Share

Kehilangan

Author: Eng_
last update Last Updated: 2025-09-02 22:35:56

15 Juli 2008

Berbahagialah secukupnya karena roda kehidupan berputar. Hari ini kau mungkin bahagia tapi besok tidak ada yang tahu.

“Kamu harus percaya sama aku, Lang! Aku nggak mungkin selingkuh.” Suara Reya bergetar, tangisnya hampir pecah.

“Kalau gitu jelasin kenapa bisa ada foto ini!”

Bentakan Langit menggema. Reya terpejam ketakutan. Ia meremas ujung rok seragamnya di balik meja kuat-kuat demi menahan gemetar. Susah payah ia mengatur nafas sementara rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya.

“Jawab, Reya!”

Baru kemarin Langit menggenggam mesra tangannya. Menatapnya dengan penuh cinta dan senyum merekah. Tapi detik ini, bahkan belum genap 24 jam dari terakhir kali Langit memanggilnya dengan panggilan sayang, pria itu membentaknya dengan berapi-api. Semua manis dan bunga-bunga bermekaran yang biasanya menyelimuti mereka kini berganti dengan kobaran yang membakar setiap inci tubuh Reya detik demi detiknya.

“Aku udah bilang, itu bukan apa-apa, Lang,” jawab Reya sambil menunduk, setengah terisak.

“Gimana bisa ini kamu bilang bukan apa-apa?” Langit menghantam meja, membuat lembaran foto di depan Reya bergetar

Lewat sudut matanya, Reya bisa melihat Langit mengacak-acak rambutnya, frustasi. Ia tak berani menatap mata itu. Sakit sekali rasanya.

“Bagian mana dari foto ini yang bukan apa-apa?” Langit kembali mencengkram pinggir meja, menatap lurus ke arah Reya yang justru menunduk makin dalam.

Sepertinya reaksi Reya membuat Langit makin hilang kesabaran. “Jawab, Re!” ia meledak. Suaranya menggema hingga ke lorong kelas yang kini telah sepi.

Reya tahu alasan Langit marah. Siapapun akan marah jika melihat kekasih yang sudah bersamanya selama hampir tiga tahun terpotret sedang berpelukan dengan pria lain seperti dalam foto itu. Namun Reya punya alasan untuk itu. Alasan yang tidak bisa ia jabarkan pada Langit.

Tubuhnya masih gemetar, tapi dengan sedikit keberanian yang tersisa, Reya akhirnya mencoba mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Langit yang seperti menyayat-nyayatnya tanpa ampun.

“Aku udah bilang alasannya sama kamu tadi,” ucapnya lirih.

Langit menarik napas dalam. Reya tidak tahu bagaimana menggambarkan emosi Langit saat ini. Pria itu terlihat marah dan sedih sekaligus. Langit yang biasanya terlihat ceria dan penuh semangat, saat ini sepenuhnya tampak kacau.

“Yang mana?” tanya Langit. Nadanya tidak lagi tinggi, tapi masih tetap menusuk. “Yang kamu bilang kalau kamu cuma lagi curhat aja ke cowok sialan itu? Iya?”

Reya mengangguk lemah.

“Brengsek.” Langit menendang meja di samping Reya, membuat gadis itu tersentak dan memekik ketakutan. Air matanya sudah tak bisa ia tahan lagi.

“Kamu mau aku percaya alasan naif kayak gitu?” tanya Langit nyalang. “Kalau aku yang ada di posisi kamu sekarang, apa kamu akan percaya kalau aku juga pakai alasan yang sama?”

Tidak.

Siapa yang akan percaya dengan alasan samar-samar seperti itu. Foto itu jelas memperlihatkan Reya sedang memeluk pria lain dengan begitu erat. Cewek gila mana yang curhat dengan pria lain sambil memeluk seperti itu, apalagi jika dia jelas-jelas punya pacar sempurna seperti Mahadewa Langit Andaru. Tapi Raya tidak bisa menjelaskan lebih jauh. Karena jika ia melakukannya, semua hanya akan semakin rumit.

