LOGINLangit mengerang karena tidurnya terganggu. Suara ketukan pintu dan seruan dari luar pintu kamar yang memanggil namanya membangunkan Langit dari tidur yang belum benar-benar lelap.
“Iya, sebentar,” sahutnya parau.
Dengan langkah gontai, Langit meraih pegangan pintu, menariknya tanpa minat lalu melongok ke luar kamar.
“Kenapa, mbak? Aku udah bilang kan kalau hari ini udah mulai libur,” ujarnya.
Wanita di depan Langit tersenyum sungkan. “Maaf, mas. Tapi tadi Nyonya minta saya kasih ini ke mas Langit. Katanya harus dibuka sekarang juga,” ia berujar sambil menyodorkan sebuah flashdisk berwarna hitam.
Kening Langit berkerut. Nyawa dan kesadarannya belum terkumpul penuh tapi ia tetap bisa menilai bahwa ini aneh. Pertama, apa yang ada di dalam flashdisk itu hingga ia harus membukanya sekarang juga dan yang kedua, mereka tinggal satu rumah, apapun isi flashdisk itu, bukankah akan lebih mudah jika memberitahukannya langsung pada Langit.
“Oke. Makasih, mbak,” ucapnya sambil menutup pintu.
“Oh iya, Mas!” Mbak Inah menahan pintu kamar Langit, “Nyonya bilang, kalau Mas Langit butuh, beliau ada di ruang keluarga.”
Rasanya semakin janggal. Tidak biasanya Ibu Langit bersikap seperti ini.
Langit buru-buru membawa langkahnya menyeberangi kamar. Meraih laptopnya dan menancapkan flashdisk mencurigakan itu. Hanya ada satu file berupa video yang terpampang. Entah kenapa perasaan Langit jadi tidak enak. Firasatnya mengatakan kalau dia membuka video itu, sesuatu yang buruk akan terjadi.
Dan benar saja, curiosity kill the cat.
Langit menatap nanar pada video yang baru saja ia putar. Ia tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat dan dengar dalam video itu. Terlalu menyakitkan.
Tangannya mengepal kuat sementara hatinya terbakar amarah. Ia mencabut flashdisk dengan kasar tepat setelah video sialan yang baru saja ia lihat sampai pada detik terakhirnya. Tanpa menutup laptopnya, Langit segera berlari meninggalkan kamar. Membuat langkah tergesa dan dipenuhi amarah. Kini ia tahu kenapa sang ibu sampai harus memberitahu dimana beliau berada.
Tak..
Tanpa basa-basi Langit melemparkan benda kecil hitam itu ke atas meja, tepat di depan Nyonya Andaru - sang Ibu - yang tengah menikmati pagi dengan secangkir teh.
“Selamat pagi, Sayang,” ucap wanita itu riang seolah tidak melihat bahwa Langit datang dengan amarah yang menyala-nyala.
“Kenapa harus begini, Ma?” suaranya bergetar tapi penuh amarah. “Kenapa Mama harus ikut campur urusan aku sama Reya?! Aku sudah nurut semua sama Mama. Aku nggak pernah ngecewain Mama. Tapi kenapa… kenapa harus begini?!”
Nyonya Andaru menghela napas, sudut bibirnya tersungging senyum kecil seolah amukan Langit hanyalah ocehan anak kecil keras kepala yang tak masuk akal. “Kamu sudah lihat sendiri ‘kan, bukan Mama yang maksa. Gadis itu yang datang sendiri ke Mama. Mama cuma ingin yang terbaik.”
“Itu bukan Reya yang aku kenal!” Langit berujar dingin. “Reya nggak mungkin jual hubungan kami demi uang.”
Bahu nyonya Andaru terangkat, ekspresi wajahnya jelas mencemooh pernyataan “Faktanya, dia sendiri yang datang ke Mama dan ambil uang itu. Semua sudah jelas ada di video?”
