Share

Bab 5

Penulis: Fitriyani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-13 21:53:51

Masih Cinta

 

"Apa kabar? Lama nggak jumpa," tanya dokter Adi, sok akrab dan sok manis pula. 

 

 

Aku memutar bola mata dengan malas, kalau bukan karena ancaman Mami. Mana sudi datang ke rumah sakit, hanya untuk mengambil obat untuk Anne. 

 

 

Lagi, aku tak bisa menolak. Merasa terlalu bodoh, selalu diperalat oleh Mami dan Anne. Kalau bukan karena ikatan keluarga, malas sekali rasanya.

 

Baru dua hari aku merasakan kebebasan yang haqiqi, Mami kembali menelpon. Bilang, kalau Anne kehabisan obat. Dan hanya ingin aku yang mengambilnya, dengan dalih Angga dan Mami sibuk. 

 

 

Sebenarnya maksud Anne apa sih? Kesannya kayak sengaja banget, buat hatiku geram tak berkesudahan.

 

 

Apa nggak cukup, dia mendapat Angga. Kasih sayang Mami yang selalu tercurah untuknya, tapi, Anne malah semakin menjajah hatiku? 

 

"Menurut dokter gimana? Kelihatan dong, bahwa aku masih sangat sehat juga waras." Aku menjawab dengan ketus, menunggu dirinya menulis resep obat yang harus kutebus.

 

Lagi, dia tersenyum amat manis. Membuat jantungku serasa berdetak tak karuan, arggggg sial! Perasaan apa ini? 

 

Tahan Anna, jangan sampai kamu terjerat oleh pesona palsu dokter Adi. Yang kutahu, dia merupakan salah satu komplotan Mami untuk membela Anne. 

 

"Semoga, yang sehat nggak cuma tubuhmu saja. Tapi, juga hati," seloroh dokter Adi, cukup telak mengenai jiwaku. 

 

Tersenyum kecut, sambil menatapnya penuh kekesalan. Lekas kuambil sebuah resep, yang baru ia berikan. 

 

"Anna, jangan cari pelarian. Untuk hatimu yang sedang gegana itu," cibirnya lagi terkekeh pelan. Maksudnya apa sih? 

 

Jabatan boleh dokter, tapi, kelakuan minus. Kok, ada sih orang macam dia? Bikin hati jengkel terus. Semoga kelak, nggak bikin rindu. Heleh! 

 

Kututup pintu dokter Adi, dengan cukup keras. Biar dia tahu, kalau aku marah dan nggak suka dengan cibirannya barusan. 

 

Usai menebus obat Anne, aku bergegas menaiki motor kesayangan. Pemberian Papi dulu, ahh, mengingat beliau hatiku kembali mencelos.

 

Semoga saja tak ada Angga di rumah, cukup bertemu dengan Anne. Karena yang kutahu, Mami juga belum stay di rumah. 

 

Beliau masih sibuk di butik, melakukan banyak pekerjaan ini dan itu. Suatu hal, yang tak pernah kumengerti.

 

Atau, aku tak perlu bertemu dengan Anne. Lebih baik menitipkan saja obat tersebut, malas juga ketemu sama dia. 

 

Berperang dalam pikiran mengembara, beberapa jam kemudian. Motorku telah sampai menuju rumah mewah, tapi, tak senyaman yang dipikirkan orang lain. 

 

Gerbang terbuka lebar, dengan Pak Satpam berdiri dengan gagah. "Pak Sat, aku nggak masuk deh. Nitip ini aja."

 

Kusodorkan plastik kecil berwarna putih, ingin segera berlalu tanpa bertemu dengan siapapun selain Pak Sat. 

 

"Aduh maaf Non, nggak bisa begitu. Saudara kembar Nona udah nungguin dari tadi," tolaknya, menghantam dada secara bersamaan. 

 

Aku menelan ludah, kembali pasrah jika harus bertemu dengan Anne. Saudara yang tak tahu diri, dan memanfaatkan keadaan itu. 

 

Baru pintu terbuka lebar, sayup kudengar rintihan yang tak biasa. Dahiku mengernyit, bergegas menuju ruang tamu. 

 

Tuhan, kejutan apa lagi ini? Anne tengah berciuman dengan Angga, wajar. Tapi, kenapa harus dilakukan saat aku datang? 

 

Aku menghidu, ada kesengajaan di sini. Entah Angga atau Anne yang memulai, tapi, keduanya cukup membuat hatiku terkoyak.

 

"Hm, ada orang di sini." Cukup keras, suaraku menggema di seluruh ruangan.

 

Mereka berjengit kaget, tapi, tak lama. Apalagi Anne, dengan sengaja mencium bibir Angga sekilas.

 

"Kakak sayang," ucapnya sambil berhamburan memelukku. "Aku kangen."

 

 

Seharusnya, pelukan ini menjadi penenang untukku. Tapi, tak lagi. Semenjak kulihat netra Anne berubah, tatapannya berbeda. Penuh kepalsuan!

