"Jadi, kemarin Mamimu datang lagi?" tanya Citra, terlihat kepo tak berkesudahan.Tak henti-hentinya Citra mengumpat, seakan begitu membenci Mami seseorang yang bahkan baru dikenal."Begitulah, dia masih terus meneror. Agar aku mengabulkan wasiat mendiang Anne," sahutku masih ingat betul setiap tatapan tajam yang Mami layangkan.Kupikir kematian Anne, adalah ujung dari penderitaan yang selama ini kutanggung. Ternyata semua belum usai, masih ada Mami.Papi dan Mas Adi, juga merasakan keganjalan yang sama. Mereka tak lantas mau mengabulkan wasiat yang dibawa Mami, meskipun wanita itu mati-matian berjuang.Kisahku teramat pelik, tak bisakah Mami membiarkan diriku hidup bebas seperti burung di luaran sana?Aku dan Citra sedang duduk lesehan di teras depan, usai menyiram tanaman. Para suami sudah pergi bekerja, pada tempat masing-masing. Tinggallah kami yang sibuk dengan pikiran tentang Mami,
"Seharusnya kamu nggak usah bawa Mami ke rumah sakit! Percuma hidup, kalau tak ada lagi gairah dalam melanjutkannya." Beliau berucap dengan suara parau, netranya kembali meneteskan air mata.Miris sekali hidupmu Mi!Kehilangan Anne membawa dampak besar, bahkan berkali-kali mengucap kata mati seolah mendahului takdir Tuhan.Aku mendesah sedih, berkecamuk dalam pikiran. Apa mungkin dengan mengabulkan wasiat, akan membuatnya kembali bergairah?Namun, bagaimana dengan hati Mas Adi? Kami ... Tengah bahagia dalam biduk rumah tangga yang sedang dijalani. Tidak mungkin diakhiri, dengan cara menyedihkan."Mami belum bisa tenang, sebab kamu ... Masih saja ego. Mempertahankan dokter Adi padahal tahu, wasiat Anne harus segera dikabulkan." Ucapan Mami yang beruntun, seakan kembali merobek hati. Menambah gundah, yang entah akan berakhir kapan?"Mi." Aku berujar, sambil meraih tangan Mami lembut. "Coba kataka
"An-ne ... Itu, beneran kamu?" tanyaku, sambil berpegangan pada Citra. Lutut mendadak lemas, menyaksikan pemandangan di depan.Seringai tipis Anne berikan, membuat napas makin tak beraturan. Bukankah ia sudah mati, kenapa sekarang ada di rumahku? Dan mirisnya usai bercumbu dengan suamiku!"Kamu pikir aku apaaaa, hantu? Anne yang bangkit dari kuburan, begitu? Demi membalaskan dendamnya pada sang kakak." Bukannya malu atau paling tidak, ada sedikit saja rasa bersalah yang menyusup dalam hatinya. Anne bersikap sombong, sembari terus mengibaskan rambut.Netraku beralih pada Mas Adi, persis seperti patung. Ia hanya mampu berdiri tanpa kata, ditambah wajah pucat. Lidahnya seolah kelu, untuk berucap!Inikah pria yang telah menikah denganku? Sosoknya yang tampan jua menawan, tak lagi terpancar. Tertutup oleh keburukan yang ia tanam sendiri, jujur aku kecewa yang teramat dalam."Tega kamu Anne ... Pura-pura
Tubuhku lunglai tak berdaya, beruntung Papi datang dan membubarkan semua orang-orang yang hampir saja membuat kepala pecah.Tersangka utama duduk saling bersisian, tautan tangan seakan tak pernah lepas. Tuhan, sepahit inikah jalan takdirku?Hatiku hancur bahkan tak bersisa, mereka top benar dalam memainkan sandiwara. Persis aktor dan aktris, yang sering menjadi tontonan.Seperti sedang diadili, semua mata memandang lekat pada mereka. Mengumpat dalam hati, mengecam perbuatan yang tak seharusnya."Kamu sadar Adi, dengan apa yang baru dilakukan?" tanya Papi, memecah keheningan.Dokter Adi mengangguk lemah, seperti kucing yang baru ketahuan maling ikan. Bedanya ... dia kucing garong, pemangsa wanita!Papi menghela napas panjang, mungkin merasa sesal sebab telah menikahkan aku dengan dokter Adi. Pria tak tahu diri!Aku meremas tangan yang saling bertautan, sesak di dada belum jua hilang. Berharap ini
