Share

Kesayangan Tuan Muda
Kesayangan Tuan Muda
Author: Areumagi

Bab 1 : Kota

Suara gedoran pintu terdengar begitu keras, sampai membuat penghuninya ketakutan hanya untuk sekedar membukanya.

"Buka pintunya!"

"Bu gimana ini? Pak Broto dateng pasti mau nagih utang Bu," ucap Lea ketakutan sembari memeluk adiknya.

"Kamu jaga Bima disini ya, biar Ibu yang keluar," ucap Nita, dia ibunya Lea yang sekarang menjadi kepala keluarga karena suaminya telah meninggal beberapa bulan yang lalu.

"Tapi Bu nanti kalau Pak Broto kasar gimana?"

"Udah kamu tenang saja ya," ucap Nita yang mengusap kepala kedua anaknya sebelum pergi untuk menemui Broto.

"Buka!"

"Kak aku takut," Bima ketakutan setiap kali Broto atau anak buahnya datang kerumah untuk menagih utang.

"Ada Kakak disini, kamu aman,"ucap Lea menenangkan.

Sebelum membuka pintu Nita menyiapkan diri untuk setiap makian yang akan dia dengar dari Broto.

"Buka!"

"Iya sebentar!"

Nita membuka pintu, benar jika Broto yang ada disini sekarang dengan raut wajah yang menyeramkan. Wajahnya terlihat keras.

"Bayar utang kamu!"

"Kasih saya waktu Pak, saya belum punya uang. Nanti kalau sudah ada uang saya akan bayar Pak," ucap Nita sembari menundukkan kepala.

Ia tak berani menatap Broto. Dia salah satu juragan terkaya dikampung ini banyak warga yang berurusan dengan dia karena membutuhkan uang.

Dan bahkan jika ada yang tak bisa membayar hutang, Broto selalu meminta satu anak dari mereka untuk dia jadikan pekerja atau bahkan istrinya.

Nita tak mau hal itu terjadi pada keluarganya, ia tak mau mengorbankan Lea atau bahkan Bima sekalipun. Disatu sisi dia juga bimbang bagaimana cara dia melunasi hutang yang ditinggalkan suaminya. Yang semakin hari semakin membengkak.

"Butuh berapa lama lagi saya harus menunggu?" Tanya Broto

"Kasih saya waktu satu bulan, saya akan bayar nanti," ucap Nita dengan gugup

"Satu bulan terlalu lama, saya kasih waktu dua Minggu kalau sampai kamu tidak membayar anak kamu yang akan saya ambil. Ngerti?"

"I-iya Pak," didalam hati Nita bertanya pada dirinya sendiri bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang untuk melunasi utangnya itu.

Usai Broto pergi, Nita kembali masuk ke dalam rumah. Ia melihat Lea yang masih setia memeluk Bima adiknya.

"Gimana Bu?" Tanya Lea, berdiri menghampiri Ibunya.

"Kita cuma dikasih waktu dua Minggu buat bayar utang Lea," ucap Nita sembari mengusap kepala Bima yang sedang memeluknya.

"Dapet uang darimana Bu?"

"Ibu juga nggak tau Lea," Lea menghela nafasnya dengan berat. Apa yang harus mereka lakukan sekarang, dalam dua Minggu uang dari mana bisa mereka dapatkan.

Itu hal yang mustahil.

"Lea,"

"Iya Bu," Nita sedikit ragu saat akan meneruskan kalimatnya. Terlihat dari wajahnya sekarang.

"Bagaimana kalau kamu ke kota, kamu cari kerja disana. Biar Ibu sama Bima disini, kalau Ibu yang pergi kasihan Bima dia masih butuh Ibu. Apa kamu mau Lea?" Nita melihat Lea dan Bima secara bergantian.

Sejujurnya ia tak tega harus mengatakan itu, tapi apa boleh buat tak ada cara lain untuk bisa segera membayar utang itu.

"Kalau Pak Broto atau anak buahnya datang terus berbuat kasar sama Ibu dan Bima gimana? Biar Lea jadi pesuruhnya Pak Broto aja Bu, Lea nggak apa-apa," ucap Lea dengan menunduk.

Plak!

Suara tamparan terdengar begitu nyaring, saat Nita menampar Lea untuk pertama kalinya. Membuat Lea dan Bima terkejut.

"Kenapa ibu nampar Lea?" Tanya Lea, mengusap pipinya yang terasa panas.

"Ibu tau kita miskin kita nggak punya uang, tapi ibu nggak mau kalau anak-anak ibu jadi pesuruh atau bahkan istrinya Broto. Ibu nggak akan pernah rela itu terjadi!" Ucap Nita sedikit meninggikan suaranya.

"Kamu pilih pergi ke kota bantu ibu, atau ibu akan jual diri untuk melunasi utang itu," ancam Nita.

"Ibu!" Lea berdiri dari tempatnya saat mendengar itu. Tak habis pikir ia dengan jalan keluar yang dipikirkan ibunya.

"Kamu pilih Lea. Ibu hanya bisa mengandalkan kamu disini, Ibu dan Bima akan baik-baik saja disini,"

Lea belum bisa menjawab pertanyaan yang sangat sulit ia jawab, ibaratkan seperti memilih antara hidup dan mati.