“Mama ancam apa Reya?” Sergah Langit. Kepalanya berdenyut, pening. Ia masih tidak ingin percaya bahwa Reya benar-benar mengkhianatinya demi uang. Tidak. Setelah semua yang mereka lewati, tidak mungkin semuanya hanya demi uang.
“Kamu pikir Mama orang macam apa, Lang? Mama nggak mungkin melakukan hal rendahan begitu.” Nonya Andaru merapikan ujung gaunnya lalu menyandarkan punggung pada sofa mewahnya. Menatap Langit dengan sorot menantang. Seolah memaksa Langit mengakui bahwa selama ini penilaian Mamanya-lah yang benar.
“Mama sudah bilang sama kamu berkali-kali. Untuk orang seperti mereka, kita ini hanya pohon uang. Mereka melakukan segala cara untuk menipu kita dan saat kita lengah, mereka ambil apa yang mereka mau. Uang.”
“Reya bukan orang yang seperti itu!”
Suara Langit makin tinggi tapi Nyonya Andaru tak peduli, ia tetap tenang mencecar Langit dengan omong kosong yang tidak ingin Langit dengar.
“Lalu orang seperti apa dia?” sorot mata itu kian intens. “Foto. Video. Semuanya asli. Bukankah itu sudah cukup jadi bukti?”
“Orang seperti mereka bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Bahkan jika harus menjual tubuh dan harga diri sekalipun.”
“Mama!” Suara Langit menggema.
Pertama kali dalam hidupnya, ia membentak sang ibu. Betapapun ia kesal dan marah, Langit selalu berhasil mengendalikan diri, tapi tidak kali ini. Kalimat Ibunya melukai hati Langit terlalu dalam.
“Kamu bisa buktikan sendiri,” Nyonya Andaru balas menantang. “Kalau kamu nggak percaya, silakan cek. Lihat apakah dia masih ada di panti itu atau tidak.”
Hari yang buruk memang tidak ada di kalender.
Baru kemarin perasaan Langit hancur berantakan karena foto Reya dengan pria lain yang bahkan tidak bisa Reya jelaskan. Lalu sekarang Langit harus menghadapi kejutan lain yang lebih menghancurkan hatinya.
Ia sudah berlari menjauh dari ruang keluarga, meninggalkan ibunya yang mungkin sedang tersenyum senang karena berhasil menggoyahkan kepercayaan Langit pada Reya. Langit menyambar ponselnya. Menekan tombol panggil dan menempelkan benda pipih itu di telinga. Wajahnya pias.
Satu kali, dua kali, tiga kali. Tidak aktif.
“Angkat, Re… tolong, angkat…” desisnya putus asa.
Ketakutan mulai menguasai tubuh Langit. Dengan tergesa ia menyambar jaket dan kunci motornya. Langit tidak peduli apapun, yang bisa ia pikirkan hanya secepat mungkin memastikan bahwa ibunya salah.
Motor yang Langit kendarai membelah jalan Jakarta yang padat, meliuk di antara kerumunan tanpa sedikitpun mengendurkan tarikan gasnya. Ratusan kali ia dimaki dan dihantam dengan klakson kemarahan, tapi Langit tak hirau. Ia hanya butuh bertemu Reya. Bahkan jika semua itu benar, Langit akan menerimanya. Jika memang bukan Langit yang Reya mau, ia akan merelakannya, asalkan Reya tidak pergi.
Langit memarkirkan motornya asal begitu tiba di panti. Tapa permisi ia lantas menerjang pintu depan dengan wajah kacau. Jantungnya bertalu-talu ketakutan.
“Reya mana, Bu?” tanyanya kalut. “Saya mau ketemu Reya!”
Pengurus panti hanya menatap Langit dengan iba. “Maaf, Nak. Reya sudah pergi sejak pagi tanpa pamit. Ibu juga tidak tahu Reya kemana.”
Langit tercekat. Dunianya runtuh.