"Mereka semua jahat, Mi. Udah buat aku malu, huhuhuhu." Anne merajuk, berhamburan dalam pelukan sang Mami.Melihat hal itu, jelas hati begitu muak!Semua warga telah bubar, usai memberi hukuman pada kedua pezina di muka bumi. Entah kenapa, hatiku belum sepenuhnya puas!"Kamu benar-benar keterlaluan Pratama! Bisa-bisanya membuat anak kita malu, melindungi Anna dan mematahkan hati yang lain." Mami berucap dengan sinis, bukankah kalimat itu pantas untuk ditujukan pada dirinya sendiri? Terkadang, ia perlu berkaca.Berulang kali berdebat, tetap saja tidak pernah ada keputusan final. Mereka tetap mengganggu hidupku, dengan cara menghadirkan pria macam dokter Adi.Rasanya ... aku begitu jijik, terhadap tubuh yang pernah disentuh olehnya. Tak menyangka, bahwa apa yang pernah kami lakukan hanya kepura-puraan semata."Hukuman malu itu, aku rasa tidak sebanding dengan apa yang sudah kalian perbuat pada an
"Aku bersyukur ... Akhirnya perpisahan kita berjalan dengan lancar." Aku berucap, sambil duduk berhadapan bersama sang mantan.Tak ada Anne ataupun Mami, karena memang itu permintaan dari Papi. Sebenarnya malas sekali bercakap dengan dokter Adi, yang hanya bersembunyi di balik ketampanan.Berharap, ini kali terakhir kami saling bertemu. Muak sudah, pernah hidup bersama seorang penipu."Anna, maafkan aku. Jujur, aku menyesal." Dokter Adi semakin menunduk lebih dalam, sedang aku sama sekali tak merasa iba. Rasa itu sudah lenyap, bersamaan dengan luka yang sudah ia goreskan."Simpan saja rasa sesalmu itu, dok. Menikah dan bahagilah dengan Anne, impian kalian yang sempat terhambat olehku."Dokter Adi mendongak, wajahnya tampak kusut selaras dengan penampilannya hari ini. Tak serapi dulu, saat kami masih bersanding."Aku ... Nggak yakin bisa bahagia dengan Anne, setelah semua yang sudah terj
Kedai cinta, resmi dibuka hari ini. Semua pengunjung yang datang, boleh makan dan minum secara gratis. Hitung-hitung promo, semoga bisa menjadi jalan pahala untuk kami.Papi dan suami Citra, ikut membantu dalam pembukaan kedai. Kami seakan dibuat sibuk. Namun, terasa senang sebab memiliki aktivitas baru.Kedai yang kami buka, terdiri dari berbagai minuman juga cemilan. Belum tersedia makanan berat, karena masih dalam tahap percobaan.Sudah ada dua orang karyawan, yang akan ikut membantu. Tentu dengan campuran tangan dari Papi dan suami Citra, beruntung sekali ada mereka yang selalu siap siaga.Ilmu dari kursus memasak, sedikit demi sedikit bisa kami tuangkan melalui usaha ini. Ya, walaupun waktunya begitu singkat. Kalau saja, Anne tidak harus datang dan mengacaukan semua."Mbak, bikinin roti bakar satu ya. Nggak pedes, dan ... Banyakin bumbu cintanya." Dahiku mengernyit, buru-buru menatap si
Netraku membulat sempurna, menatap seorang pria di depan sana. Ada gelanyar rasa rindu, susah payah kutepis agar tak lagi jatuh pada kubangan yang sama.Dia ... Hanya pria dari masa lalu, yang tak boleh lagi masuk ke dalam hidupku! Pilihannya untuk bersama Anne, masih meniggalkan bekas luka di hati.Jangan lupa, dia juga pernah berniat untuk melakukan perbuatan senonoh. Tentu dengan rencana dari ketiga manusia, yang selalu memiliki rasa benci."A-pa kabar, Anna? Lama tak berjumpa, banyak yang berubah pada dirimu. Hm, makin cantik." Ia bertanya, dengan netra yang masih menatap lekat.Aku melengos, baru bertemu sudah berani menggoda. Jangan dipikir kejadian sudah berlalu, dan aku bakal lupa? Nggak akan!Bagaimana bisa ia keluar dari balik jeruji besi? Ahh, aku lupa. Angga orang kaya, mungkin saja keluarganya baru pulang ke Indonesia. Mengurus segala hal, tentang kebebasan sang anak.Jangan ditanya, bag