Ia melihat Bima dan Ibunya secara bergantian, disatu sisi ia tak tega jika harus meninggalkan mereka berdua tapi disatu sisi ia juga tak mau Pak Broto terus mengusik keluarganya.

"Kalau Kakak memang harus ke kota. Bima dukung kak, kakak jangan khawatir Bima sama Ibu akan baik-baik aja disini, dan Bima akan jagain Ibu," ucap Bima menggenggam tangan Lea untuk meyakinkan kakak perempuannya itu.

"Ibu juga akan bekerja keras disini Lea,"

Lea memejamkan matanya, sangat berat beban yang harus ia pikul sekarang.

Ia berusaha membuat dirinya tenang, sebelum menjawab. Sekali lagi ia melihat Ibu dan adiknya bahkan tanpa sengaja matanya melihat bingkai foto diatas meja.

Foto keluarga yang pertama kali mereka ambil saat itu dengan bantuan seorang mahasiswa yang datang ke kampung untuk melakukan penelitian kala itu.

"Kalau itu mau Ibu, Lea akan ke kota. Lea akan kerja keras disana dan secepatnya kirim uang ke Ibu," ucap Lea sembari tersenyum walau hatinya sakit.

Nita memeluk Lea dan Bima, "Maafin Ibu ya Lea Bima. Maaf karena kalian harus terlahir dikeluarga yang miskin ini," ucap Nita penuh sesal.

"Ibu nggak perlu minta maaf, kita sebagai anak juga nggak bisa memilih siapa orang tua kita. Ini semua takdir Bu,"

"Terimakasih Lea," Nita mengecup kepala Lea.

Ia beruntung setidaknya ia masih memiliki anak seperti Lea dan Bima yang tak pernah mengeluh dengan keadaan. Malah mereka bisa membantu dirinya untuk bertahan hidup.

Walau Lea harus putus sekolah, merelakan masa remajanya untuk membantu Nita bekerja diladang dan membiarkan Bima saja yang sekolah.

Sebuah keputusan besar terjadi dikeluarga kecil ini, hari itu juga Lea berangkat ke kota.

"Lea pergi ya Bu, Bima kakak titip Ibu ya. Sekolah yang pinter, bantu ibu disini. Kakak akan pulang secepatnya, dan kirim uang ke Ibu," ujar Lea

"Hati-hati kamu disana ya Nak. Ibu doakan kamu bisa cepet dapet kerja,"

"Iya Bu, amin. Lea pergi dulu ya," Lea memeluk Ibu dan adiknya sebelum ia menaiki bis yang akan membawanya ke kota. Dunia baru yang akan ia tempuh ada disana.

Lambaian tangan sebagai tanda perpisahan, ini hanya sementara dan Lea akan kembali lagi nanti.

"Tuhan, bantu aku dan keluargaku," gumam Lea.

Ia bahkan tak tau apa yang akan dia lakukan disana nantinya. Bagaimana ia tidur dan makan, apa dia akan segera mendapatkan pekerjaan saat yang ia bawa hanyalah ijazah SMP.

Tapi dengan keyakinan penuh dirinya pasti akan mendapatkan pekerjaan. 'Semangat Lea, kamu pasti bisa,' ucapnya dalam hati.

Waktu tempuh untuk ke kota cukup lama, sampai Lea tiba pada malam hari. Ia turun dari bis melihat ke sekelilingnya, banyak orang yang berlalu lalang diterminal.

"Haus, beli minum dulu disana," gumamnya berjalan ke arah penjual kaki lima.

"Bu, air minumnya satu. Ini uangnya," ucap Lea memberikan selembar uang pada Ibu itu

"Kamu dari kampung ya?" Tanya ibu itu.

"Iya Bu, baru aja sampe," Lea duduk sejenak disana.

"Hati-hati ya neng kalo di kota, pinter-pinter pilih orang nggak semua orang disini baik," ucap Ibu itu sebagai pengingat untuk Lea.

"Iya Bu makasih, saya permisi dulu," merasa puas telah beristirahat sejenak Lea meninggalkan terminal, ia berjalan sedikit lebih jauh dan nampaklah gemerlap lampu yang terpancar dari segala sudut jalanan yang ramai.

"Ini toh yang namanya kota, besar juga ya. Banyak lampunya, beda sama di kampung," kagum Lea saat melihat banyak benda yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ini sungguh sangat berbeda dengan di kampung, "Malam ini aku tidur dimana ya. Nggak mungkin kalau di pinggir jalankan," Lea celingukan mencari ide atau mungkin ada tempat yang bisa ia singgahi untuk bermalam.

Kruyukk!

Suara perutnya terdengar, "Aduh laper, makan dulu di warteg itu ah," Lea melihat kanan dan kiri sebelum menyebrang.

Baru beberapa langkah, sebuah mobil melaju cukup kencang dan cahaya lampu mobil itu menghalangi pandangan Lea membuat dia harus menutup mata.

Lea terpaku tak bisa bergerak, tubuhnya merespon dengan sangat lambat.

"Akhhh!"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status