Share

Kehidupan Baru

Author: Eng_
last update Last Updated: 2025-09-03 21:18:45

Kanada, 2025

“Sky, hurry up. You’re gonna be late. Do you even know what time it is?” Wendi berteriak dari dapur.

Aroma roti bakar dan omelet keju memenuhi rumah kecil mereka di Toronto. Sky Ardhanis menuruni tangga dengan satu tangan memegang kertas catatan penuh rumus sementara lengan yang lain mencangklongkan ransel hitamnya.

“Just a sec! I’m double-checking the last question!”

Wendy mencibir, “Kalau telat, rumus itu nggak bakal nolongin kamu.” Ia menaruh sepotong besar omelet keju buatannya di atas piring Sky yang baru saja duduk.

Tak lama Reya muncul dari kamarnya sambil menguap. Wajahnya tampak lelah tapi ia sudah rapi dalam balutan blazer abu-abu. Satu tangannya menjinjing tas dan yang lain menggenggam kunci mobil.

“Morning,” sapanya, masih dalam kuapan. Ia mendudukkan diri di samping Sky, meletakkan tas dan kunci mobilnya di atas meja sebelum kemudian membalik piring dan menyambut omelet dari Wendy. “Thank you,” ucapnya dengan senyum lelah.

“Elo begadang lagi?” Wendy Mengomel.

Reya hanya mengangkat bahu, dia masih lelah dan malas berdebat dengan Wedny pagi-pagi.

Sementara itu Sky sudah duduk, menjejalkan suapan asam sambil tetap membaca catatan. Wendy menghela napas, “Sarapan yang bener, Sky!” gerutunya seraya mengambil kertas dari tangan Sky.

“Wen!” Sky protes.

Reya mengambil tindakan cepat, dengan garpu yang ia pegang, ia mengambil potongan omelet yang cukup besar menjejalkannya langsung ke mulut anak itu.“Chill, Sky. You’re already a genius. Grab the food before she starts going off on us,” ujarnya sambil melirik Wendy.

Sky mendesah, lalu menelan omeletnya. “Fine. But if I fail, blame her cooking.”

“Kurang ajar!” Wendy melempar serbet, membuat Reya tergelak.

Bagi orang lain yang melihat dari luar, ini mungkin hanya momen sederhana, tapi bagi Reya ini adalah definisi rumah yang sebenarnya. Sedikit ribut, tapi hangat.

“Elo pulang malem lagi nanti?” Wendy menuangkan jus jeruk untuk keduanya.

Reya menggeleng. “Udah beres semua kemarin.”

“And you?” Wendy beralih ke Sky.

“Aku kenapa?” jawab remaja bermata coklat itu dengan mulut masih penuh omelet.

“Are you gonna be home late again today?”

Sky menelan omeletnya dan meneguk jus jeruk yang diangsurkan Reya. “Maybe, yeah… we still have practice for the year-end performance.” Ia melirik jam di tangannya.

“Shoot, I’m late. Let’s move, Mom!”

Ia meraih ransel dan berlari keluar.

“Heh! Mana sopan santunmu?!” Wendy mengomel.

“Thanks for the food!” teriak Sky dari halaman.

Reya tertawa kecil. “That’s my boy.”

“Yes. Nggak diragukan lagi,” cibir Wendy, meski matanya lembut.

Beberapa detik hening, lalu Wendy bertanya lirih, “Elo udah bilang ke Sky soal tawaran pindah ke Indonesia?”

Senyum Reya memudar. Ia menggeleng pelan. “Belum. Gue masih mikirin.”

Sorot Wendy meredup, seolah ikut merasakan beratnya keputusan itu.

Reya menghela napas. Pulang ke Indonesia berarti membuka luka yang sudah dia kubur dalam-dalam. Tapi sampai kapan Reya bisa terus lari?”

“Come on, Mom!” teriakan Sky terdengar dari luar.

“Yeah, I’m coming.”

Reya meraih tas dan kunci mobilnya. Sebelum meninggalkan meja makan, ia menatap Wendy dengan senyum lembut, mencoba menenangkan. “Nggak usah dipikirin, Wen. Kita tunggu sampai year-end performance nya Sky dulu. Oke?” tawar Reya.