***
Apapun boleh terjadi asal buka Reya yang menghilang dari hidupnya.
Dengan panik, Langit kembali memacu motornya. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, yang ia tahu hanyalah dia harus segera pergi mencari Reya sebelum terlambat.
Namun kadang saat kau benar-benar butuh keberuntungan, semesta justru membawamu pada ujung yang sebaliknya.
Pikirannya yang kacau dan pandangannya yang kabur karena air mata akhirnya membuat Langit kehilangan kendali motornya. Ia mencoba menarik rem kuat-kuat…
Cciiitttt………..
Suara gesekan ban dengan aspal terdengar nyaring. Tapi sayangnya sudah terlambat. Langit oleng, motornya menabrak pembatas jalan. Tubuhnya terlempar ke jalanan dan terguling terguling. Helmnya terpelanting lepas.
Langit terkapar. Kepalanya berdenyut. Sikunya perih dan ia bisa mencium bau anyir darah mengalir dari pelipisnya.
Apa semuanya harus berakhir begini?
Orang-orang mulai berdatangan. Langit dibantu untuk duduk.
Tak jauh di depan Langit, motornya juga sama terkapar seperti dirinya. Celana karate yang tak sempat ia ganti sejak kemarin sore tak mampu menahan aspal panas, sobek dibagian lutut, menampakkan luka menganga hasil gesekan dengan aspal.
“Mas, gimana, mana yang sakit?” seseorang bertanya, Langit tidak yakin yang mana, dia tidak memperhatikan, tapi pertanyaan itu membawanya kembali sadar. Saat ini tubuhnya memang luka-luka, tapi semua luka fisik yang ia alami tak seberapa dibanding luka di hatinya.
Langit tidak mau menyerah. Masih ada kesempatan.
Dengan sisa tenaga dan tangan bergetar, ia meraih ponsel yang untungnya masih selamat di saku jaketnya. Nomor pertama yang ia tekan: Sadewa.
“Dewa… tolong. Cari Reya. Gue mohon…” suaranya hampir tidak terdengar.
Orang-orang yang berkerumun di sekitar Langit saling bersahut-sahutan membicarakan apa yang terjadi dan suara itu sepertinya tertangkap oleh Sadewa di ujung telefon.
“Elo kenapa, Lang? Elo di mana?” Sadewa bertanya panik.
“Aku nggak papa. Tapi tolong cari Reya! Tolong…”
Tidak puas dengan jawaban Langit, Sadewa membentak, “Jawab dulu elo dimana!”
“Gue lagi sama Orion, kita susul elo sekarang juga.”
Langit tidak punya waktu. Dia harus segera mencari Reya dan dia butuh Sadewa menolongnya. Maka dengan terbata, Langit menjelaskan posisinya. Tapi setelah itu Langit tidak ingat lagi, semuanya tiba-tiba gelap. Langit pingsan.
***
Kemarin sore, Langit merasa hidupnya kacau. Kekasih yang sudah bersama dengannya selama tiga tahun ini tiba-tiba mengkhianatinya dengan memeluk pria lain. Dengan hati terluka, ia mengucapkan kata yang tak pernah terpikir akan keluar dari mulutnya. Langit mengakhiri hubungannya dengan Reya.
Sakit di hatinya luar biasa. Dia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Malamnya habis dengan berlatih karate. Berharap pikirannya akan teralihkan. Tapi nyatanya tidak. Semakin ia memikirkannya, Langit semakin menyesali perbuatannya.
Pagi ini dia berniat memohon pada Reya agar mau menerimanya kembali. Apapun alasan Reya tentang foto itu, Langit akan menerimanya. Dia akan menelannya dan tidak bertanya lagi.
Namun semesta bekerja dengan cara yang unik. Langit justru berakhir di sini, terduduk di kamar rumah sakit dengan perban di pelipis. Orion duduk menepuk bahunya, Sadewa berdiri di sisi lain, namun tak ada kata yang mampu menenangkan.
