Share

Bab 5

Masih Cinta

 

"Apa kabar? Lama nggak jumpa," tanya dokter Adi, sok akrab dan sok manis pula. 

 

 

Aku memutar bola mata dengan malas, kalau bukan karena ancaman Mami. Mana sudi datang ke rumah sakit, hanya untuk mengambil obat untuk Anne. 

 

 

Lagi, aku tak bisa menolak. Merasa terlalu bodoh, selalu diperalat oleh Mami dan Anne. Kalau bukan karena ikatan keluarga, malas sekali rasanya.

 

Baru dua hari aku merasakan kebebasan yang haqiqi, Mami kembali menelpon. Bilang, kalau Anne kehabisan obat. Dan hanya ingin aku yang mengambilnya, dengan dalih Angga dan Mami sibuk. 

 

 

Sebenarnya maksud Anne apa sih? Kesannya kayak sengaja banget, buat hatiku geram tak berkesudahan.

 

 

Apa nggak cukup, dia mendapat Angga. Kasih sayang Mami yang selalu tercurah untuknya, tapi, Anne malah semakin menjajah hatiku? 

 

"Menurut dokter gimana? Kelihatan dong, bahwa aku masih sangat sehat juga waras." Aku menjawab dengan ketus, menunggu dirinya menulis resep obat yang harus kutebus.

 

Lagi, dia tersenyum amat manis. Membuat jantungku serasa berdetak tak karuan, arggggg sial! Perasaan apa ini? 

 

Tahan Anna, jangan sampai kamu terjerat oleh pesona palsu dokter Adi. Yang kutahu, dia merupakan salah satu komplotan Mami untuk membela Anne. 

 

"Semoga, yang sehat nggak cuma tubuhmu saja. Tapi, juga hati," seloroh dokter Adi, cukup telak mengenai jiwaku. 

 

Tersenyum kecut, sambil menatapnya penuh kekesalan. Lekas kuambil sebuah resep, yang baru ia berikan. 

 

"Anna, jangan cari pelarian. Untuk hatimu yang sedang gegana itu," cibirnya lagi terkekeh pelan. Maksudnya apa sih? 

 

Jabatan boleh dokter, tapi, kelakuan minus. Kok, ada sih orang macam dia? Bikin hati jengkel terus. Semoga kelak, nggak bikin rindu. Heleh! 

 

Kututup pintu dokter Adi, dengan cukup keras. Biar dia tahu, kalau aku marah dan nggak suka dengan cibirannya barusan. 

 

Usai menebus obat Anne, aku bergegas menaiki motor kesayangan. Pemberian Papi dulu, ahh, mengingat beliau hatiku kembali mencelos.

 

Semoga saja tak ada Angga di rumah, cukup bertemu dengan Anne. Karena yang kutahu, Mami juga belum stay di rumah. 

 

Beliau masih sibuk di butik, melakukan banyak pekerjaan ini dan itu. Suatu hal, yang tak pernah kumengerti.

 

Atau, aku tak perlu bertemu dengan Anne. Lebih baik menitipkan saja obat tersebut, malas juga ketemu sama dia. 

 

Berperang dalam pikiran mengembara, beberapa jam kemudian. Motorku telah sampai menuju rumah mewah, tapi, tak senyaman yang dipikirkan orang lain. 

 

Gerbang terbuka lebar, dengan Pak Satpam berdiri dengan gagah. "Pak Sat, aku nggak masuk deh. Nitip ini aja."

 

Kusodorkan plastik kecil berwarna putih, ingin segera berlalu tanpa bertemu dengan siapapun selain Pak Sat. 

 

"Aduh maaf Non, nggak bisa begitu. Saudara kembar Nona udah nungguin dari tadi," tolaknya, menghantam dada secara bersamaan. 

 

Aku menelan ludah, kembali pasrah jika harus bertemu dengan Anne. Saudara yang tak tahu diri, dan memanfaatkan keadaan itu. 

 

Baru pintu terbuka lebar, sayup kudengar rintihan yang tak biasa. Dahiku mengernyit, bergegas menuju ruang tamu. 

 

Tuhan, kejutan apa lagi ini? Anne tengah berciuman dengan Angga, wajar. Tapi, kenapa harus dilakukan saat aku datang? 

 

Aku menghidu, ada kesengajaan di sini. Entah Angga atau Anne yang memulai, tapi, keduanya cukup membuat hatiku terkoyak.

 

"Hm, ada orang di sini." Cukup keras, suaraku menggema di seluruh ruangan.

 

Mereka berjengit kaget, tapi, tak lama. Apalagi Anne, dengan sengaja mencium bibir Angga sekilas.

 

"Kakak sayang," ucapnya sambil berhamburan memelukku. "Aku kangen."

