Jantungku berdetak kencang, hari ini dokter Adi akan membawa serta kedua orang tuanya untuk melamar secara resmi.Hati riang nan gembira, semoga sang pujaan akan menjadi pria terakhir yang menyusup di dalam kehidupan.Masalah lamaran ini, kututup rapat dari Anne juga Mami. Terlebih dengan kejadian kemarin, jelas Papi tahu dan marah besar.Namun, kutahan mati-matian. Menunggu waktu yang tepat untuk membalas semua perlakuan mereka, harus ada bukti siapa yang bersalah di sini bukan?Setengah jam berlalu, dan dokter belum jua datang dari waktu yang sudah ditentukan. Aku mendesah resah, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak.Mencoba menelpon berkali-kali tetap tak ada jawaban, apalagi pesan
SAH!SAH!SAH!Air mataku meluncur deras, sang pujaan begitu lancar dalam mengucap ijab qobul. Hari yang kusangka menjadi lamaran resmi, justru dihadiahi dengan pernikahan tak terduga.Tak begitu banyak yang datang, hanya keluarga dan beberapa tetangga. Mengingat persiapan ini, pasti sangat terbatas jua mendesak.Namun, semua ini tak penting. Toh, kami menikah bukan atas dasar tanda kutip kecelakaan!Dokter Adi dan Papi, pasti sudah membahasnya secara matang. Hanya saja, Mami begitu tega dengan tak hadir di hari bahagiaku.Terang saja ia begitu enggan, ada Anne yang pasti melarang
"Kamu tahu, sebenarnya ... Aku sedikit nggak suka dengan sifatmu yang keras kepala itu." Dokter Adi berucap, sembari menyentuh daguku agar kami bisa saling bertukar pandang.Aku merenggut, sifatku keras karena didikan dari Mami. Harusnya tak ada yang boleh menyalahkan diriku, siapapun termasuk suami!Andai, semua orang tahu bagaimana mennderitanya aku karena ketidakadilan yang Mami ciptakan. Pasti, tak akan berkomentar semena-mena.Menjadi aku tuh nggak mudah, sangat sulit. Dan butuh perjuangan yang amat melelahkan, "Yasudah. Aku nggak maksa, kamu suka atau nggakpun bukan hakku!"Kutepis lengan kekarnya dengan kasar, tusukan penyesalan makin terasa sekarang. Kenapa harus membahas orang lain, di malam pertama kami. Yang harusnya, diisi dengan penuh k
"Mami mohon, Anna. Kasihanilah adikmu, hidupnya selalu malang tak berkesudahan." Mami merintih, sembari terus menitikan air mata. Seolah dirinyalah, yang tengah diselimuti kedukaaan.Aku mengembuskan napas enggan, tak mau lagi terjebak dalam kepalsuan Mami. Bukan egois, tapi, ada kalanya diri berjuang untuk mempertahankan!Anggap saja, ini satu hukuman untuk wanita yang sudah melahirkanku ke dunia. Sikapnya yang tak adil, membentuk diriku menjadi seperti sekarang.Kutatap sekeliling rumah, Papi dan istrinya sedang berada di luar. Dan itu dijadikan kesempatan Mami, untuk datang dengan permintaan konyol.Di mana ada, seorang istri mau berbagi suami dengan wanita lain? Terlebih, adik sendiri.
"Kamu harus ikhlas, Anna. Apapun yang terjadi pasti atas seizin Allah." Begitu katanya, ketika Papi melihatku yang sedang gusar. Menantikan Mas Adi, yang belum pulang jua.Entah maksud ikhlas menurut Papi itu apa? Tapi, yang kutahu saat ini Mas Adi memang sedang di rumah sakit. Mengurus Anne, yang tak kunjung membaik.Ucapan Papi sama sekali tak membuat hati tenang, malah semakin gusar. Berpikir yang iya-iya, tentang mereka berdua.Berpikir, apa tak ada dokter pengganti? Hingga harus suamiku yang terus sibuk, mengurus adikku yang malang itu.Dering pada telpon, menghentikkan pikiran yang sedang berkecamuk. Ada nama Mas Adi di sana, segera kuangkat dan menetralkan segala rasa resah yang terus mengungkung.&nbs
"Kalau kamu tetap bersikeras, lebih baik kita berpisah. Aku nggak mau, membiarkan hati terus dilukai." Berujar dengan penuh ketegasan, kutatap sang suami lekat. Amukan Anne kemarin, benar-benar sudah keterlaluan!Kami bertiga duduk di ruang tamu, dengan ketegangan yang terus menyelimuti. Jangan tanya ke mana istri Papi, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan dunianya sendiri.Mas Adi tampak gusar, sembari memijat pelipis yang mungkin terasa pusing. Sama, aku juga merasakan hal tersebut secara berulang."Apa, nggak ada jalan lain sayang? A-ku nggak mau pisah." Aku berdecak kesal, selalu bilang tidak mau berpisah. Tapi, kenyataan begitu peduli pada Anne hingga sekarang.Papi hanya terdiam sedari tadi, i
Kakiku lemas, saat melihat bendera kuning bertengger di rumah Mami. Ada rasa nyeri yang tak bisa digambarkan, kehilangan itu baru terasa sekarang.Bukankah kamu kuat, Anne? Kenapa sekarang lemah tak berdaya? Kamu mati, hanya karena dokter meninggalkanmu.Untuk terakhir kalinya, aku memeluk jasad Anne. Mengguncang tubuhnya dengan air mata terurai, tak menyangka jika ia benar-benar akan pergi untuk selamanya.Bahkan kita belum mengucap kata maaf satu sama lain, tapi, kamu pergi seolah tak ingin lagi berjuang!"Simpan air mata palsumu itu, Anna. Pasti, kamu senang 'kan? Dasar anak bawa sial, karena keegoisanmu Anne mati dalam kondisi sedih berkepanjangan." Suara Mami mendominasi, membuat orang-orang
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya aku dibawa pergi oleh suami menuju luar kota. Menurutnya, berada jauh dari Mami akan lebih baik. Tak ingin terus memupuk luka yang sama, bukankah aku juga berhak hidup bahagia dalam ketenangan?Bukan tak mau lagi peduli pada Mami, hanya saja keadaan tak lagi sama seperti dulu. Apalagi, semenjak Anne pergi dan takan kembali.Menatap rintikan hujan pada celah jendela, aku menangis tersedu. Sendiri, dalam kesedihan tak tertahankan.Mas Adi sudah mulai bekerja lagi, tentu tugasnyapun ikut berpindah. Melupakan masa lalu, memang bukan hal mudah. Tapi, pergi darinya mungkin saja akan jauh lebih baik.Rasa rindu terhadap Papi, juga makin mengiris kalbu. Apa