Share

Bab 6

Mengabaikan Perintah Mami

 

"Anne sakit, apa kamu nggak mau jenguk dia?" Mami datang, tanpa sempat bertanya tentang kabarku sama sekali.

 

Apa dia nggak tahu, dengan kejadian terakhir saat aku berkunjung ke rumah? 

 

Mati-matian aku menekan rasa cinta yang masih membumbung tinggi, terhadap Angga. Lagi, Mami datang dengan membawa kabar perihal sang adik.

 

"Entar juga sembuh 'kan? Udah biasa itu, aku lagi nggak ada mood bagus untuk ke sana." 

 

"Ayolah Ann, sedikit saja kamu mengalah." Mami berdecak kesal. "Mami pusing, capek juga menghadapi kamu yang akhir-akhir ini nggak bisa diatur."

 

Jelas saja, cinta yang membuat diriku sadar Mi! Kehilangan Angga, membukakan mata hati atas ketidak adilan Mami selama ini? 

 

 

Mami boleh sukses membangun butik dengan brand ternama, tapi, anjlok dalam mendidik anak. Berat di sebelah, menanamkan banyak luka di hatiku sebagai seorang kakak. 

 

Dan ... Kepergian Papi, ada andil besar Mami di dalamnya. Kalau tidak, mungkin beliau masih di sini berkumpul dalam keluarga yang utuh. 

 

"Sama, Anna juga capek Mi." Aku beranjak dari kursi, mengambil segelas minuman untuk Mami. "Tanpa Mami sadari, selama ini selalu menorehkan luka di hatiku. Membedakan kami, dalam segala hal."

 

"Kamu ini kenapa Anna, mendadak melow? Jelas beda dong, Anne sakit. Dan kamu tahu itu, sebisa mungkin kita harus memenuhi keinginan dia sebelum kepergiannya." Lagi, Mami berdalih layaknya Tuhan. Yang tahu akan usia seseorang habis di angka ke berapa!

 

Sebenarnya percuma saja, aku bicara sama Mami. Hatinya nggak akan terbuka, akam selalu tertutup demi Anne. 

 

"Anna. Mami datang bukan untuk berdebat," ucapnya sambil memegang kedua pundakku. "Adikmu sakit. Dan kamu cukup tahu apa saja yang telah Mami tanamkan sedari kalian kecil!"

 

Bahuku terguncang dengan kuat, menangis sejadinya. Hati kecil sangat berharap, masih ada sedikit rasa kasihan Mami terhadap anaknya.

 

Perasaan, baru kemarin Anne jatuh sakit. Kenapa sekarang harus kambuh lagi? Kamu mau mati saja, nyusahinnya kebangetan! 

 

Harusnya kehadiran Angga, cukup mampu menjaga dan melindungi Anne di sana. Dengan tidak lagi merepotkan aku, dalam segala hal.

 

"Mi ... Kalau boleh aku tahu, sebenarnya Anne itu sakit apa sih?" tanyaku, masih dalam keadaan membelakangi Mami dalam posisi sama-sama berdiri. 

 

Terdengar helaan napas panjang darinya, tanggapan yang biasa Mami berikan. "Adalah. Kamu nggak perlu tahu, penting Anne parah dan butuh kebahagiaan dari orang sekitar."

 

Bukan jawaban itu yang mau aku dengar, Mi. Tapi, sebuah kepastian. Biar aku tahu detail, dan nggak selalu jantungan kala mendengar dia jatuh sakit untuk kesekian kalinya.

 

"Pokoknya, besok kamu harus datang Ann. See you, Mami tunggu. Dan jangan lupa, sebelum mampir ke rumah ambil obat Anne ya!"

 

Oh tidak! 

 

Itu berarti aku harus bertemu lagi dengan dokter Adi? "Nggak mau Mi, aku harus kerja. Cuti mulu dari kemarin!" elakku, sambil mencebik bibir. 

 

Mami menggeram marah, seperti biasa menatapku tajam. "Dengar Anna, Mami paling nggak suka dengan penolakan!"

 

 

Usai mengomel panjang, Mami berlalu bahkan tanpa kata pamit. Ia marah, menuduhku sebagai kakak terkejam. 

 

Apa aku nggak salah dengar? Julukan itu justru lebih pantas, disematkan untuk Mami dan Anne. 

 

Sendiri dalam Kosan yang sepi, aku merenung lama. Merasakan kesedihan paling mendalam, selalu di anak tirikan dalam waktu yang entah hingga kapan!

 

Padahal, aku dan Anne sama-sama anak Mami. Terlahir dari rahim yang sama pula, seharusnya bisa berlaku seadil mungkin!

