Share

Kisahku 2 : Gosip Panas

Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.

Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.

Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.

Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalaman. Intinya aku takut .... Namun, A Hakam pernah berjanji, setelah kami menikah aku akan diajak bekerja di mana A Hakam bekerja juga. Iya, lebih baik begitu, aku menikah, terus bisa bekerja dan yang jagain suami sendiri, sudah halal kan aman.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anita Larasati binti Wira dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan cincin dua gram dibayar tunai!" A Hakam berhasil mengucapkan ijab qabul dengan satu tarikan napas, aku tersenyum kala melihat tangan laki-laki di sampingku tampak berkeringat, dia pasti tadi grogi.

Alhamdulillah ... akhirnya akad nikah kami berjalan dengan lancar, kini kami sudah halal menjadi pasangan suami istri.

Acara pun dilanjut dengan pembacaan doa, bukan hanya A Hakam yang telah mengucapkan janji suci di depan penghulu juga saksi, terlebih pada Allah Subhanahu Wa Ta'alla. Begitupun aku, aku juga berdoa dan mengucapkan janjiku sendiri sebagai seorang istri, bahwa aku berjanji seberat apapun ujiannya, selelah apapun cobaannya, aku akan tetap berada di samping A Hakam suka maupun duka.

Aku tidak akan meninggalkan A Hakam, kecuali A Hakam yang ingin meninggalkan aku atau A Hakam memberi tanda-tanda ingin aku tinggalkan, barulah aku akan meninggalkannya.

Namun, aku sangat berharap. 'Ya Allah, semoga ini jadi yang pertama dan yang terakhir untukku.'

***

Ini adalah hari-hariku sebagai pengantin baru, semuanya memang terasa berbeda. Di saat kemarin aku bangun tidur tak ada siapa pun, kini aku akan melihat wajah A Hakam yang tidur di sampingku.

Di saat dulu aku hanya makan sendirian, kini ada A Hakam yang menemani. Di saat dulu aku ke mana-mana sendiri jalan kaki, sekarang ada A Hakam yang mengantarkan aku ke mana pun aku mau.

Sebulan telah berlalu, kami menjalani rumah tangga secara LDR. Karena A Hakam harus bekerja di Jakarta dan belum bisa ajak aku. Tak apa ... aku tetap bahagia, semoga A Hakam di kota selalu diberi kemudahan, kesehatan dan kelancaran dalam mencari rezeki.

Satu lagi, semoga penyakit A Hakam jangan kambuh-kambuh lagi, Ya Allah ....

Namun, di balik kebahagiaanku, ternyata di luar sana telah terembus kabar miring tentangku. Aku sempat sedih kala aku mendengarnya dari tukang sayur yang suka berjualan di sore hari. "Nita perutnya enggak besar-besar ya, Mak," kata si Mamang sayur pada Emak.

Aku dan Emak yang sedang berbelanja pun saling pandang, kami merasa bingung saja dengan apa yang dikatakan si Mamang. "Ya belum lah, Mang. Orang baru juga menikah satu bulan," jawab Emak.

Si Mamang tukang sayur tertawa jenaka. "Ya enggak, Mak. Orang-orang mah baru menikah sebulan pun perutnya langsung melendung," sahut si Mamang.

Aku dan Emak pun tersenyum, memang sedang fenomenal hal yang seperti itu, kebanyakan orang menikah karena si wanita sudah hamil lebih dulu.

"Itu mah beda cerita, Mang," timpal Emak seraya melanjutkan memilih sayur kangkung.

"Emak mah enggak tahu, di luar mah rame ngomongin cucu Emak loh, Mak. Saya kan tukang sayur keliling jadi tahu semua apa yang orang-orang bicarakan," kata si Mamang.

"Ngomongin apa sih, Mang? Mereka ngomongin apa soal Nita?" tanya Emak penasaran, aku juga sejujurnya ikut penasaran.

Orang-orang sebenarnya membicarakan apa tentangku? Karena aku merasa tidak punya masalah dengan siapa pun. Kenapa mereka menggosipkan aku di belakang?

"Mereka menduga kalau Anita hamil duluan," celetuk si Mamang.

"Astagfirullah .... " Aku dan Emak sontak kaget mendengarnya, kenapa orang di luar bisa berpikir demikian?

"Ya soalnya Nita nikahnya kayak buru-buru banget, Hakam kan masih sakit, badannya aja masih agak bengkak. Kok, dilanjutkan terus, Mak?" ungkap si Mamang.

Aku melirik pada Emak yang terlihat terdiam, aku tahu Emak menahan kesal saat ini. "Yeh, Mang! Asal kamu tahu, ya. Emak tuh sudah mengingatkan si Hakam, kalau dia itu masih sakit, sebaiknya pernikahannya ditunda nunggu dia benar-benar sembuh. Tapi, ya Hakam sendiri yang maksa mau lanjut menikah. Bukannya buru-buru nikah karena Cucu Emak hamil duluan!" Terdengar suara Emak sangat emosi.

"Udahlah, Mak. Enggak apa-apa, toh Nita enggak seperti yang mereka bicarakan, Mak. Biarkan saja orang mau bilang apa," kataku berusaha menenangkan Emak.

Ternyata benar firasat orang tua, menikah sekarang memang menimbulkan spekulasi buruk untukku.

"Emang begitu orang-orang ini, Mak. Bisanya ngomongin tanpa tahu kenyataannya. Maaf ya, Mak. Kalau saya salah ngomong," kata si Mamang.

Emak rupanya masih kesal, terlihat ia terus mengelus dada. Aku tersenyum pada si Mamang. "Ya udahlah, Mang. Enggak apa-apa, oya ini jadi berapa?" tanyaku meminta semua belanjaanku dan Emak dihitung sekalian.

"Iya, Neng. Ini semuanya jadi dua puluh lima ribu aja," jawab si Mamang.

"Oh, iya, ini uangnya, Mang." Aku memberikan uang lima puluh ribu pada si Mamang dan si Mamang segera mengambil kembalian lalu memberikannya padaku. "Makasih ya, Neng."

"Sama-sama, Mang." Aku dan Emak pun masuk ke rumah.

Emak dengan kesal meletakan dua ikat kangkung, cabe dan bumbu lainnya di atas bale begitu saja lalu ia duduk di tepian. "Ambilin wadah sana, Nit!" titah Emak dengan nada ketus padaku.

Aku pun menurut dan pergi ke dapur untuk mengambilkan wadah sayur lalu segera aku kembali ke depan. Aku memberikan wadah kepada Emak. "Duduk situ! Emak mau ngomong," pinta Emak.

Aku menurut dan duduk di kursi, sementara Emak mulai memetik kangkung untuk dibuat lauk. "Apa kata Emak, Nit. Di luar mah ternyata rame gosipin kamu, tega-teganya mereka menyangka kamu hamil duluan. Tentu saja Emak marah."

Aku tersenyum menanggapinya. "Kan pada kenyataannya aku enggak hamil duluan, Mak. Oya, A Hakam semalam kasih kabar kalau awal bulan ini aku mau diajak kerja sama A Hakam di kantor tempat A Hakam kerja."

Wajah Emak barulah terlihat mencair saat mendengar kabar bagus ini. "Syukurlah, Nit. Semoga lancar, semoga kamu bisa kerjanya ya, Cu."

"Amiin, Mak. Akhirnya aku nanti bisa bantu Emak dan Abah," kataku senang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status