Langit menunduk, menggenggam ponselnya erat. Nomor Reya tetap tidak bisa dihubungi. Orion dan Sadewa sudah coba mencari ke semua tempat yang mungkin. Mereka juga bertanya pada semua teman sekelas, tapi hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu Reya pergi kemana. Dan yang lebih menyakitkan, Ramon - pria yang memeluk Reya dalam foto itu juga ikut menghilang.
Air matanya mengalir, suara tercekik keluar di antara isakan:
“Reya… jangan pergi. Tolong jangan tinggalkan aku…”
Mahadewa Langit Andaru bukan hanya kehilangan seorang kekasih, ia baru saja kehilangan tujuan hidupnya.
Rumah Reya sudah kembali hangat pagi ini. Tidak ada lagi air mata, amarah tertahan atau rahasia yang menggantung di ujung lidah. Hanya sarapan sederhana. Obrolan, canda, dan perdebatan kecil mengalir seperti biasa. Badai kecil kemarin sudah berlalu, meski tidak semua sepenuhnya kembali utuh.Langit.Nama itu kini seperti debu tipis di sudut ruangan yang sengaja dibiarkan tak tersentuh. Semua sadar debu itu di sana, tapi pura-pura tak melihat. Wendy berangkat kerja lebih pagi. Hatinya ringan karena kini rahasia antara Sky dan Reya akhirnya selesai. Tapi masih ada yang mengganjal bagi Wendy. Sesuatu yang membuat langkahnya berat begitu menginjak lobby Skywave.Bagaiamana dengan Langit? Apa dia baik-baik saja?Reya dan Sky sudah selesai dengan rahasia mereka, tapi Langit masih terjebak di sana. Raut wajah Langit kemarin terus menempel di kepala Wendy. Tatapan kosong, langkahnya yang gontai− Langit terlihat seperti petarung yang baru saja dibantai habis-habisan. Telak. Hari ini ada week
Sky tak beranjak dari depan pintu kamar Reya sejak Ramon masuk beberapa saat lalu. Tatapannya tak lepas dari daun pintu. Nyaris tak berkedip, seolah takut melewatkan sesuatu.Begitu terdengar suara kenop berputar, punggung Sky langsung tegak. Nafasnya tertahan. Ramon keluar pelan. Pandangannya bertemu dengan Sky. Ia lalu menyunggingkan senyum tipis sambil menepuk bahu Sky, “You can go in now.”Sky mengangguk, menelan ludah. Ia menatap Wendy sekilas, seakan mencari keberanian terakhir, lalu memutar kenop dan melangkah masuk.---Mendengar pintu berderit, Reya buru-buru menghapus air mata. Ia paksakan senyum hangat tersungging di bibir meski sembab di matanya belum benar-benar surut. “Come here,” bisiknya, membuka kedua tangan.Sky tidak berpikir dua kali untuk langsung menghambur dalam dekapan ibunya. Jari-jarinya mencengkram bagian belakang kaos Reya erat-erat, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia melepasnya. Bahunya yang kaku perlahan turun. Helaan nafasnya pelan dan pan
KlikReya menutup pintu kamarnya lalu melangkah gontai. Nafasnya pendek, seperti ada sesuatu yang mencekik tenggorokannya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk lutut. Tangannya gemetar. Amarah dan lelah bercampur menjadi sesak yang tidak terdefinisi. Bohong. Sky berbohong padanya.Wendy… juga ikut mengelabuhinya.Dan Langit— Dia sama sekali tidak berubah. Sama seperti enam belas tahun lalu, pria itu hanya percaya pada apa yang dia lihat. Reya memejamkan mata keras-keras. Dadanya seperti ditarik dari dua arah. Satu sisi dia ingin marah pada semuanya. Sky, Wendy, bahkan Langit juga. Tapi sisi lain, lebih dari semua itu, Reya marah pada dirinya sendiri.Ia sadar betul, semua ini rumit karena keputusan yang ia buat dulu. Karena ketakutannya sendiri.Reya menggigit bibir. Ia membenamkan wajah diantara lutut. Mencoba menahan isaknya hingga bahunya bergetar. Kenapa harus begini?Kenapa Sky harus bertemu Langit secepat ini?---Tok. Tok. Tok. Ketukan terdengar dari luar.“Reya, we need