 

 

Masih jam tiga sore, dan Angga. Kenapa sudah ada di rumah? Biasa, orang kantoran belum keluar.

 

Aku sendiri, masih mengambil cuti. Merefresh otak, hanya saja kembali butek saat melihat adegan tadi. 

 

"Maaf ya kak, tadi nggak sengaja lihat kami sedang bersama." Anne menarik lenganku, terkesan lebay dan dibuat-buat.

 

Kulirik Angga, sibuk dengan ponsel di tangan. Seolah tak mengindahkan kedatanganku kemari, ya aku cukup tahu diri! 

 

"Aku ngga lama, cuma antar ini." Kuraih tangan Anne, meletakan sebuah plastik berisi obat. 

"Katanya suamimu sibuk, kenapa ada di rumah? Bikin aku repot!"

 

"Oh itu ... Tadi emang sibuk, kak. Mendadak dia pulang, setelah dengar aku sakit." Dengan manja, Anne bergelayut manja pada dada bidang Angga. 

 

Lagi, aku harus mengalihkan pandangan. Kalau kata orang Sunda, merasa hareudang. Padahal, ruangan ini jelas ber-Ac. 

 

Dengan sayang, Angga mengelus rambut Anne. Tuhan, serius aku benci pemandangan ini. 

 

"Aku pamit, ada banyak urusan. Selain ngurusin orang sakit," kataku, menekan kata demi kata. 

 

Berdiri dengan kaki melemas, dan air mata yang hendak turun. Bergegas diri berlari kecil, terima kasih sayang atas luka yang kau beri hari ini. 

 

Setelah mencapai ambang pintu, memastikan tak ada yang melihat. Aku menangis pilu, meraba dada yang terasa perih. 

 

Angga, kenapa kamu hanya diam sayang? Apa tak ada sedikit saja, rasa cintamu yang masih tersisa untuk aku?

 

"Kupikir kakak tegar, tenyata cengeng," cemooh Anne. Tak kusangka ia datang menyusul, seorang diri. Berdiri dengan jumawa, ia menatapku lekat. 

 

"Maksud kamu apa?" desakku, menahan gemuruh dalam dada. 

 

Ia tersenyum sinis, bukan Anne yang kukenal selama ini. "Udahlah kak, aku muak. Kakak pikir hidupku sudah sempurna hah? Dengan menikah bersama Angga, tidak! Asal kakak tahu, aku hanya memiliki raganya tapi, tidak dengan hatinya."

 

 

Mendengar pengakuan Anne, tak ayal membuat hati merasa diremas. Benarkah seperti itu? Bukankah, Angga terlihat sayang terhadap Anne? 

 

"Tiap malam, aku selalu memergoki pria yang telah menjadi suami. Dia sedang menatap potomu, dengan kesedihan mendalam." Anne kembali berucap, terdengar parau. 

 

"Kamu tahu hah? Bahkan, hingga kini potomu masih tersimpan rapi di dompetnya." Lagi, pengakuan Anne semakin mengiris kalbu. Berarti selama ini bukan hanya aku saja yang terluka!

 

Lalu, kenapa Angga menerima begitu saja, ketika Mami memintanya untuk menikahi Anne? 

 

Ia sama sekali tak menolak, bahkan mengabaikan tangisanku dengan enteng. 

 

Kalau tak ingat status Angga sekarang, mungkin aku sudah berlari memeluknya. Tapi, itu tak mungkin aku lakukan. 

 

Lebih baik segera pergi, tak mau mendengar apapun lagi. Yang jelas, aku tahu bahwa hatinya memang masih milikku.

 

"Non, ada apa?" tanya Pak Sat, melihat kondisi diriku yang tak biasa. 

 

"Nggak apa, Pak."

 

Memacu kendaraan dengan kecepatan penuh, hatiku diliputi kesedihan mendalam. Berharap masih bisa memeluk Angga, pria yang amat kucinta.

 

Anne memang bodoh, sudah tahu hati Angga masih milikku. Kenapa dia tak lekas melepasnya? Malah membuat dirinya semakin menderita. 

 

Ahhh, kenapa hidupku harus serumit ini Tuhan? Please, sisain kebahagiaanku di ujung sana. 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Dhania
gak jelas blas.. ngomong minggat tp gek iso ditelpon.. lebih bodohan km si an.. timbang anne
goodnovel comment avatar
Al Zeena
cerita yg membingungkan..yg jelas dong thor bikin karakter anna jngn lembek katak gitu
goodnovel comment avatar
Nani Lestari
Beneran kalau tahu kelakuan adeknya cuma cari perhatian dan masih nangis mikirinya Anna bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kesayangan Mami   Bab 71

    Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund

  • Kesayangan Mami   Bab 70

    Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu

  • Kesayangan Mami   Bab 69

    "Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal

  • Kesayangan Mami   Bab 68

    Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.

  • Kesayangan Mami   Bab 67

    Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t

  • Kesayangan Mami   Bab 66

    "Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status