nanti nenek bukakan dulu." Seorang wanita paruh baya berdiri dari kursi meninggalkan dua anak perempuan itu dan berjalan ke arah pintu.

Pintu terdengar diketuk lagi. "Ya, sebentar!" jawab wanita paruh baya yang bisa disebut saja Marni, dia adalah adik dari mendiang ibunya Anita. "Nit, tumben kamu gelap begini baru sampai? Kamu tidak apa-apa?" tanya Marni seraya memegang kedua belah pundak Anita yang terlihat lunglai.

"Aku enggak kenapa-kenapa, Bi. Ceritanya panjang kenapa aku bisa baru pulang jam segini," jawab Anita lesu.

"Ya udah ayo masuk, Zahra sama Zihan nungguin kamu terus, apalagi Zihan dia sejak tadi nangis terus karena kamu enggak pulang-pulang," adu Marni.

Anita segera masuk ruang tamu langsung disambut oleh kedua putrinya. "Mama!" seru keduanya lantas berlari menghambur kepada Anita.

"Mama kenapa baru pulang?" tanya Zahra si Kakak.

Anita mengelus rambut lurus si Sulung. "Mama ada sedikit masalah tadi di jalan, jadinya pulang telat," jawab Anita seraya tersenyum.

"Mama, neng kangen," ungkap Zihan sang Adik, kali ini Anita menatap si kecil dengan rasa haru.

Wanita itu lalu berjongkok di hadapan si Bungsu agar wajah mereka sejajar. "Mama juga kangen Neng, kangen Teteh juga. Zihan enggak nakal 'kan sama Nenek Marni?" tanya Anita seraya mengelus kepala Zihan yang memiliki rambut ikal seperti miliknya.

"Neng baik kok, Ma. Ya, 'kan, Nek?" Zihan lantas menatap pada sang Nenek.

"Iya, Neng Zihan sama Teteh Zahra juga baik, kok. Mereka nurut-nurut kok, Nit," jawab Marni.

Anita tersenyum penuh syukur, tapi Zihan melihat ada luka memar di wajah ibunya. Anak kecil itu merasa heran, jari kecilnya pun menyentuh sudut bibir Anita dengan pelan. "Ininya Mama kenapa?" tanyanya polos.

Anita sedikit bingung untuk menjawab pertanyaan si Kecil, tidak mungkin ia menjawab yang sejujurnya pada si Kecil. "Oh, ini? Tadi mama nabrak tihang listrik di depan," jawabnya asal.

Hal itu juga mengundang perhatian Marni dan si anak Sulung untuk ikut serta memperhatikan wajah Anita. "Iya, bibir Mama kenapa? Kok, merah? Beneran karena nabrak tihang listrik?" sambung Zahra tentu anak usia 9 tahun itu sedikit tak percaya dengan ucapan sang Mama.

"Iya, Nit. Kenapa dengan wajahmu, kenapa ada luka memar begitu?" Marni menjadi cemas lantas melihat ke arah lutut Anita. "Ya Allah, Nit. Kaki kamu juga kenapa itu? Kenapa lecet-lecet begitu, Nak." Marni semakin histeris, membuat Anita takut kalau kedua putrinya menjadi ikut sedih dan panik.

"Bi, malam ini aku dan anak-anak nginep dulu di sini ya. Sudah gelap, aku takut nabrak-nabrak. Tadi saja penuh perjuangan untuk sampai ke sini," kata Anita mengalihkan pembicaraan.

Marni yang paham pun segera memegang kedua pundak anak kecil itu. "Iya, sudah. Kalau begitu Zahra ajak Zihan bobo di kamar, ya. Mama mau mandi terus makan dulu, nanti nyusul kalian ke kamar," titah Marni pada Zahra.

"Iya udah. Yuk, Zihan ke kamar sama teteh," ajak sang Kakak seraya memegang kedua pundak sang Adik.

Zihan pun menurut, kedua anak kecil itu lantas masuk ke kamar dan menutup pintu. Marni lalu melihat Anita yang berangsur berdiri, lantas ia memegang kedua bahu sang Keponakan untuk mengajaknya duduk. "Ceritakan pada bibi, apa yang terjadi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status