Pizza kotak besar terbuka di tengah meja. Potongan steak masih mengepulkan aroma panas. Suara gelak tawa Lyra dan Elio bercampur dengan komentar sarkastik Bian dan celetukan santai Noah.Di satu sisi meja, Sky hampir tidak berhenti tersenyum. Hari ini, untuk pertama kalinya dia naik ke atas podium dan mengangkat piala di depan orang yang paling ingin ia buat bangga.Langit memeluknya di tengah arena. Langit … Ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan pada Sky.Mimpinya, benar-benar terwujud. Finally.Tapi di balik gemuruh perayaan kecil itu, ada sosok yang diam-diam menahan getir.Reya duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat di pangkuan. Senyumnya ada, tapi hanya di bibir, tidak sampai ke mata. Sesekali ia meneguk cola di depannya untuk menyembunyikan getaran emosinya.Wendy duduk di sebelah Reya, mencoba tertawa saat Lyra bercerita tentang bagaimana lawan Sky tersungkur, tapi matanya beberapa kali melirik Sky dengan gelisah. Seolah ia sedang menunggu sesuatu meledak.Ramon?Tentu saja
Langit tidak ingat bagaimana ia keluar dari gedung itu. Seperti tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Tatapannya kosong. Ia berjalan tapi tidak benar-benar tahu arah mana yang dituju. Di belakang, Orion mencoba mengejar. Nafasnya terengah, alisnya bertaut cemas. “Langit! Lang!” Tapi alih-alih berhenti, Langit bahkan tidak menoleh. Langit tidak mendengar apapun. Telinganya mendadak tuli. Seperti ada yang meredam semua suara di luar. Yang Langit dengar di kepalanya hanya cemoohan suaranya sendiri.Bodoh.Kamu sudah dibuang.Gema itu menghantamnya. Mengambil alih seluruh logika dan menghancurkan sisa kepercayaan dirinya. Rasanya orang-orang menatapnya seperti sampah. Padahal tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, tapi kepalanya berhalusinasi. Sampai akhirnya ia tiba di parkiran.Tangannya gemetar meraih handle pintu mobil.BRUK.Pintu tertutup keras.Mesin menyala.
Arena mulai sedikit lebih sepi setelah pengumuman pemenang. Satu persatu orang beranjak. Beberapa juga tampak sibuk meminta foto dengan para finalis. Sky masih dikerubungi Elio, Lyra, Noah, dan Bian. Piala kemenangan ia dekap erat di dada. Senyumnya malu-malu saat mereka memujinya, tapi matanya mengkilat, penuh rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan. Di pinggir arena, Langit memperhatikan. Matanya berkaca-kaca. Aneh. Dia tak pernah seterharu ini, bahkan di pertandingan-pertandingan besar yang telah ia menangkan dulu. Orion mendekat, memukul bahu Langit pelan. “Good job, Coach.”Senyum Langit terulas. “Itu anak kerja keras banget.” “That’s literally you. Reborn.” Orion terkekeh. “Elo liat nggak matanya pas tanding tadi?” Ia menepuk dada Langit, “Tekadnya persis kayak elo kalau terobsesi menang supaya dapet duit buat traktir Reya.”Langit mendengus lemah. Tentu saja Orion ingat bagian itu. Dia saksi hidup. “Lanjut … Ledek aja terus,” gumam Langit pasrah. Tapi ia tahu Orion benar