Wendy menggangguk dan balas tersenyum, tapi sorot khawatirnya belum hilang.

“I’m heading out. See ya,” Reya pamit.

Reyasendiri yang menenangkan Wendy, tapi jauh di dalam dirinya, dialah yang paling takut. Enam belas tahun sudah berlalu, tapi bayangan masa lalu masih menempel jelas. Dan ia tahu, semakin Sky bertambah dewasa itu berarti cepat atau lambat, ia harus kembali menghadapi masa lalunya. Langit.

****

Jakarta, 2025

“Untuk JMP bulan depan, semua sudah fix dan tinggal jalan. Tiket presalenya juga sudah sold out.” laporan dari divisi marketing menutup rapat mingguan Skywave Entertainment. Tepuk tangan bergema.

Langit sebagai CEO duduk di ujung dengan punggung tegap. Disamping Langit ada Juan Alexander, Komisaris Utama Skywave. Di kursi-kursi berikutnya ada Sadewa Prayoga - Chief Marketing Officer, Sagara, Kepala Divisi produksi dan kreatif, duduk dengan tangan terlipat di dada dan ekspresi dingin andalannya, Orion, Kepala Divisi Talent Management, dan Kepala Divisi yang lain.

“Good job, guys. Semua sudah sesuai rencana dan target. Hari ini cukup. Semua bisa balik lagi ke ruangan masing-masing. Thanks.”

Langit menutup laptopnya, senyum tipis menghiasi wajah.

Namun sebelum semua benar-benar bubar, Renata dari HRD mengangkat tangan.

“Bang, ada titipan pesan dari tim HR.”

Langit mengangkat alis. “Tentang apa?”

Renata melirik Sagara yang sudah berdiri di pintu. “Anak-anak HR minta… Bang Saga jangan terlalu strict sama anak baru.”

Ruangan langsung bergemuruh tawa. Juan menarik ujung kemeja flanel Sagara agar kembali duduk. “Dengerin dulu, Ga. Kasihan HR, tiap bulan ganti orang.”

Sadewa bahkan sampai terbahak. “Serius, Bang. Lima kandidat kabur dalam dua bulan. Itu rekor, bro.”

Sagara duduk kembali dengan enggan. “Gue butuh orang kompeten. Salah rekrut bisa hancurin tim.”

Juan terkekeh. “Masalahnya di bosnya kali, bukan di kandidat?”

Langit nyaris tersedak kopi. Orion ikut menggoda, “Masa cepetan elo ganti staf daripada Bang Dewa ganti pacar, Bang?”

“Kenapa gue yang kena?!” protes Sadewa.

Juan menambahkan, “Ya masa Langit? Dia satu aja nggak punya.”

Langit memicingkan mata sambil mengacungkan jari tengah. “Fuck.” Semua meledak lagi dalam tawa

Ketika tawa reda, Langit akhirnya bicara lebih serius. “Ga, gue ngerti lo picky. Tapi kalau gini caranya, HR yang rugi. Elo kasih aja mereka syarat yang detail, biar mereka bisa cari sesuai kebutuhan lo. Dan…” Langit mengangkat tangan saat Sagara siap membantah. “Begitu mereka nemu orangnya, kasih kesempatan sebulan. Baru kita evaluasi bareng-bareng.”

Sagara hanya mendengus. “Terserah. Atur aja. Gue mau ke studio.”

“Miara cewek ya lo di studio? Hobi banget ngedekem di sana,” Juan meledek.

Sagara menatap tajam, lalu keluar. Juan masih tertawa keras.

Langit ikut terkekeh. Ia sudah beridir dan tiba-tiba pintu ruang rapat didorong lagi dari luar, kepala Sagara menyembul,

“Lang, tolong jemput Noah ya. Sekalian elo sama Orion ke Dojo!.”

“Aman, Bang,”

Juan tadi sibuk menggoda Sadewa, kini beralih melihat Langit.

“Cari istri deh lo, Lang. Biar bisa punya anak sendiri. Udah umur segini masih ngurusin anak orang mulu lo.”

Langit hanya tertawa dan tak menanggapi ucapan Juan itu.