 

 

Seharusnya, pelukan ini menjadi penenang untukku. Tapi, tak lagi. Semenjak kulihat netra Anne berubah, tatapannya berbeda. Penuh kepalsuan!

 

 

Masih jam tiga sore, dan Angga. Kenapa sudah ada di rumah? Biasa, orang kantoran belum keluar.

 

Aku sendiri, masih mengambil cuti. Merefresh otak, hanya saja kembali butek saat melihat adegan tadi. 

 

"Maaf ya kak, tadi nggak sengaja lihat kami sedang bersama." Anne menarik lenganku, terkesan lebay dan dibuat-buat.

 

Kulirik Angga, sibuk dengan ponsel di tangan. Seolah tak mengindahkan kedatanganku kemari, ya aku cukup tahu diri! 

 

"Aku ngga lama, cuma antar ini." Kuraih tangan Anne, meletakan sebuah plastik berisi obat. 

"Katanya suamimu sibuk, kenapa ada di rumah? Bikin aku repot!"

 

"Oh itu ... Tadi emang sibuk, kak. Mendadak dia pulang, setelah dengar aku sakit." Dengan manja, Anne bergelayut manja pada dada bidang Angga. 

 

Lagi, aku harus mengalihkan pandangan. Kalau kata orang Sunda, merasa hareudang. Padahal, ruangan ini jelas ber-Ac. 

 

Dengan sayang, Angga mengelus rambut Anne. Tuhan, serius aku benci pemandangan ini. 

 

"Aku pamit, ada banyak urusan. Selain ngurusin orang sakit," kataku, menekan kata demi kata. 

 

Berdiri dengan kaki melemas, dan air mata yang hendak turun. Bergegas diri berlari kecil, terima kasih sayang atas luka yang kau beri hari ini. 

 

Setelah mencapai ambang pintu, memastikan tak ada yang melihat. Aku menangis pilu, meraba dada yang terasa perih. 

 

Angga, kenapa kamu hanya diam sayang? Apa tak ada sedikit saja, rasa cintamu yang masih tersisa untuk aku?

 

"Kupikir kakak tegar, tenyata cengeng," cemooh Anne. Tak kusangka ia datang menyusul, seorang diri. Berdiri dengan jumawa, ia menatapku lekat. 

 

"Maksud kamu apa?" desakku, menahan gemuruh dalam dada. 

 

Ia tersenyum sinis, bukan Anne yang kukenal selama ini. "Udahlah kak, aku muak. Kakak pikir hidupku sudah sempurna hah? Dengan menikah bersama Angga, tidak! Asal kakak tahu, aku hanya memiliki raganya tapi, tidak dengan hatinya."

 

 

Mendengar pengakuan Anne, tak ayal membuat hati merasa diremas. Benarkah seperti itu? Bukankah, Angga terlihat sayang terhadap Anne? 

 

"Tiap malam, aku selalu memergoki pria yang telah menjadi suami. Dia sedang menatap potomu, dengan kesedihan mendalam." Anne kembali berucap, terdengar parau. 

 

"Kamu tahu hah? Bahkan, hingga kini potomu masih tersimpan rapi di dompetnya." Lagi, pengakuan Anne semakin mengiris kalbu. Berarti selama ini bukan hanya aku saja yang terluka!

 

Lalu, kenapa Angga menerima begitu saja, ketika Mami memintanya untuk menikahi Anne? 

 

Ia sama sekali tak menolak, bahkan mengabaikan tangisanku dengan enteng. 

 

Kalau tak ingat status Angga sekarang, mungkin aku sudah berlari memeluknya. Tapi, itu tak mungkin aku lakukan. 

 

Lebih baik segera pergi, tak mau mendengar apapun lagi. Yang jelas, aku tahu bahwa hatinya memang masih milikku.

 

"Non, ada apa?" tanya Pak Sat, melihat kondisi diriku yang tak biasa. 

 

"Nggak apa, Pak."

 

Memacu kendaraan dengan kecepatan penuh, hatiku diliputi kesedihan mendalam. Berharap masih bisa memeluk Angga, pria yang amat kucinta.

 

Anne memang bodoh, sudah tahu hati Angga masih milikku. Kenapa dia tak lekas melepasnya? Malah membuat dirinya semakin menderita. 

 

Ahhh, kenapa hidupku harus serumit ini Tuhan? Please, sisain kebahagiaanku di ujung sana. 

 

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Dhania
gak jelas blas.. ngomong minggat tp gek iso ditelpon.. lebih bodohan km si an.. timbang anne
goodnovel comment avatar
Al Zeena
cerita yg membingungkan..yg jelas dong thor bikin karakter anna jngn lembek katak gitu
goodnovel comment avatar
Nani Lestari
Beneran kalau tahu kelakuan adeknya cuma cari perhatian dan masih nangis mikirinya Anna bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status