Namun bahkan jika alasannya terdengar tidak masuk akal, tidak bisakah Langit percaya saja. Setidaknya kali ini. Sekali saja. Meskipun apa yang ia ucapkan jelas adalah sebuah kebohongan, tidak bisakah Langit menerima nya saja? Demi semua kebersamaan mereka selama tiga tahun terakhir. Demi semua waktu bahagia yang mereka bagi bersama. Demi semua kata cinta dan sayang yang terucap sama seringnya seperti tarikan nafas mereka.

“Iya. Aku akan percaya,Lang..” Reya menguatkan hatinya. “Apapun itu, asal kamu yang bilang, aku akan percaya.”

Langit tercenung lalu mundur satu langkah - yang entah bagaimana membuat Reya merasa tiba-tiba muncul jurang diantara mereka.

Sorot mata itu tidak lagi Reya kenali. Pria di depannya bukan lagi Langit yang selama ini menjadikannya ratu.

“Jadi maksud kamu, aku yang picik karena nggak bisa percaya?”

Kalimat Langit seperti pedang es yang menghunus Reya tanpa ampun. Dingin dan menyakitkan.

“Oke.Fine!” tandas Langit sebelum Reya bisa mengucapkan pembelaan.

“Kalau kamu memang lebih pilih cowok brengsek itu. Silahkan!”

Reya menggeleng kuat. “Bukan gitu maksud aku, Lang…”

Tangan Langit terangkat. “Cukup, Re!”

“Selama ini aku kira aku spesial buat kamu. Tapi kayaknya aku salah.”

Wajah Reya sudah benar-benar basah. Ia juga sama frustasinya melihat Langit begini.

“Bukan gitu, Lang… Aku..” sekali lagi kalimatnya tak selesai karena Langit kembali mengisyaratkan dia untuk diam.

“Nggak perlu ada alasan lagi. Udah cukup,”putus pria itu.

“Mungkin memang benar kata Mama, kita nggak bisa sama-sama.”

Selama tiga tahun ini Reya selalu bahagia bersama Langit. Tidak ada satu hari pun yang terlewati tanpa merasa terberkati karena ia bisa menjadi pacar Mahadewa Langit Andaru. Bersama Langit, Reya merasa hidupnya yang rumpang menjadi sempurna. Langit yang tak pernah memandangnya sebelah mata meski dia hanya seorang yatim piatu miskin yang tak punya prestasi apa-apa. Langit yang selalu menjadikannya prioritas utama disaat orang lain mengabaikan keberadaan Reya. Langit satu-satunya yang selalu membanggakan Reya seolah ia adalah hal paling istimewa di dunia disaat bahkan orang tua Reya saja memilih untuk membuangnya di panti asuhan.

Sepertinya Reya terlena dengan semua kebahagiaan itu. Ia lupa mempersiapkan diri bahwa bahagia itu ada jatahnya. Masa-masa rodanya di atas ada jangka waktunya dan tidak akan selamanya. Reya lupa, bahwa ia bisa saja jatuh. Dan hari ini adalah saat itu, waktu dimana jatah bahagia Reya sudah habis. Rodanya berputar tiba-tiba dan Reya terperosok pada titik terendahnya. Kehilangan Langit.

“Semoga kamu bahagia sama pilihanmu.”

Langit nya pergi. Reya sendirian. Bahkan untuk menahan langkah pria itu saja Reya sudah tidak berani.

Hari itu, diujung senja yang nyaris gelap, di tengah ruang kelas kosong yang berantakan karena amukan Langit, Reya menangis sejadi-jadinya. Merayakan kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya dengan isakan pilu.

Dia tahu bahwa ini mungkin akan terjadi saat memilih menyembunyikan semuanya dari Langit. Tapi ini pilihannya, cepat atau lambat dia memang harus melepaskan Langit. Jika harus hancur, cukup dia saja, Langit tidak boleh.

“Maaf…” bisiknya nyaris tanpa suara. Tangannya turun, mengelus perutnya yang masih rata… untuk saat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Topeng Sunyi

    Rumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Enough. Just Two of Us

    Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Pintu Tertutup, Tapi Semua Rahasia Terbuka

    KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    The Price of a Dream

    Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Titik Terendah

    Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    The truth that breaks everything

    Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status