“Gue nanti langsung ke Dojo. Kalau ada apa-apa, telefon aja,” putusnya.

Di luar langit sudah mulai redup. Sebentar lagi senja. Langit membawa langkahnya menyusuri kubik-kubik karyawan yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia membalas anggukan sopan para karyawannya yang melihatnya lewat, tak lupa senyum khasnya yang teduh pun ia sunggingkan.

Mahadewa Langit Andaru, CEO Skywave Entertainment, perusahaan di bidang musik yang sedang naik daun. Siapapun yang melihat pasti akan menganggap hidup Langit sudah sempurna. Wajah tampan, latar belakang keluarga terpandang dan karir yang cemerlang. Tapi jauh di balik itu semua, Langit menyimpan kekosongan dalam hatinya. Rasa kehilangan yang membuatnya tak pernah beranjak dari kenangan enam belas tahun lalu.

Perasaan hampa itu masih nyata.

Langit yang sempurna di mata orang lain, sebenarnya tak lagi utuh sejak kehilangan cinta pertamanya.

Reya…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Wendy Vs Skywave

    Wendy sengaja datang lebih pagi dari yang diminta, jadi ketika ia tiba, belum ada siapa-siapa di studio. Salah seorang staf produksi bilang kalau Sagara, bos Wendy, sedang meeting pagi bersama kepala divisi yang lain. Staf itu juga yang akhirnya mengarahkan Wendy untuk menunggu di studio Saga, tempatnya akan bekerja nanti.Bau kayu dari panel akustik dan sedikit bau elektronik hangat dari peralatan menyambut Wendy ketika ia mendorong pintu tebal ruang studio itu. Lampu warm white redup menggantung di langit-langit dan beberapa lampu sorot mengarah ke meja mixing memberikan kesan yang cenderung serius dan fokus. Wendy melihat area mixing di ujung ruangan dan booth rekaman di sisi kanan. Di sisi kiri, sedikit kebelakang, ada meja tambahan lengkap dengan laptop dan headphone. Staf yang tadi mengantarnya bilang bawa meja itu akan jadi meja kerja Wendy di sini.Pintu studio terbuka. Seorang pria berkulit pucat masuk tanpa menoleh, wajahnya datar, langkahnya mantap. Dengan pakaian serba hi

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Yang terjadi, Terjadilah

    Pagi ini tidak seperti biasanya. Alih-alih berkutat di dapur dengan apron, Wendy justru sudah duduk rapi di meja makan. Sweater rajut berkerah warna krem dengan garis-garis hitam dan celana bahan warna putih membalut tubuh. Memberi kesan santai tapi juga cukup formal. “Udah rapi banget pagi-pagi. Tumben,” komentar Reya begitu keluar dari kamar. Ia menenteng tas, blazer krem tergantung di lengannya.Wendy meletakkan cangkir kopinya. “Yes. This is my first day.” Bibirnya tersenyum tapi sorot matanya jelas menyimpan gelisah. Reya mengangguk kecil sambil menyalakan mesin kopi. Uap panas bercampur aroma kopi yang khas langsung memenuhi ruangan. Ia membawa cangkirnya, duduk di seberang Wendy. Pandangannya meneliti sahabatnya yang sedari tadi terlihat menerawang ke arah meja. Jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme yang terdengar gelisah. Alis Reya terangkat. “Are you nervous?”Wendy menghela nafas lalu mengangkat cangkirnya lagi. “Dikit,” jawabnya.Ekspresi Wendy membuat Reya t

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Berbagi Kisah, atau rahasia?

    Selalu ada hari pertama dalam hidup. Begitu juga bagi Reya, Sky dan Wendy. Hari ini, hari pertama mereka di Jakarta hampir berakhir, ditutup dengan makan malam sederhana dan obrolan hangat. Meja makan penuh dengan nasi hangat, tumis sayur, ikan goreng dan juga sambal, sesuatu yang jarang mereka temui di Kanada. Aroma gurih dan sedikit pedas menguar mengisi ruangan.Reya menyendok nasi ke piringnya, tapi matanya melihat ke arah Sky. “How’s your first day been? Fun or what?” tanyanya lembut. Ia berusaha terlihat santai, tapi Sky juga tahu bahwa ibunya merasa agak khawatir.Alis Sky terangkat. “Not bad. Just a normal day at school. And…I made a new friend.” Ia tersenyum. “Bagus dong. Siapa namanya?” Wendy menyahut sambil meletakkan daging ikan yang telah dia bersihkan durinya ke piring Sky.“Elio….” Sky menyuap nasi bersama ikan yang Wendy berikan, sambil mengunyah ia terlihat berfikir, “Sama Bian,” imbuhnya dengan nada lebih pelan. Yah, Bian mungkin belum bisa dikatakan sebagai teman S