 

Aku mengepalkan tangan dengan kuat, mulai jengah dan tak mau lagi menuruti segala perintah Anne apalagi Mami. 

 

Dia mau mati, silakan! Nanti aku pasti datang, selama ini mereka sudah sangat keterlaluan. Perlu diberi pelajaran sedikit saja, biar tahu aku juga punya hati dan perasaan.

 

Selamat datang, pribadi Anna yang baru. Kamu kuat, sehat juga cantik. Persis seperti apa yang Mami sering bilang, dan satu lagi. 

 

Aku ... Akan menjadi pemberontak, kehidupan penuh derita membuatku harus melakukan ini.

 

Dan kalian berdua adalah biang onar, terima kasih untuk luka yang selalu kalian torehkan!

 

***

 

"Wih ... Akhirnya kamu masuk juga Ann," ucap Nindy. Teman kantor, juga teman curhat dalam segala hal. 

 

Dibanding dengan Anne, aku merasa lebih nyaman bersama Nindy. Dia apa adanya, menerima aku tanpa embel-embel apapun. 

 

Setidaknya, hari ini aku bisa terbebas dari permainan orang rumah. Aku cukup tahu, Anne pasti sudah menyusun sebuah rencana untuk bisa membuat hatiku kembali panas. 

 

Dan kamu Angga, sudah tahu masih cinta. Tapi, malah pasrah. Jangan salahkan, bila suatu saat nanti akan ada pengganti yang lebih darimu sayang! 

 

"Semua orang Kantor, udah tahu kabar pernikahan Angga sama adikmu itu." Benarkah? Hah, kabar apapun memang lebih cepat masuk telinga. Pantas saja, sepanjang masuk kantor. Semua mata memandangku lekat, sambil berbisik. 

 

Mendesah resah, aku duduk di samping Nindy. Menjabat sebagai karyawan staf biasa, "Okelah. Aku, sudah cukup bisa menghadapi kenyataan ini."

 

Nindy tersenyum, sambil meremas punggung tanganku. "Yang kuat Ann, masih banyak kok cowok yang lebih dari doi. Tentunya, nggak plin-plan!"

 

Untuk sesaat, aku tergelak. Nindy benar, Angga bukan lagi pria idaman seperti dulu. Kala aku selalu bisa membanggakan dirinya, di depan teman-teman. 

 

"Jadi, kamu lebih memilih masuk kerja. Dibanding ngambil obat buat si Anne itu?" tanyanya, dengan penuh antusias. 

 

"Yup, biar tahu rasa. Ponsel juga sengaja aku matiin," kataku, mengukir senyum di bibir. Membayangkan kemarahan Mami juga Anne, biar sekalian dia mati! Ups. 

 

Nindy mengacungkan kedua jempol tangan, bersorak ria hingga mengundang banyak mata untuk memandang.

 

"Ann, si boss manggil kamu tuh." Anto datang, dan memberi pesan yang membuat tubuhku terasa lunglai. 

 

Sambil memberi kode, Nindy membantuku untuk segera berdiri. Tak ingin, mendengar keributan yang biasa aku dan boss lakukan. 

 

Bergegas menuju ruangan, sambil merapalkan doa. Dengan harapan besar, tak akan ada omelan seperti biasa.

 

"Masuk!" Perintahnya, usai pintu diketuk. Jantungku berpacu cepat, sedang malas untuk berdebat.

 

"Cuti seminggu, enak ya. Dikira ini kantor Nenek moyang kamu apa!" desis boss Putra, menatapku tajam. 

 

Aku menelan ludah, masih pagi tapi, udah kena omel. "Boss, adik saya sakit. Tahu sendirilah!"

 

Bukan rasa iba yang aku dapat,  melainkan ceramah dia pagi ini. Mati aku, gini nih kalau jomblo akut. Suka lupa senyum, dan beramah tamah sama karyawan. 

 

"Ma-af boss, lain waktu nggak gitu deh!" janjiku, mengangkat kedua jari tangan. 

 

 

Boss Putra mendengkus sebal, "Oh ya. Selamat ya atas kegagalan pernikahan kamu, nggak nyangka malah ditikung adik sendiri."

 

Argggggh, selain galak ternyata suka julid juga baru tahu aku.

 

Menatapnya dengan perasaan kesal, aku juga ikut mendengkus. Aura permusuhan, jelas tergambar di sini. 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erfinal Fauzi
terlalu....lemah..... udah ditinggal kawin ya sdh.....buang saja.... bego.....bodoh......tolol......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status