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Perjodohan

    Telepon berdering untuk kesekian kalinya di meja Langit. Nama Mama berkedip-kedip di layar ponsel. Ia menekan tombol reject tanpa ragu, lalu kembali menatap layar komputer di mejanya. Baru sebentar, dering itu datang lagi, makin nyaring.“Bang, nggak mau diangkat dulu?” Orion menyeletuk.Langit mengangkat wajahnya, menatap Orion sebentar, “Biarin aja, entar juga capek sendiri.” tandasnya. Melihat Langit yang acuh, Orion hanya mengangkat kedua alisnya sambil mengangkat bahu pasrah. Tak lama, pintu ruangan diketuk. Sabil, sekretaris Langit muncul di ambang pintu. Langit dan Orion sama-sama mengalihkan perhatian.“Kenapa, Bil?” tanya Langit.“Ada Pak Bumi di luar, Pak. Ingin menemui Bapak.”Orion menatap Langit cepat. Keningnya berkerut. “Bang Bumi? Ngapain, Lang, tumben amat sampai sini.”Langit mengedik sekilas lalu kembali menekuri layar. “Suruh masuk aja, Bil,” perintahnya santai. Sabil mengangguk lalu menghilang di balik pintu. Tak sampai semenit, Bumi melangkah masuk. Setelan ja

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    Pertemuan Tak Terduga

    Pertemuan dan perpisahan adalah hal paling misterius di dunia. Sebaik apapun kita merencanakan sebuah pertemuan, itu bisa saja gagal di detik terakhir. Pun seberapa kuat mencegah perpisahan, itu juga bisa tetap terjadi.Bel pulang sudah berlalu sekitar tiga puluh menit lalu, halaman Maplewood International High School Jakarta yang tadi penuh dengan siswa yang menunggu jemputan kini mulai lengang. Hanya ada beberapa anak yang masih menunggu, duduk di bangku panjang dekat gerbang sambil memainkan ponsel atau berbincang dengan teman lain. Beberapa juga masih bermain di halaman atau di kelas yang sudah spi. Sky duduk di bangku salah satu panjang yang kosong. Ranselnya disandarkan di lutut, tangannya sibuk dengan ponsel, mencoba menghubungi Wendy yang janji akan menjemputnya. “Seriously, where is Wendy? She’s the one who said she wouldn’t be late.” Sky bergumam kesal. Tangannya mengibas-ngibas, mencoba mengusir panas. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi matahari Jakarta masih c

  • Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia)    GCP Jakarta

    Suasana aula rapat GCP Jakarta pagi itu tampak sibuk. Dari balik kaca transparan, Reya bisa melihat jajaran manajerial dan staff duduk dengan wajah serius, sebagian sibuk mengetik di laptop mereka, sebagian lagi berdiskusi dengan berkas di tangan. Reya menarik napas panjang. This is it. New chapter.Ia menegakkan bahu, mengikuti langkah Pak Aditya, Managing Director GCP Jakarta masuk ke ruang meeting itu. Interiornya yang didominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu yang lembut memberikan kesan profesional tapi hangat. Dalam balutan blazer abu-abu, Reya duduk di samping sang direktur. “Selamat pagi semua,” suara Pak Aditya terdengar mantap, menarik perhatian semua yang hadir pagi itu. “Hari ini saya ingin memperkenalkan Regional Finance Director baru kita. Beliau datang langsung dari Kanada, pengalaman internasionalnya luar biasa, dan sekarang beliau akan memimpin divisi keuangan Asia Tenggara kita.”Semua mata serentak beralih ke Reya. Ia menunduk sopan, senyum profesional men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status